Cerita Fiksi Roman Pendek (4)


Masuk SMA (4)

            Mata Kiran terbelalak di dalam kelas. Jantungnya kembali berdetak kencang. Ya Tuhan terima kasih. Badannya mematung, matanya fokus pada satu wajah yang baru masuk ke dalam kelas. Ini hari pertama Kiran masuk sekolah di SMA. Ini juga hari terbahagia Kiran setelah begitu lama tak melihat pria yang ia tunggu setiap pagi di dermaga ketika sekolah menengah.

            Pria yang baru masuk itu terlihat bingung di mana ia akan duduk. Hati Kiran memberontak, degupan itu semakin mengguncang dada, sedangkan matanya belum ia lepaskan dari pria itu. Kiran semakin membatu ketika pria itu mulai berjalan di barisan bangkunya, perlahan melangkah mendekat ke arahnya. Ya Tuhan baru kali ini aku melihanya sedekat ini ucap Kiran dalam hati.

            “Permisi, bangku ini ada orangnya tidak?” pria itu memegang bangku kosong di depan Kiran.

            Kiran masih menatapnya lamat. 

Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek Part 3

            “Permisi, apakah bangku ini belum ada pemiliknya?” pria itu mengulang pertanyaannya.

            Kiran terperanjat “Oh iya, iya kosong, Bal,” Kiran keceplosan.

            Pria itu menatap sejenak, dari mana dia tahu namaku pikirnya, lalu meletakkan tasnya di atas meja “Makasih,” katanya sambil tersenyum tipis.

            Kiran kegirangan, setelah begitu lama mengagumi baru kali ini Kiran melihat senyum manis dilontarkan padanya. Sungguh hari ini begitu membahagiakan bagi Kiran.

            Semua siswa sudah masuk kelas, bangku tak ada lagi yang kosong. Kiran kembali duduk sebangku dengan Weni. Weni juga memutuskan untuk sekolah di SMA Negeri 1. Sebab, sekolah itu yang paling dekat dengan rumahnya, begitupun dengan Kiran. Walaupun setiap pagi harus menyebrangi sungai untuk ke sekolah namun lebih dekat di banding sekolah di pusat kota (Di Kabupaten).

            Sementara di depan Kiran pria itu masih enggan untuk bicara sekali pun dengan teman sebangkunya. Ia hanya sibuk dengan HP di tangannya. Pria itu tampak begitu dingin entah karena baru masuk sekolah dan tak ada teman atau memang sifatnya yang demikian. Kiran masih nyaman menatap pria itu meski hanya dari belakang.

            Tak lama kemudian datang seorang guru yang masih begitu muda. Tanpa membawa perangkat pembelajaran guru itu masuk dan memperkenalkan nama serta tugasnya di sekolah. Dia adalah guru bahasa Inggris yang masih magang, Bu Laras namanya, bertubuh mungil, berjilbab panjang hingga hampir ujung jilbabnya sama rata dengan almamaternya. Untuk menjadi salah satu syarat sebelum membuat skripsi dia harus magang selama tiga bulan di sekolah ini. Apa kalian pernah diajar oleh guru yang masih magang? atau kalian salah satu dari guru tersebut.? Ya, seperti kebanyakan guru-guru magang lainnya, Bu Laras begitu kaku saat berbicara di depan para siswa. Dahi Bu Laras sedikit demi sedikit mulai berair. Suara yang begitu lantang kini menyusut.

            Setelah panjang lebar Bu Laras bercerita akhirnya dia juga ingin tahu nama-nama siswa di kelasnya.  Dimulai dari yang paling depan menyebutkan nama, hobi, cita-cita, asal, dan lain-lain. Tiba saatnya putaran itu menghampiri pria di depan Kiran. Ia maju ke depan dengan tenang berdiri menghadap 39 siswa di depannya.

            Pria itu menarik nafas sejenak dan kedua tangannya berada di belakang pinggang “Perkenalkan nama saya Ikbal Gilang Prasetya.”

            Weni terbelalak ia mencoba kembali mengingat. Nama itu rasanya tak asing lagi di kepalanya. Dan ketika pria itu menyelesaikan perkenalannya Weni mengingat nama itu dari mana dia dapatkan pertama kali. Sedangkan Kiran yang berada di sebelahnya masih saja menatap lamat pria di depan.

            Weni mecolek pinggang Kiran membuat Kiran terperanjat “Ki, ini orangnya yang kau tulis dulu di bukumu?”

            Kiran tersenyum malu “Iya Wen, ganteng kan?”

            Cie-cie,” Weni membesarkan sedikit suaranya.

            Kiran panik-panik dan menutup mulut Weni dengan kedua tangannya “Shuuttttt,” Kiran meminta Weni diam.

            Pria itu telah menyelesaikan perkenalannya. Kiran kembali memandangnya berjalan menuju tempat duduk. Kiran tersenyum melihatnya ketika ia akan duduk lalu pria itu pun membalas senyum Kiran. 

Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek Part 2

            Tak ada mata pelajaran hari itu. Belum ada jadwal yang dibuat oleh pihak sekolah. Siswa hanya diperkenalkan dengan guru-guru yang masuk kelas dan siswa juga mengenalkan dirinya. Pukul 10:30 bel pulang sudah berbunyi. Seluruh siswa keluar ruangan berdesak-desakan, namun, Kiran tetap tenang duduk di bangkunya, sebab pria itu pun masih tenang di tempatnya. Kiran ingin sekali berkenalan langsung dengannya tapi rasa malu masih menghantuinya.

            Sementara, Weni begitu lincah mengemasi buku-bukunya. Dengan cepat ia masukan semua barang bawaannya ke dalam tas.

            “Ki, ayo pulang,” dengan tas yang sudah menempel di pundak.

            Kiran masih duduk diam. Ia kemasi barang bawaannya dengan malas. Masih ada pria itu di depan Kiran, terlihat dia pun mulai mengemasi barangnya.

            “Iya Wen, sabar,” masih memasukan buku-buku.

            Hanya ada mereka bertiga di dalam kelas. Pria itu masih mengemasi buku-bukunya memisahkan antara pena dan peralatan lainnya ke dalam kotak kecil persegi panjang, berwarna biru sebesar kotak sabun namun memanjang.

            Weni sudah begitu gelisah ingin secepatnya ia pergi dari kelas. Entah apa yang membuatnya ingin cepat pulang. “Ki, aku ke belakang dulu, ya!” beranjak dari tempat duduknya menuju toilet.

            Kiran menoleh Weni yang memegangi perutnya “Iya, iya, Wen.”

            Tinggal mereka berdua di kelas. Kiran memberanikan diri membuka pembicaraan “Bal, kenapa tidak datang kemaren pas kelulusan?” Kiran sudah menyelesaikan kemasannya.

            Pria itu menoleh ke belakang. Kiran tersenyum. “Oh, kamu sekolah di sana juga?” Pria itu tersenyum.

            Kiran membalas senyum Pria itu “Hehe iya,” ucap Kiran malu.

            Pria itu menyodorkan tangannya ke arah Kiran lalu disambut oleh Kiran “Ikbal,” ucapnya.

            “Iya, sudah kenal kok. Kiran,” katanya menyebutkan namanya ditambah senyum manis yang mengembang di wajahnya.

            “Kenal dari mana?”

            “Dari kemaren, waktu Pak Ali mengabsen di kelas kalian.”

Kiran masih belum bisa membuang senyumnya, sungguh ini hari terbaik bagiku, pikir Kiran. Tiba-tiba HP Kiran bergetar, ada pesan masuk di sana. “Ki, aku pulang duluan ya, perut aku sakit,” pesan dari Weni.

“Iya, Wen,” balas Kiran.

            Ikbal mengingat kejadian waktu Pak Ali mengabsen “Yang mana, ya?”

            Kiran tersenyum “Yang kemaren, pas kamu angkat tangan, aku di depan pintu kelas kalian,” Kiran mencoba mengingatkan.

            “Ohh, yang itu, yang kamu diusir Pak Ali itu kan,” Ikbal tersenyum.

            “hehe, iya, Bal,” Kiran tersimpu malu. “Terus kenapa kemarin tidak masuk pas kelulusan, Bal?” Kiran mengulang pertanyaan pertamanya.

            “Oh, hari itu pas ada acara di tempat keluarga, jadi kami sekeluarga ikut ke sana.”

            Ooo.”

            “Hehe, iya,” ujar Ikbal tersenyum “Eh, ngomong-ngomong udah sepi ni, kamu pulang sama siapa?”

            “Sendiri, Bal, soalnya Weni udah duluan, sakit perut katanya,” Kiran mulai nyaman berbincang dengan Ikbal.

            “Kamu dari seberang, kan?”. Ikbal mengetahui Kiran dari seberang karena dia mendengar Kiran menyebutkan tempat asalnya waktu perkenalan pagi tadi.

            “Iya, Bal, dari seberang.”

            “Kalau gitu pulang sama-sama saja, aku juga dari seberang.”

            “Iya, Bal.”

            Yok,” Ikbal beranjak meninggalkan bangku sementara Kiran mengikuti di belakang Ikbal.

            Kiran menundukan kepalanya berjalan di belakang Ikbal sambil tersenyum-senyum sendiri. Sesampainya di parkiran Kiran berdiri di depan pintu gerbang, sementara Ikbal berjalan menuju motornya.

            Yok, naik,” ucap Ikbal memberhentikan motornya di depan Kiran.

            “Iya, Bal,” Kiran menyimpulkan kakinya di atas motor.

            Tak banyak yang bisa dibicarakan di atas motor. Kiran hanya bisa tersenyum sendiri.

Ikbal memberhentikan motornya di dermaga “Yok, Ki, ke situ,” ajak Ikbal menujuk warung untuk berteduh sambil menunggu motor mereka dinaikkan ke perahu.

“Iya, Bal.”

Tidak banyak motor untuk diseberangkan jika sudah tengah hari seperti ini. Jadi penumpang harus menunggu pengendara lain yang ingin menyeberang terlebih dahulu. Karena orang perahu tak mau mengangkut jika hanya satu motor, tak banyak untungnya.

Hari itu begitu panas di dermaga. Hanya ada pekerja yang masih bertahan di bawah terik matahari melihat-lihat motor yang akan datang. Sementara itu, motor Ikbal sudah menunggu di perahu.

“Ini, Ki,” Ikbal menjulurkan teh botol kepada Kiran yang duduk di kursi warung.

Kiran menoleh dan mengambil dari tangan Ikbal “Iya, Bal, makasih.”

Akhirnya, tak lama menunggu datang satu penumpang untuk menyeberang. Orang perahu segara menaikkan motor penumpang tersebut  ke perahu “Ayo, ayo, Dek jalan,” teriak orang perahu kepada Ikbal dan Kiran yang duduk sambil menikmati teh botol.

Kiran bergegas mendekati perahu sementara Ikbal mengeluarkan dompet untuk membayar air minum “Ini, Bu,” ucapnya lalu bergegas mendekati perahu.

Makasih, Dek,” balas orang warung.

“Ayo, naik,” kata Ikbal.

“Iya, Bal,” Kiran tertatih-tatih untuk naik ke perahu.

Ikbal kembali keluar dari perahu menjemput Kiran lalu menuntun Kiran berjalan menaiki perahu. Dada Kiran kembali berdetak kencang saat Ikbal memegang tangannya, menuntunya berjalan dengan genggaman erat.

Makasih, Bal,” ucap Kiran sementara Ikbal hanya tersenyum dan duduk di atas motornya di perahu. Kiran duduk di papan yang telah disediakan oleh orang perahu.

Sesampainya di seberang Ikbal kembali menuntun Kiran untuk naik ke dermaga. Motor Ikbal sudah terlebih dahulu diturunkan dari perahu.

Oo, iya, rumah kamu di mana, Ki?”

“Di dekat plang perbatasan Desa Semburat dengan Tanjung Kerucut, Bal.”

Yok, aku antar.”

“Tidak usah, Bal, dekat dari sini.”

“Jauh itu, Ki, apalagi panas begini, rumahku juga menuju ke sana kok, yok lah.” 

Oo, rumahmu juga di sana.”

“Iya, Ki, rumahku di Desa Parit Baru.”

Oo, jauh ya.”

“Iya jauh,” Ikbal menjalankan motor meninggalkan dermaga.

Tak lama menjalankan motor dari dermaga Ikbal menanyakan rumah Kiran “Yang mana rumahmu, Ki?”

“Yang ini, Bal, dekat plang ini.” menunjuk salah satu rumah.

Ikbal memberhentikan motornya di depan rumah Kiran. Kiran turun dari motor “Oh iya, Bal, masuk dulu yok.” 

“Tak usah, Ki, besok-besok aja,” balas Ikbal. “Oh iya, Ki, ini pin BBM aku,” memperlihatkan HP-nya “Kalau besok mau ke sekolah sama-sama, chat ya, Ki.”

Kiran menyimpan pin BBM Ikbal di HP-nya lalu mengirim satu titik untuk memastikan pin yang dikirimnya benar masuk ke HP Ikbal “Iya, Bal, makasih ya.”

“Iya sama-sama, Ki,” Kembali memasukan HP-nya ke saku celana.

“Benar tidak mau masuk dulu?” tanya Kiran kembali.

“Besok-besok aja, Ki,” Ikbal menghidupkan motornya.

“Iya, Bal, makasih, Bal.”

“Iya Ki, Yok, Ki,” Ikbal melaju pulang.

Kiran masuk menuju pintu rumah yang seakan tersenyum menyambutnya. Sungguh ini hari terbaikku, ya Allah terima kasih katanya sambil tersenyum kegirangan. Belum sampai ke pintu rumah Kiran sudah memikirkan besok di sekolah. Ia ingin cepat-cepat kembali ke sekolah untuk bertemu Ikbal. Kiran bernyanyi-nyanyi, menari masuk rumah dan langsung menuju kamarnya, berbaring sejenak memikirkan Ikbal. “Semoga saja waktu hari ini cepat berlalu biar cepat masuk sekolah" katanya entah kepada siapa.

Sungguh Kiran tak menyangka akan bertemu lagi dengan pria bermata sipit itu. Ya, pria yang sejak kelas IX ia tunggu di dermaga. Pria yang selalu membuat ia tertawa-tawa sendiri. Pria yang membuatnya jatuh hati sejak sekolah menengah. Dan sekarang tanpa diduga Kiran malah bisa lebih dekat dengannya.

Apakah kalian pernah jatuh cinta kepada sesorang selama bertahun-tahun tanpa diketahui oleh orang yang kalian cintai? Atau bahkan dia pun tak kenal sama sekali dengan kalian? Lalu tiba-tiba dalam setengah hari kalian begitu dekat dengannya, berjalan berdua dengannya, bahkan dia berniat untuk kembali bertemu dengan kalian? Sungguh, itu akan sangat membahagiakan sekali. Begitu juga yang dirasakan Kiran saat ini setelah begitu lama menyukai Ikbal tanpa Ikbal mengenalinya. Dan sekarang ia bisa sedekat ini dengan Ikbal dalam waktu setengah hari. Dan Ikbal sendiri yang memberikan pin BBM kepadanya untuk pergi sekolah sama-sama lagi. Ini adalah hari termanis Kiran. Barang-barang terlihat bersahabat dengannya hari ini, terasa semua tersenyum padanya.

Kiran semakin jatuh hati pada Ikbal yang begitu baik padanya. Ia tak menyangka Ikbal sebaik itu dan mudah bersahabat. Padahal ia selalu terlihat sendiri dan malas untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Setelah salat isya di kamar, Kiran terlihat menunggu sesuatu di HP-nya. Tak lama kemudian HP-nya bergetar. Ya, ada pesan masuk di BBM-nya. Kiran dengan cepat membuka pesan masuk tersebut. “Selamat malam, Tuan Putri,” pesan itu mengejutkan Kiran, membuat jantungnya berdebar kencang. Siapa ini? pikirnya.

Pict: lukisan-agus.blogspot.com

***

Posting Komentar

0 Komentar