(5) Keluarga Ikbal
Adalah
cinta yang kadang membuat orang-orang menjadi pelupa. Lupa makan jika hati
sudah dicampakan. Lupa tidur jika sudah merasa hancur. Lupa sakit ketika
bahagia mulai melangit. Bahkan tak jarang manusia lupa dengan Pencipta karena
terlalu cinta dengan sesuatu yang dihadiahkan oleh Pencipta kepadanya.
Cinta memang tidak selamanya buruk tergantung pribadi
masing-masing menyikapi dan menjalani. Cinta adalah sesuatu yang diciptakan
Tuhan memiliki dua arah yang saling
bertolak belakang. Alangkah baiknya kita mencintai Sang Pemberi cinta terlebih
dahulu sebelum mencintai ciptaan-Nya.
Begitupula
yang dialami oleh Kiran saat pesan masuk bernada mesra yang masuk di HP-nya.
Kepalanya hanya dihantui oleh satu nama yang tadi siang memberikan pin BBM
kepadanya. Padahal kalimat tersebut
sudah tak asing didengarnya. Iya, kalimat “Selamat malam Tuan Putri,” yang
masuk di BBM-nya. Tidak ada orang lain yang memanggilnya tuan putri selain
Weni. Bahkan kalimat tersebut sudah hampir setiap hari diberikan Weni
kepadanya. Sebegitu parah Kiran memikirkan Ikbal hingga dengan kalimat yang
setiap hari ia dengar pun bisa lupa begitu saja.
“Siapa
ya?”
“Siapa
lagi yang memanggilmu Tuan Putri selain aku, Ki?”
“Ooh
iya ya” Kiran teringat“Ada apa Wen? kamu pin baru Wen?”
“Iya, Ki ini pin baru, soalnya HP-ku diinstal
ulang kemarin, jadi buat BBM baru lagi.”
“Iyalah,
Wen.”
“Simpan
ya, Ki, pin baru aku, oh iya, tadi kamu pulang sama siapa, Ki?”
Kiran mulai menyiapkan buku-buku untuk besok. Walaupun
jadwal belum disusun oleh guru di sekolah namun Kiran telah mempersiapkan
beberapa buku paket kelas IX untuk dibawanya besok. Siapa tahu materi yang
disampaikan masih berkaitan dengan pelajaran kelas IX yang telah dilewati
pikirnya.
Setelah memasukan beberapa buku ke dalam tas, Kiran
kembali menyerobot HP-nya yang tergeletak di atas bantal sambil merebahkan
tubuhnya di kasur. Kiran tersenyum membaca pesan dari Weni. Kepalanya kembali
menginggat Ikbal.
“Sendiri, Wen.”
Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Part 3
Kiran memilih untuk tidak memberitahu. Sebab, jika
Weni tahu Kiran pulang bersama Ikbal ceritanya akan menjadi-jadi. Lagipula,
Kiran baru satu kali jalan sama Ikbal, ia tak mau ceritanya ditambah-tambah
oleh Weni.
Malam itu angin berhembus halus. Dedaunan
melambai-lambai kepada Kiran. Sinar rembulan mengintip tipis dari balik jendela
yang terbuka lebar. Sebagian bintang tampak jelas berhamburan di taman langit
sana, sebagian lagi tertutup oleh rimbun pepohonan. Kiran menertawai jangkrik yang
terdengar begitu bersemangat saling sahut menyahut kata. Walaupun Kiran tak
memahami perbincangan apa yang sedang mereka bahas namun Kiran meyakinkan
dirinya bahwa teriakan jangkrik itu pertanda dua jangkrik yang saling jatuh
cinta. Lalu, kepala Kiran terngiang kembali. Ingatan tentang sesosok Ikbal
mengalir lagi di sekujur otaknya. Apakah Ikbal juga sama seperti jangkrik
jantan itu? mencintai jangkrik betina sebegitu cintanya? pikir Kiran. Aku yakin
jangkrik itu sedang jatuh cinta, terdengar dari suara bahagia yang ia
lantunkan, Kiran mengoceh sendiri dalam hati. Kiran tersenyum memikirkan hal
itu.
Tapi jika Ikbal adalah jangkrik itu kepada siapakah
dia menjatuhkan hatinya? apa mungkin kepada aku yang baru tadi pagi dikenalnya?
Kiran lesu, senyum tipis yang sedari tadi menghiasi wajah cantiknya seketika
lenyap. Akhirnya Kiran dibuat mati dengan pertanyaannya sendiri. Kiran
menggeletakkan HP yang ia pegang di samping kepalanya, menutup muka
dengan guling di sebelah kanannya. Lagian, tak ada balasan lagi dari Weni.
Udara semakin mengibas deras, mengibar-ngibarkan
gorden jendela yang berwarna biru bermotif bunga itu. Gemintang tampak
ditenggelamkan oleh awan hitam perlahan. Tak ada lagi sinar rembulan yang tadi
mengintip dengan malu. Suara jangkrik senyap seketika, entah kemana perginya.
Hati Kiran pun sama tak ada lagi api pembakar yang dari tadi menyalakan
senyumnya. Ia berdiri dari pembaringan mengunci rapat jendela, menutup sempit
pintu, meredupkan lampu dengan lampu senja kuning, lalu kembali merebahkan tubuhnya
di kasur empuk dan menenggelam kembali wajahnya di bantal guling hingga
terlelap.
***
Pukul
05:40 udara masih begitu dingin. Pepohonan lembab berselimutkan embun yang
menggumpal jadi air di ranting dan dedaunan, sesekali menetes dan menggenang di
kaki pohon. Jalan-jalan masih basah. Rerumputan segar menghijau subur di
halaman rumah Kiran. Bunga-bunga jauh lebih cerah dari hari kemarin di depan
rumahnya. Mungkin karena udara yang begitu sejuk ditambah serbuk embun yang
masih bertaburan di kelopak dan daunnya. Aroma pagi yang menyejukkan dada ini
sulit sekali di jumpai di kota-kota besar. Ini basah yang dihasilkan tangis
langit tadi malam. Kira-kira tiga sampai empat jam ia menumpahkan air matanya,
terlihat dari genangan air yang melimpah di tanah.
Mentari belum menampakkan dirinya dengan berani, hanya
sinarnya tampak malu-malu menyusur bumi. Sementara, Kiran masih nyaman di kasur
berselimut tebal menggulung tubuhnya. Wajahnya begitu indah dipandangi ketika
tidur, putih, berseri, sejuk, damai dan begitu teduh di bawah jilbab yang
menghiasinya, cantik sekali. Terlihat ujung jilbabnya masih basah bekas air
wudu ketika dia sholat subuh tadi. Kiran selalu kembali tidur jika
selesai sholat subuh dan memasang alarm pukul 06:00 di HP-nya untuk
bangun dan bersiap ke sekolah.
Tiba-tiba HP Kiran mendering kencang, ini belum pukul
06:00, jam di HP Kiran baru menunjukan pukul 05:40. Kiran terperanjat. Perlahan
ia buka kedua matanya. Menarik nafas dalam lalu dengan tenang kembali
melepaskannya. Kiran memutar tubuhnya ke sebelah kanan, menyingkirkan guling
dan mengaiskan kain di tubuhnya. HP-nya sudah tak lagi di tempat semula ia
menyimpannya, ia mendapatinya sudah di ujung kaki dan ikut masuk ke dalam
selimut Kiran. Kiran memaksa tubuhnya menjemput HP-nya “Satu panggilan masuk,”
kalimat ini yang ditemui Kiran di layar HP. Siapa yang menelpon pagi-pagi buta
begini, pikirnya. Kiran membuka panggilan masuk lalu menemui nama Weni di sana.
“Iya, Wen, ada apa?” balas Kiran di BBM dengan mata
yang masih terpaksa dibuka sambil terduduk malas di kasur empuknya.
Pesan dari Kiran masih belum di baca oleh Weni. Sudah
lima menit Kiran terduduk melamun akhirnya ia membiarkan tubuhnya kembali
terhempas di kasur. Masih 15 menit alarm di HP-nya akan berbunyi. HP Kiran
kembali berbunyi, kali ini dengan nada yang berbeda dengan nada dering yang
tadi membangunkan ia tidur . Pesan BBM masuk dari Weni.
“Ki, hari ini aku tidak masuk, nitip surat ya, nanti
berhenti bentar di rumahku.”
“Kenapa tidak masuk, Wen,? kamu sakit?”
“Bukan, Ki, nenekku yang sakit, jadi kami sekeluarga
pergi ke rumah sakit hari ini.”
“Ya Allah, Wen, sakit apa?” Kiran prihatin.
“Kata pamanku tadi stroke, Ki.”
“Ya Allah, semoga cepat sembuh ya, Wen.”
“Amin, makasih, Ki, jangan lupa ambil suratku
di rumah.”
“Sama-sama,
Wen, iya-iya, Wen,” bergegas membangkitkan tubuh dan membuka pintu kamarnya
serta mengeletakkan HP di kasur. Kiran menyambar handuk yang tergantung
di belakang pintu lalu keluar kamar dengan sedikit tergesa.
Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek Part 2
Hari ini Kiran berkemas lebih awal dari hari
sebelumnya. Weni tidak masuk sekolah hari ini. itu berarti Kiran akan pergi dan
pulang sekolah sendiri. Novela temannya sejak sekolah menengah tidak pernah pergi
sama-sama dengannya. Karena rumah Novela juga tidak satu arah dengan Kiran.
Rumah Novela terletak di seberang sana dekat dengan sekolah, jadi mereka tidak
bisa sama-sama pergi dan pulang sekolah.
Suara pecahan air terdengar begitu keras di dalam
kamar mandi. Ditambah nada lagu yang menggema dengan merdu. Kiran memang suka
bernyanyi, lebih tepatnya bernyanyi di kamar mandi yang tidak ada penonton.
“Pelan-pelan, Ki,” ujar Bu Irma sambil membawa segelas
kopi hitam di tangan kanan dan beberapa pisang goreng dalam piring di tangan
kiri untuk disajikan di atas meja.
Sementara, Pak Bahar sedang membangunkan kedua
putrinya di dalam kamar. Didapatinya kedua putri cantiknya masih begitu lelap.
Terlihat Cindy memeluk adiknya dari belakang. Pak Bahar selalu tersenyum setiap
pagi ketika melihat kedua putrinya tidur. Baginya pemandangan seperti itu yang
paling ia sukai, ketika kedua putrinya saling memeluk satu sama lain.
“Cindy, Cintya bangun, Nak,” Pak Bahar membangunkan
halus sambil memegangi bahu kedua putrinya secara bergantian.
Wajah Cindy dan Cintya masih begitu polos merengek,
keduanya bergerak-gerak setelah Pak Bahar bangunkan. Cindy mulai membuka kedua
matanya ia dapati wajah yang sama setiap ia membuka mata di pagi hari. Cintya
menggeliat namun tak kunjung membuka mata.
“Bangun, Nak, sekolah,” sambung Pak Bahar sambil
mengusap kepala anak keduanya.
Cindy hanya terkisap-kisap mengusap kedua
matanya. Ia tegakkan tubuhnya dari tempat tidur keluar kamar.
“Nak, bangun sudah mau jam tujuh ini,” Pak Bahar
kembali memegangi bahu anak bungsunya. Pak Bahar selalu bilang sudah mau jam
tujuh ketika membangunkan anak-anaknya.
Cintya kembali merengek dengan mata yang masih
terpejam “Ayo, ayo bangun, sekolah.” Sambung Pak Bahar. Pak Bahar sedikit
menarik lembut tangan anaknya “Ayo, ayo cepat nanti terlambat sekolahnya.”
Sementara, di luar Bu Irma kembali menyajikan beberapa
piring nasi goreng di atas meja yang baru saja dibuatnya. Tercium aroma nasi
goreng yang begitu harum bercampur aroma segar lembab pagi hari. Aroma tersebut
menyelinap ke kamar Cintya mambuat Cintya membuka matanya. Aroma nasi goreng
yang sudah tak asing lagi baginya sebab setiap pagi ibunya selalu menyajikan
nasi goreng tersebut.
“Ayo,
Nak, bangun, nanti terlambat,” suara Pak Bahar selalu menenangkan pagi. Suara
yang begitu sabar membuat pagi semakin damai di rumah tersebut.
Cintya
berdiri malas didampingi sesosok ayah yang luar biasa sabarnya. Pak Bahar
menuntun anak bungsunya keluar kamar. Handuk yang tergantung di dekat pintu
langsung disambar oleh Pak Bahar lalu meletakkannya ke bahu anak bungsunya.
Kiran telah siap berangkat. Hari ini hari keduanya
menggunakan seragam putih abu-abu. Dengan jilbab putih yang serasi dengan baju
dan celananya. Kiran duduk menghampiri adik-adik serta orang tuanya yang sedang
duduk di meja makan. Adik serta kedua orang tuanya sudah menyantap nasi goreng
di piring masing-masing.
Jam dinding sudah menunjukan pukul 06:05. Dengan
segera Kiran melahap nasi goreng di dalam piring yang telah tersedia.
“Hari ini pelajaran apa, Ki?” Pak Bahar memberhentikan
sejenak kunyahannya.
Kiran masih melahap, ia tuang air putih ke dalam gelas
lalu meminum dengan tenang. “Belum ada mata pelajaran yang ditetapkan, Pa,”
ujar Kiran masih memegangi sendok di tangan kanan dan gelas di tangan kirinya,
lalu kembali menyedok nasi dan mengunyahnya begitupun dengan Pak Bahar.
Sementara, Bu Irma masih mengunyah dan sesekali
memaksa halus Cindy dan Cintya untuk memakan nasi di depannya. Cintya mengunyah
malas. Matanya masih terkisap-kisap. Cindy memutus kunyahannya beranjak
meninggalkan kursi menuju kamar mandi.
Kiran beranjak dari kursi “Pa, berangkat dulu,” menyalami
ayah dan ibunya.
***
Ikbal sudah selesai berkemas, dengan rambut klimis
mengkilat, baju rapi ditambah dasi biru muda tergantung di lehernya. Jam di
tangan kirinya menunjukan pukul 06:25. Ia gendong tas yang ada di kamarnya dan
langsung menarik kunci yang tergeletak di atas meja lalu menuju motor yang
masih di dalam garasi.
Seketika terlintas di pikirannya tentang Kiran. Lalu
dengan cepat ia merogoh saku celana kanan. Garasi masih tertutup namun Ikbal
sudah terduduk di atas motornya sambil melihat-lihat HP-nya. “Ki, udah
berangkat belum?” sambil berjalan ke arah pintu garasi dan membukanya. “Braaakkkk”
Ikbal menarik kencang pintu garasi. Mentari sudah bersinar di depan rumahnya. HP-nya
bergetar. Balasan pesan dari Kiran.
“Udah, Bal, sekarang lagi di rumah Weni, ngambil
surat, kamu udah berangkat belum?”
“Surat apa, Ki? sekarang baru mau berangkat. Kamu
pergi sama siapa?” Ikbal sudah siap di atas motornya.
“Surat dari Weni, Bal, dia tidak bisa masuk hari ini,
neneknya sakit. Sendiri, Bal,” Kiran masih berbincang dengan Weni di teras
rumah Weni dengan segelas teh panas yang disuguhkan oleh Weni.
“Oo iyalah, Ki, tunggu aku di dermaga, Ki, nanti pergi
sama-sama, sekarang aku otw,” Ikbal menghidupkan motornya dan langsung
melaju meninggalkan garasi rumah. Tanpa melihat-lihat lagi balasan dari Kiran.
Tak tahu mengapa Ikbal begitu nyaman dengan Kiran
padahal baru kemarin dia mengenal Kiran, akan tetapi dia merasa begitu lepas
tanpa canggung sedikit pun. Serasa sudah akrab sekali. Ikbal tak semudah itu
dekat dengan orang tapi entahlah, ada apa dengan Kiran sehingga membuatnya
begitu nyaman. Baca Juga: Novel Sejarah Romantis
***
“Wen, aku berangkat dulu ya takut telat,” beranjak
dari kursinya.
Weni mencegat ketika Kiran akan berjalan meninggalkan
“Ini tehnya di minum dulu, Ki” sambil mengangkat segelas teh manis di atas meja
dan menyodorkannya pada Kiran.
Kiran membalikkan tubuhnya pada Weni dan menghampiri
kembali serta mengambil segelas teh yang ditawarkan oleh Weni. Kiran kembali
duduki kursi dan meminum tehnya. Weni masih berdiri memperhatikan Kiran meminum
tehnya “Makasih, Wen, aku
berangkat dulu ya udah mau jam 7 nih,” Kiran meninggalkan Weni.
“Iya, Ki, hati-hati.”
Sementara di dermaga Ikbal baru saja tiba. Kiran masih
berjalan menuju dermaga yang tak jauh dari rumah Weni. Ikbal merogoh saku
celana kananya terlihat ada pesan dari Kiran di sana. “Iya, Bal,” pesan yang
masuk dari Kiran. Ikbal menoleh kiri kanan mencari Kiran namun tak juga
ditemuinya.
Ikbal kembali mengotak-atik layar HP-nya “Di mana,
Ki?” mengirim pesan kepada Kiran.
“Di belakangmu, Bal,” Kiran baru sampai di dermaga
tepat di belakang Ikbal.
Ikbal terperanjat dari motornya ketika melihat balasan
Kiran. Secepatnya diputarnya pinggang dan lehernya ke belakang. Senyum Ikbal
mengembang Ketika melihat Kiran. Begitupun Kiran sumringah di wajahnya tak
dapat dikendalikannya.
“Maaf ya, Bal,
aku dari rumah Weni tadi makanya lama,” ujar Kiran.
“Iya, nggak apa-apa, aku juga baru datang” balas
Ikbal.
Seperti biasanya orang yang bekerja sebagai tenaga
jasa penyebrangan akan langsung menaikkan motor ke perahu jika pemilik motor
sudah turun dan melepaskan motornya. Ikbal turun dari motor dan memanggil orang
yang bekerja di sana. Dengan cepat motor Ikbal sudah tergeletak di perahu.
“Yok, Ki,” ujar Ikbal yang berjalan menaiki
perahu.
Kiran mengikuti bahu Ikbal. Ikbal melangkah ke perahu
lalu membalikan badan dan menyodorkan kedua tangannya untuk menyambut Kiran ke
perahu. Sudah ada dua motor di dalam perahu tersebut. Satu motor sudah menunggu
penumpang lain sedari tadi. Motor yang membawa keranjang bensin dengan satu
orang lelaki gagah tingi pemiliknya. Ikbal menyiapkan satu papan untuk Kiran
duduk sementara ia duduk di atas motor untuk menahan motornya.
Perahu sudah merapat mulus di dermaga seberang. Ikbal
beranjak meninggalkan motornya. Sesegara mungkin ia naik ke dermaga, mendahului
Kiran untuk kembali menuntunnya naik. Matahari mulai menyengat, terlihat
sepuluh menit lagi jarum panjang jam di tangan Kiran akan tepat menuju angka
12. Ikbal segera menuju motornya yang sudah siap ditunggangi di dermaga.
“Ini, Pak,” menyodorkan uang sepuluh ribuan kepada
orang yang mengantar motornya ke dermaga lalu menaiki motor.
“Yok, Ki.”
Pagi itu semakin hangat. Mentari menyeringai bahagia.
Aliran sungai berjalan begitu tenangnya. Semesta begitu baik dua hari ini.
orang-orang di dermaga tak kalut seperti pagi senin kemarin saat Kiran hanya
bisa mengagumi dari jauh. Saat Kiran hanya mengenal tanpa dikenal. Kiran menyeringai
sendiri.
“Iya, Bal,” menghampiri motor dan duduk di belakang
Ikbal dengan lipatan kakinya seperti hari kemarin, supaya rok-nya tidak terbuka
ditiup angin.
Motor dengan cepat meninggalkan dermaga. Orang-orang
di sana tak peduli dengan kepergian mereka, masing-masing sibuk dengan
kegiatannya. Ada yang naik perahu, ada yang turun perahu, ada juga yang
terlihat menikmati kopi di warung sambil mengobrol. Tidak ada lagi anak-anak
berseragam sekolah di sana, semuanya sudah meninggalkan dermaga dari tadi.
***
“Tett, tett, tett,” bel sekolah berbunyi tiga kali menandakan sudah
tepat pukul 7 dan pelajaran akan segera dimulai. Kiran dan Ikbal baru saja
memasuki gerbang sekolah. “Untunglah kita sudah masuk gerbang, Bal,” ujar Kiran
masih di atas motor sambil menuju parkiran.
“Iya, Ki,” Ikbal parkirkan motornya di antara beberapa
motor lainnya.
Kiran dengan tangkas melompat kecil dari motor “Ayo,
Bal, cepat, nanti telat,” masih berdiri di samping Ikbal.
“Ayo, Ki,” bergegas menuju kelas dengan langkah cepat
diikuti Kiran.
Sesampainya di depan kelas Ikbal dan Kiran menghela
nafas. Kiran memeganggi pinggangnya sambil terengah-engah. Pintu kelas masih
membentang lebar, masih mempersilahkan mereka masuk. Belum ada guru di dalam
kelas. Dengan tenang keduanya masuk kelas. Semua mata siswa terfokus kepada
mereka berdua yang baru datang. Kiran segera duduk di kursinya “Huufff,”
Kiran menghembuskan nafasnya. Ikbal sudah tenang di tempatnya. Terlihat membuka
tasnya di atas meja.
Ikbal memutar pinggang dan wajah ke belakang “Ini Ki”
memberikan botolotol biru berisi air putih kepada Kiran lalu kembali ke posisi
semula.
Kiran menyambut botol tersebut “Makasih, Bal”
memekarkan bibirnya namun nafas masih tak beraturan.
Kiran buka botol pemberian Ikbal dan meneguk isi di
dalamnya lalu menutupnya kembali, dengan nafas yang sudah sedikit tenang.
“Ini, Bal,” menjulurkan tangannya ke depan hingga
botol tersebut tepat di bahu sebelah kanan Ikbal.
Ikbal menoleh ke kanan lalu menjangkau botol dengan
tangan kirinya. Ikbal membuka kembali botol tersebut lalu ikut meminum.
***
Tidak terasa sudah sebulan lebih Kiran memakai seragam
abu-abu. Hari-hari begitu menyenangkan baginya. Dengan ditemani Ikbal, Weni,
Novela dan siswa-siswi lain setiap harinya. Novela memang tidak satu kelas
dengan Kiran, Weni dan Ikbal namun mereka selalu bersama ketika waktu
istirahat. Kadang Kiran, Weni dan Ikbal menunggu Novela jika Novela masih belum
keluar. Kadang juga Novela yang menunggu ketiga temannya tersebut untuk
sama-sama ke kantin.
Ikbal memang kurang berteman dengan teman-teman laki
di kelasnya. Sebulan lebih sudah Ikbal memakai baju abu-abu namun ia belum
pernah pergi ke kantin bersama laki-laki lain yang ada di kelasnya. Ikbal lebih
memilih ke kantin bersama Kiran, Weni dan Novela. Walaupun beberapa kali Agung
teman sebangkunya mengajak dia ke kantin namun ia lebih memilih untuk bersama
Kiran, Weni dan Novela. Baginya ke kantin dengan para lelaki hanya untuk
menghirup asap rokok di kantin tersebut. Sedangkan dia sendiri tidak merokok
dan ke kantin hanya untuk makan dan mengobrol.
“Jadi, kapan kita ngerjakan tugas kelompok kita, nih?”
ujar Weni kepada Ikbal dan Kiran yang sedang menyantap nasi goreng telur
mereka.
“Tanya Ikbal, tuh,” balas Kiran yang baru saja
menyelesaikan kunyahannya sambil menoleh ke Ikbal.
Ikbal mengalihkan pandangannya ke depan, tepat ke
wajah Kiran. Sementara dagunya masih bergoyang-goyang tampak begitu menikmati
makanannya. “Malam minggu bagaimana,? di rumahku kebetulan ada acara sore
sabtu, jadi banyak makanan pas malam minggunya,” menyedot teh manis di
depannya.
Sementara, Novela terdiam mendengarkan perbincangan
mereka, ia hanya asyik menyantap makanan. Novela beda kelas dengan ketiga
temannya.
“Bude, teh manis satu,” teriak Weni
mendongakkan kepalanya ke ibu kantin.
“Wah, boleh tuh di rumah Ikbal, pasti banyak makanan”
Weni terkekeh “Bagaimana, Ki, malam minggu di rumah Ikbal?”
“Oke sip,” mengangkat jempolnya yang masih
menjepit sendok.
“Kamu ikut tidak, Vel, kita makan-makan di rumah
Ikbal?” tanya Weni.
Novela sudah menyelesaikan makannya langsung menyambar
teh es manis “Jauh, Wen, aku takut menyeberang kalau malam.”
“Nanti aku tunggu di dermaga sini, Vel, gimana?”
“Lihat nanti lah, Wen, aku takut tidak
diizinkan bapak.”
“Bilang aja ngerjakan tugas kelompok, Vel, tugas kita kan
sama” ujar Ikbal.
“Benar
tuh, Vel, bilang aja ngerjakan tugas,” sambung Weni.
“Bilang
saja yang sebenarnya, Vel, pasti diizinkan,” tambah Kiran.
Novela
menatap Kiran sejenak lalu kembali menatap teh es manis di depannya “Iya, Ki,
lebih baik bilang yang sebenarnya, semoga saja diizinkan.”
“Dek,
ini teh manisnya.”
Baca Juga: Novel Sejarah Romantis 3
Weni
terperanjat “Oo iya, makasih, bude.”
Siswa-siswa
yang lain sudah mulai membubarkan diri dari kantin. Sebentar lagi waktu
istirahat habis. Bude kantin terlihat begitu kalut melayani siswa yang
membayar makan-minumnya masing-masing. Weni masih tenang menikmati teh manisnya
yang baru saja sampai. Kiran masih mengutak-atik HP-nya.
“Yok
lah ke kelas, bentar lagi masuk nih,” ucap Ikbal sambil melihat jam tangan di
tangan kirinya.
“Yok,”
Kiran memasukan HP dan berdiri dari tempatnya “Yok, Vel, nanti telat.”
Novela
beranjak dari kursinya “Iya, Ki.”
Weni
masih menyedot teh manisnya ketika Kiran, Ikbal dan Novela sudah berjalan
menuju Bude kantin. Weni menoleh kiri dan kanan tak ada lagi temannya. “Woy
tunggu” melesat menuju bude dan merogoh saku bajunya dan mengeluarkan
uang dua puluh ribuan. Sementara ketiga temannya sudah keluar dari kantin. Weni
berlari mengejar.
“Dek,
ini kembaliannya,” teriak Bude kantin.
“Nanti
ke sini lagi, Bude,” balas Weni sudah meninggalkan Bude hanya
suaranya yang terdengar.
***
“Bal,
ini ambil satu lagi,” teriak Bu Ratna.
Ikbal
terlihat fokus dengan kerjaannya. Mencatat tugas kelompok mereka yang sudah
dicari oleh Kiran dan Weni tadi. Sementara Weni masih mencari tugas yang
lainnya begitupun Novela, turut membantu mencari tugas yang juga dicari oleh
Weni di internet.
Kiran
beranjak dari duduknya menghampiri sumber suara dari dapur “Sini, Bu, biar saya
yang bawa,” ujar Kiran melebarkan senyumnya pada Bu Ratna.
“Eh,
Nak, kenapa kamu yang bawa, memangnya Ikbal kemana?”
“Ikbal
masih ngerjakan tugas, Bu.”
“Oo
iya, jadi merepotkan.”
“Tidak,
Bu, kami yang merepotkan Ibu,” masih tersenyum tipis “Lagi masak apa Bu?”
mendekati Bu Ratna yang tengah mengaduk-aduk masakan di atas kompor.
“Ini,
lagi manaskan rendang sisa tadi siang, kamu mau makan?”
“Tidak,
Bu, udah makan tadi di rumah,” Kiran berdiri di samping Bu Ratna yang asyik
dengan pekerjaannya.
“Nanti
kalau mau makan ambil saja sendiri di dapur, jangan malu-malu sama Ibu.”
“Iya,
Bu, terima kasih.”
“Oo
iya, nama kamu siapa, Nak?”
“Kiran,
Bu.”
“Oo,
Nak Kiran.”
“Itu,
Bu, apinya kebesaran,” menunjuk api kompor.
Bu
Ratna segera memutar sedikit, mengatur api kompor “Kamu suka masak, Nak?”
“Jarang,
Bu, hee.”
“Ah, kamu pasti sering masak,” Bu
Ratna melihat dari paras Kiran yang asyik memerhatikan dia mengaduk rendang
sehingga Bu Ratna tahu bahwa Kiran suka masak “Oh iya, Ibu sampai lupa, itu, Nak,
kuenya di atas meja,” menunjuk ke meja dapur di dekat Kiran “Bisa buat teh,
kan?”
Kiran
menoleh kue di dalam piring yang tersusun rapi “Oo iya, Bu, bisa, Bu, bisa.”
“Sekalian
buat teh ya, Nak, untuk teman-temanmu, itu tehnya dekat tempat gula, Nak,” menunjuk
ke salah satu tempat yang tak jauh dari kue “Air panasnya di dalam termos itu,
Nak.”
Kiran
bukanlah anak manja yang tak bisa berurusan dengan barang-barang di dapur.
Kiran bukan anak yang tak bisa membedakan mana gula, garam dan micin seperti
anak remaja lainnya.
Dengan
tangkas Kiran menyiapkan satu kaleng dengan sendok, menjangkau toples berisi
teh dan menarik dua tali teh dari dalam toples lalu memasukkannya ke dalam
kaleng. Lalu Kiran menjangkau toples gula di sampingnya menakar dengan sendok begitu
telaten, satu, dua, tiga, empat, Kiran menakar gula ke dalam teko begitu
tangkas. Sekarang tinggal air panas di dalam termos, Kiran mengangkat termos
begitu ringan mengguncang-guncang, ternyata airnya sudah kosong.
Kiran
mengambil teko yang sedikit besar untuk memasak air yang letaknya tak jauh dari
susunan piring di sebelah kirinya. Ia isi teko tersebut dengan air galon lalu
memanaskannya di kompor samping Bu Ratna.
“Air
dalam termos abis, Nak?”
“Abis,
Bu.”
Bu
Ratna kagum dengan ketangkasan Kiran yang begitu telaten dengan barang-barang
dapur. Bu Ratna mematikan kompor tempat dia memanaskan rendang lalu tanpa
disadarinya Kiran sudah menyiapkan kain kecil dan menyodorkannya.
“Ini,
Bu,” Kiran memberikan kain kecil seperti sapu tangan untuk mengangkat rendang
dari kompor yang masih panas.
“Iya,
Nak,” Bu Ratna mengambil kain dari Kiran lalu memindahkan rendang yang
dipanaskannya ke dalam lemari lauk lalu menutupnya.
Teko
yang dipanaskan Kiran sudah mengeluarkan asap tipis dari moncongnya. Segera
Kiran memutar kompor mematikan apinya. Kiran mengambil kain kecil yang lain
untuk mengangkat teko panas yang akan di tumpahkannya ke dalam teko teh. Teko
teh mulai berasap, warna airnya perlahan memerah. Kiran mengaduk-aduk teko teh.
Ia siapkan empat gelas kosong dan langsung membawanya ke ruang tengah tempat
mereka mengerjakan tugas. Kiran kembali ke dapur untuk mengambil kue dan teko
yang berisi teh panas yang baru dibuatnya.
“Mari,
Bu,” ujar Kiran pada Bu Ratna yang masih mengemasi lauk-pauk di lemari dapur
“Iya, Nak Kiran,” balas Bu Ratna.
Bu
Ratna mulai menyukai Kiran saat ia melihat ketangkasan Kiran di dapur tadi.
Baginya tak mudah menemukan wanita remaja seperti itu zaman sekarang. Ia juga
menyukai Kiran yang mudah bergaul dan sopan sama orang tua.
Bu
Ratna sudah selesai dengan pekerjaannya di dapur, ia langsung menemui anak dan
teman-teman anaknya di ruang tengah. Ia dapati keempat anak itu tengah sibuk
dengan tugasnya masing-masing. Kue di dalam piring sudah habis setengah. Teh
panas tak ada lagi di dalam teko, sudah pindah tempat ke empat gelas. Bu Ratna
duduk di kursi dan tersenyum memerhatikan.
Jam
dinding sudah menunjukan pukul 21:30, tugas kelompok yang mereka kerjakan pun
hampir selesai. Weni mulai mengemasi pena, buku serta barang bawaannya ke dalam
tas. Novela pun sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ikbal mulai melepaskan buku
dan penanya. “Sip, selesai,” ujar Kiran lalu menyeruput teh manis dalam
gelasnya.
Bu
Ratna memerhatikan dari kursi sebelah, dekat mereka mengerjakan tugas, masih di
ruang tengah yang sama namun beda meja dan kursinya. Bu Ratna memerhatikan
Kiran yang tangkas, tidak hanya tangkas ia juga cantik dan begitu manis pikir
Bu Ratna sendiri.
“Udah
mau jam sepuluh nih, pulang yok, Wen,” ujar Novela.
“Baru
jam setengah sepuluh, Vel, nih kue habiskan dulu baru boleh pulang,” sambil
menjangkau kue.
“Iya,
Vel, bentar lagi, itu air diminum dulu,” ucap Kiran sambil mengemasi buku,
pena, dan barang lainnya.
“Iya,
Vel, lagian ini kan malam minggu,” tambah Ikbal.
Novela
menyeruput teh manis dalam gelas dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Bu Ratna
masih memerhatikan Kiran, Bu Ratna begitu jatuh hati dengan Kiran. Entah apa
yang membuatnya begitu nyaman dengan Kiran. Perasaan itu hampir persis dengan
yang dirasakan Ikbal saat pertama kali kenal dengan Kiran. Perasaan mudah
dekat, nyaman dan terasa akrab, begitu juga yang dirasa oleh Bu Ratna pada
Kiran saat pertama mengenal Kiran.
“Yok,
lah, Ki, pulang, aku takut nanti nyeberang kalau sudah larut malam,” ujar
Novela sekali lagi.
Kiran
sudah selesai mengemasi barangnya “Ayo lah, Wen, kasian sama Vela kalau larut
malam.”
“Iya,
iya,” mengambil tasnya yang tergeletak.
“Bal,
kami pulang dulu ya, besok-besok ngumpul lagi,” ucap Kiran yang mulai berdiri “Eh,
Ibu” menghampiri Bu Ratna di kursi sebelah lalu mencium tangan Bu Ratna diikuti
oleh Weni dan Novela “Pulang dulu ya, Bu,” meninggalkan Bu Ratna, “Bal, kami
pulang dulu ya,” menuju pintu.
“Iya,
hati-hati, Nak,” balas Bu Ratna “Eh, Nak Kiran,” Kiran menoleh kembali
ke arah Bu Ratna “Kapan-kapan ke sini lagi ya, kita masak-masak nanti,” ajak Bu
Ratna.
“Iya,
Bu, nanti kami ke sini lagi, makasih, Bu.”
“Iya,
Nak, hati-hati.”
“Hati-hati,
Ki,” kata Ikbal.
Bersambung...
Pict: www.rizvisual.com
0 Komentar