
Mata
Kiran terbelalak di dalam kelas. Jantungnya kembali berdetak kencang. Ya Tuhan
terima kasih. Badannya mematung, matanya fokus pada satu wajah yang baru
masuk ke dalam kelas. Ini hari pertama Kiran masuk sekolah di SMA. Ini juga
hari terbahagia Kiran setelah begitu lama tak melihat pria yang ia tunggu
setiap pagi di dermaga ketika sekolah menengah.
Pria
yang baru masuk itu terlihat bingung di mana ia akan duduk. Hati Kiran
memberontak, degupan itu semakin mengguncang dada, sedangkan matanya belum ia
lepaskan dari pria itu. Kiran semakin membatu ketika pria itu mulai berjalan di
barisan bangkunya, perlahan melangkah mendekat ke arahnya. Ya Tuhan baru kali
ini aku melihanya sedekat ini ucap Kiran dalam hati.
“Permisi,
bangku ini ada orangnya tidak?” pria itu memegang bangku kosong di depan Kiran.
Kiran masih menatapnya lamat.
Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek Part 3
“Permisi,
apakah bangku ini belum ada pemiliknya?” pria itu mengulang pertanyaannya.
Kiran
terperanjat “Oh iya, iya kosong, Bal,” Kiran keceplosan.
Pria
itu menatap sejenak, dari mana dia tahu namaku pikirnya, lalu meletakkan tasnya
di atas meja “Makasih,” katanya sambil tersenyum tipis.
Kiran
kegirangan, setelah begitu lama mengagumi baru kali ini Kiran melihat senyum
manis dilontarkan padanya. Sungguh hari ini begitu membahagiakan bagi Kiran.
Semua
siswa sudah masuk kelas, bangku tak ada lagi yang kosong. Kiran kembali duduk
sebangku dengan Weni. Weni juga memutuskan untuk sekolah di SMA Negeri 1.
Sebab, sekolah itu yang paling dekat dengan rumahnya, begitupun dengan Kiran.
Walaupun setiap pagi harus menyebrangi sungai untuk ke sekolah namun lebih
dekat di banding sekolah di pusat kota (Di Kabupaten).
Sementara
di depan Kiran pria itu masih enggan untuk bicara sekali pun dengan teman
sebangkunya. Ia hanya sibuk dengan HP di tangannya. Pria itu tampak begitu
dingin entah karena baru masuk sekolah dan tak ada teman atau memang sifatnya
yang demikian. Kiran masih nyaman menatap pria itu meski hanya dari
belakang.
Tak
lama kemudian datang seorang guru yang masih begitu muda. Tanpa membawa
perangkat pembelajaran guru itu masuk dan memperkenalkan nama serta tugasnya di
sekolah. Dia adalah guru bahasa Inggris yang masih magang, Bu Laras namanya,
bertubuh mungil, berjilbab panjang hingga hampir ujung jilbabnya sama rata dengan
almamaternya. Untuk menjadi salah satu syarat sebelum membuat skripsi dia harus
magang selama tiga bulan di sekolah ini. Apa kalian pernah diajar oleh guru
yang masih magang? atau kalian salah satu dari guru tersebut.? Ya, seperti
kebanyakan guru-guru magang lainnya, Bu Laras begitu kaku saat berbicara di
depan para siswa. Dahi Bu Laras sedikit demi sedikit mulai berair. Suara yang
begitu lantang kini menyusut.
Setelah
panjang lebar Bu Laras bercerita akhirnya dia juga ingin tahu nama-nama siswa
di kelasnya. Dimulai dari yang paling
depan menyebutkan nama, hobi, cita-cita, asal, dan lain-lain. Tiba saatnya
putaran itu menghampiri pria di depan Kiran. Ia maju ke depan dengan tenang
berdiri menghadap 39 siswa di depannya.
Pria
itu menarik nafas sejenak dan kedua tangannya berada di belakang pinggang
“Perkenalkan nama saya Ikbal Gilang Prasetya.”
Weni
terbelalak ia mencoba kembali mengingat. Nama itu rasanya tak asing lagi di
kepalanya. Dan ketika pria itu menyelesaikan perkenalannya Weni mengingat nama
itu dari mana dia dapatkan pertama kali. Sedangkan Kiran yang berada di
sebelahnya masih saja menatap lamat pria di depan.
Weni
mecolek pinggang Kiran membuat Kiran terperanjat “Ki, ini orangnya yang kau
tulis dulu di bukumu?”
Kiran
tersenyum malu “Iya Wen, ganteng kan?”
“Cie-cie,”
Weni membesarkan sedikit suaranya.
Kiran
panik-panik dan menutup mulut Weni dengan kedua tangannya “Shuuttttt,”
Kiran meminta Weni diam.
Pria itu telah menyelesaikan perkenalannya. Kiran kembali memandangnya berjalan menuju tempat duduk. Kiran tersenyum melihatnya ketika ia akan duduk lalu pria itu pun membalas senyum Kiran.
Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek Part 2
Tak
ada mata pelajaran hari itu. Belum ada jadwal yang dibuat oleh pihak sekolah.
Siswa hanya diperkenalkan dengan guru-guru yang masuk kelas dan siswa juga
mengenalkan dirinya. Pukul 10:30 bel pulang sudah berbunyi. Seluruh siswa
keluar ruangan berdesak-desakan, namun, Kiran tetap tenang duduk di bangkunya,
sebab pria itu pun masih tenang di tempatnya. Kiran ingin sekali berkenalan
langsung dengannya tapi rasa malu masih menghantuinya.
Sementara,
Weni begitu lincah mengemasi buku-bukunya. Dengan cepat ia masukan semua barang
bawaannya ke dalam tas.
“Ki,
ayo pulang,” dengan tas yang sudah menempel di pundak.
Kiran
masih duduk diam. Ia kemasi barang bawaannya dengan malas. Masih ada pria itu
di depan Kiran, terlihat dia pun mulai mengemasi barangnya.
“Iya
Wen, sabar,” masih memasukan buku-buku.
Hanya
ada mereka bertiga di dalam kelas. Pria itu masih mengemasi buku-bukunya
memisahkan antara pena dan peralatan lainnya ke dalam kotak kecil persegi
panjang, berwarna biru sebesar kotak sabun namun memanjang.
Weni
sudah begitu gelisah ingin secepatnya ia pergi dari kelas. Entah apa yang
membuatnya ingin cepat pulang. “Ki, aku ke belakang dulu, ya!” beranjak dari
tempat duduknya menuju toilet.
Kiran
menoleh Weni yang memegangi perutnya “Iya, iya, Wen.”
Tinggal
mereka berdua di kelas. Kiran memberanikan diri membuka pembicaraan “Bal,
kenapa tidak datang kemaren pas kelulusan?” Kiran sudah menyelesaikan
kemasannya.
Pria
itu menoleh ke belakang. Kiran tersenyum. “Oh, kamu sekolah di sana juga?” Pria
itu tersenyum.
Kiran
membalas senyum Pria itu “Hehe iya,” ucap Kiran malu.
Pria
itu menyodorkan tangannya ke arah Kiran lalu disambut oleh Kiran “Ikbal,”
ucapnya.
“Iya,
sudah kenal kok. Kiran,” katanya menyebutkan namanya ditambah senyum manis yang mengembang di
wajahnya.
“Kenal
dari mana?”
“Dari
kemaren, waktu Pak Ali mengabsen di kelas kalian.”
Kiran masih belum bisa membuang senyumnya, sungguh ini
hari terbaik bagiku, pikir Kiran. Tiba-tiba HP Kiran bergetar, ada pesan masuk
di sana. “Ki, aku pulang duluan ya, perut aku sakit,” pesan dari Weni.
“Iya, Wen,” balas Kiran.
Ikbal
mengingat kejadian waktu Pak Ali mengabsen “Yang mana, ya?”
Kiran
tersenyum “Yang kemaren, pas kamu angkat tangan, aku di depan pintu kelas
kalian,” Kiran mencoba mengingatkan.
“Ohh,
yang itu, yang kamu diusir Pak Ali itu kan,” Ikbal tersenyum.
“hehe,
iya, Bal,” Kiran tersimpu malu. “Terus kenapa kemarin tidak masuk pas kelulusan,
Bal?” Kiran mengulang pertanyaan pertamanya.
“Oh,
hari itu pas ada acara di tempat keluarga, jadi kami sekeluarga ikut ke sana.”
“Ooo.”
“Hehe,
iya,” ujar Ikbal tersenyum “Eh, ngomong-ngomong udah sepi ni, kamu pulang sama
siapa?”
“Sendiri,
Bal, soalnya Weni udah duluan, sakit perut katanya,” Kiran mulai nyaman
berbincang dengan Ikbal.
“Kamu
dari seberang, kan?”. Ikbal mengetahui Kiran dari seberang karena dia mendengar
Kiran menyebutkan tempat asalnya waktu perkenalan pagi tadi.
“Iya,
Bal, dari seberang.”
“Kalau
gitu pulang sama-sama saja, aku juga dari seberang.”
“Iya,
Bal.”
“Yok,”
Ikbal beranjak meninggalkan bangku sementara Kiran mengikuti di belakang Ikbal.
Kiran
menundukan kepalanya berjalan di belakang Ikbal sambil tersenyum-senyum
sendiri. Sesampainya di parkiran Kiran berdiri di depan pintu gerbang,
sementara Ikbal berjalan menuju motornya.
“Yok,
naik,” ucap Ikbal memberhentikan motornya di depan Kiran.
“Iya,
Bal,” Kiran menyimpulkan kakinya di atas motor.
Tak
banyak yang bisa dibicarakan di atas motor. Kiran hanya bisa tersenyum sendiri.
Ikbal memberhentikan motornya di dermaga “Yok,
Ki, ke situ,” ajak Ikbal menujuk warung untuk berteduh sambil menunggu motor
mereka dinaikkan ke perahu.
“Iya, Bal.”
Tidak banyak motor untuk diseberangkan jika sudah
tengah hari seperti ini. Jadi penumpang harus menunggu pengendara lain yang
ingin menyeberang terlebih dahulu. Karena orang perahu tak mau mengangkut jika hanya
satu motor, tak banyak untungnya.
Hari itu begitu panas di dermaga. Hanya ada pekerja
yang masih bertahan di bawah terik matahari melihat-lihat motor yang akan
datang. Sementara itu, motor Ikbal sudah menunggu di perahu.
“Ini, Ki,” Ikbal menjulurkan teh botol kepada Kiran
yang duduk di kursi warung.
Kiran menoleh dan mengambil dari tangan Ikbal “Iya,
Bal, makasih.”
Akhirnya, tak lama menunggu datang satu penumpang
untuk menyeberang. Orang perahu segara menaikkan motor penumpang tersebut ke perahu “Ayo, ayo, Dek jalan,” teriak orang
perahu kepada Ikbal dan Kiran yang duduk sambil menikmati teh botol.
Kiran bergegas mendekati perahu sementara Ikbal
mengeluarkan dompet untuk membayar air minum “Ini, Bu,” ucapnya lalu bergegas
mendekati perahu.
“Makasih, Dek,” balas orang warung.
“Ayo, naik,” kata Ikbal.
“Iya, Bal,” Kiran tertatih-tatih untuk naik ke perahu.
Ikbal kembali keluar dari perahu menjemput Kiran lalu
menuntun Kiran berjalan menaiki perahu. Dada Kiran kembali berdetak kencang
saat Ikbal memegang tangannya, menuntunya berjalan dengan genggaman erat.
“Makasih, Bal,” ucap Kiran sementara Ikbal
hanya tersenyum dan duduk di atas motornya di perahu. Kiran duduk di papan yang
telah disediakan oleh orang perahu.
Sesampainya di seberang Ikbal kembali menuntun Kiran
untuk naik ke dermaga. Motor Ikbal sudah terlebih dahulu diturunkan dari
perahu.
“Oo, iya, rumah kamu di mana, Ki?”
“Di dekat plang perbatasan Desa Semburat dengan
Tanjung Kerucut, Bal.”
“Yok, aku antar.”
“Tidak usah, Bal, dekat dari sini.”
“Jauh itu, Ki, apalagi panas begini, rumahku juga
menuju ke sana kok, yok lah.”
“Oo, rumahmu juga di sana.”
“Iya, Ki, rumahku di Desa Parit Baru.”
“Oo, jauh ya.”
“Iya jauh,” Ikbal menjalankan motor meninggalkan
dermaga.
Tak lama menjalankan motor dari dermaga Ikbal
menanyakan rumah Kiran “Yang mana rumahmu, Ki?”
“Yang ini, Bal, dekat plang ini.” menunjuk salah satu
rumah.
Ikbal memberhentikan motornya di depan rumah Kiran.
Kiran turun dari motor “Oh iya, Bal, masuk dulu yok.”
“Tak usah, Ki, besok-besok aja,” balas Ikbal. “Oh iya,
Ki, ini pin BBM aku,” memperlihatkan HP-nya “Kalau besok mau ke sekolah
sama-sama, chat ya, Ki.”
Kiran menyimpan pin BBM Ikbal di HP-nya lalu
mengirim satu titik untuk memastikan pin yang dikirimnya benar masuk ke HP
Ikbal “Iya, Bal, makasih ya.”
“Iya sama-sama, Ki,” Kembali memasukan HP-nya ke saku
celana.
“Benar tidak mau masuk dulu?” tanya Kiran kembali.
“Besok-besok aja, Ki,” Ikbal menghidupkan motornya.
“Iya, Bal, makasih, Bal.”
“Iya Ki, Yok, Ki,” Ikbal melaju pulang.
Kiran masuk menuju pintu rumah yang seakan tersenyum
menyambutnya. Sungguh ini hari terbaikku, ya Allah terima kasih katanya sambil
tersenyum kegirangan. Belum sampai ke pintu rumah Kiran sudah memikirkan besok
di sekolah. Ia ingin cepat-cepat kembali ke sekolah untuk bertemu Ikbal. Kiran
bernyanyi-nyanyi, menari masuk rumah dan langsung menuju kamarnya, berbaring
sejenak memikirkan Ikbal. “Semoga saja waktu hari ini cepat berlalu biar cepat
masuk sekolah" katanya entah kepada siapa.
Sungguh Kiran tak menyangka akan bertemu lagi dengan pria bermata sipit itu. Ya, pria yang sejak kelas IX ia tunggu di dermaga. Pria
yang selalu membuat ia tertawa-tawa sendiri. Pria yang membuatnya jatuh hati
sejak sekolah menengah. Dan sekarang tanpa diduga Kiran malah bisa lebih dekat
dengannya.
Apakah kalian pernah jatuh cinta kepada sesorang
selama bertahun-tahun tanpa diketahui oleh orang yang kalian cintai? Atau
bahkan dia pun tak kenal sama sekali dengan kalian? Lalu tiba-tiba dalam
setengah hari kalian begitu dekat dengannya, berjalan berdua dengannya, bahkan dia berniat untuk kembali bertemu dengan kalian? Sungguh, itu akan sangat
membahagiakan sekali. Begitu juga yang dirasakan Kiran saat ini setelah begitu
lama menyukai Ikbal tanpa Ikbal mengenalinya. Dan sekarang ia bisa sedekat ini
dengan Ikbal dalam waktu setengah hari. Dan Ikbal sendiri yang memberikan pin BBM
kepadanya untuk pergi sekolah sama-sama lagi. Ini adalah hari termanis
Kiran. Barang-barang terlihat bersahabat dengannya hari ini, terasa semua
tersenyum padanya.
Kiran semakin jatuh hati pada Ikbal yang begitu baik
padanya. Ia tak menyangka Ikbal sebaik itu dan mudah bersahabat. Padahal ia
selalu terlihat sendiri dan malas untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Setelah salat isya di kamar, Kiran terlihat menunggu sesuatu di HP-nya. Tak lama kemudian HP-nya bergetar. Ya, ada pesan masuk di BBM-nya. Kiran dengan cepat membuka pesan masuk tersebut. “Selamat malam, Tuan Putri,” pesan itu mengejutkan Kiran, membuat jantungnya berdebar kencang. Siapa ini? pikirnya.
Pict: lukisan-agus.blogspot.com
***
0 Komentar