Novel Romantis Sejarah

Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek (Part 3)

Di kamar, Sumi baru saja selesai merapikan pangkeng mereka, mengenakan sarung bantal yang tadi siang ia cuci. Ia intip di luar hujan begitu deras. Sudah pukul sepuluh tiga puluh suaminya belum juga pulang. Dadanya berdetak cepat seakan merasakan kehadiran seseorang. Ia bergegas melihat ke luar. Tak ia dapati siapapun, hanya hembusan angin kencang menggoyang-goyangkan pepohonan. Bagaimana bisa pulang jika hujan deras begini pikirnya, lalu ia berbaring di pangkeng.

Di tengah desir angin dan pecahan hujan yang menghantam atap rumah, tak tahu kenapa ingatan malam lalu meronta di kepalanya. Ia bayangkan kejadian malam kemarin bersama suaminya. Sungguh ia sudah tak sabar ingin mengulangnya kembali malam ini. Buah dadanya tiba-tiba terasa mengembang. Tanpa sadar tangannya sudah menyusur ke dalam celana. Matanya terpejam dan menggeliat-liat di atas pangkeng, tangan lain meremas-remas sendiri buah dadanya. Sumi semakin tak sabar. Pangkeng yang baru saja ia rapikan kembali berantakan oleh tubuhnya sendiri. Semakin lama semakin ia menggeliat hebat. Suara derit pangkeng yang terbuat dari kayu berlantai papan dan dialasi tikar dari anyaman daun pudak (Belungkor) samar-samar terdengar, berlawanan dengan suara hujan yang pecah di atap rumahnya.

Dalam derasnya hujan dan desiran angin Sukri mendengar kambali lolongan anjing dari belakang rumah Wan Timah. Tak sadar ia sudah terlelap di muka pintu kamar Wan Timah. Setengah sadar ia membuka mata mengamati baik-baik suara anjing dalam deras hujan menghantam atap yang terbuat dari anyaman daun sagu, ditambah derit kayu rumah dan cericit suara tikus. Lolongan itu semakin mendekat ke arah rumah, terdengar beriringan. Sekilas ia tatap Wan Timah sudah terpejam dalam. Tak ia hiraukan anjing-anjing itu, ia kembali pada lamunannya. Terdengar jelas dengusan anjing-anjing di belakang rumah Wan Timah. Sukri segera bangkit dan mengintip dari celah pintu. Ia dapati puluhan anjing sedang berkerumun di sana, mengais-ngaiskan kaki mereka ke tanah di samping pohon manggis. Sukri sama sekali tidak tahu apa yang mereka lakukan. Anjing-anjing itu tampak semangat sekali menggali lubang di sana, gerakannya sama, seakan mencari sesuatu yang terkubur. Apa yang mereka cari? Sukri begitu penasaran.

            Sukri terperanjat ketika terdengar ketukan dari pintu depan. Segera ia buka dan mendapati Muslimin tiba dengan tubuh basah kuyup. Muslimin langsung masuk dan menarik handuk yang tergantung di dinding. Ia buka baju juga celananya, menyisakan celana dalam. Ia keringkan dari kaki hingga rambutnya. “Dah lamak ke kau datang?” (Sudah lama kau datang?) bibir Muslimin bergetar kedinginan.

            Dah lamak lah. Dari lakak ise tadek. Kau ke mane lamak inyan?” (Sudah lama lah. Dari selesai isya.)

            Sekejap Muslimin terdiam mendengar pertanyaan Sukri, dan cepat-cepat ia mengalihkan pertanyaan Sukri. “Yang laing mane?”

            Aku sorang dari tadek sitok. Sean yang laing datang.” (Aku sendiri dari tadi di sini. Tidak ada yang lain datang.)

            Muslimin duduk mencari tempat hangat di dekat Wan Timah, ia gulung tubuhnya dengan kain. Sukri masih berdiri dan kembali mengintip anjing-anjing di belakang rumah. Masih ia dapati anjing-anjing itu.

            “Min.” Baca Juga: Part Pertama

Sangat pelan Sukri memanggil Muslimin yang tengah menghangatkan tubuhnya. mata Sukri tak lepas dari gerombolan anjing itu, ia sungguh penasaran apa yang dicari anjing-anjing itu.

Oy,” balas Muslimin yang mulai bersila sambil membalutkan kain.

            Sitok bantar be.” (Ke sini bentar.)

            Mendengar suara Sukri yang teramat pelan mengundang penasaran. Muslimin langsung bangkit menemui Sukri yang mengintip lewat celah pintu. Ia dekati pelan-pelan Sukri. Tanpa diperintah, Muslimin langsung mencari celah untuk mengintip keluar. Sungguh Muslimin juga bertanya-tanya apa yang dicari gerombolan anjing itu. Ia juga sedikit tak percaya dengan gerombolan anjing yang begitu banyak. Heran, dari mana datangnya anjing-anjing itu?

            Ape yang dicareknye ye?”

            Daan tau. Dah dari tadek ye.” (Tidak tahu. Sudah dari tadi.)

            Lama mereka memerhatikan tak juga mereka temukan apa yang sedang dicari oleh anjing-anjing itu. Anjing-anjing itu belum juga selesai dengan kelakuannya mengais-ngaiskan kaki mereka ke tanah. Muslimin memutuskan untuk kembali ke kamar sebab tubuhnya sangat menggigil. Sukri masih lekat memandangi kelakuan anjing di luar sana. Ia sangat penasaran walaupun tampak samar karena hanya mengandalkan cahaya kilatan dari langit.

Pukul dua belas lewat Sukri masih saja mengintip. Sudah berapa lama ia memerhatikan gerombolan anjing yang terus mengais tanah, ia sendiri tidak tahu. Tapi, rasa penasaran itu membuat waktu seolah cepat berlalu. Rasa penasaran juga kadang membuat waktu lama berjalan sebab belum ia ketahui apa sebenarnya yang dicari gerombolan anjing panik itu. Suara dentuman di langit membuat seekor anjing tampak berlari ke arah hutan, menghilang di antara rimbun pohon ubi dan kegelapan. Tak lama segerombolan anjing berlomba melarikan diri ke arah yang sama. Tidak ada tanda-tanda apa yang ditinggalkan selain ribuan bekas kuku di tanah. Seketika Sukri merasa apa yang ia lakukan tak ada manfaatnya. Berjam-jam mengintip hingga membuat pinggangnya terasa remuk hanya untuk melihat bekas kuku anjing di tanah. Rasa penasaran di dalam dirinya seketika lenyap bagai anjing yang tiba-tiba hilang di depan matanya. Kini di kepalanya terngiang pesan Sumi sebelum berangkat ke rumah Wan Timah.

            Muslimin sudah tergolek membahui Wan Timah. Matanya menatap kosong, memikirkan kejadian beberapa jam lalu yang ia lakukan. Sungguh itu kejadian yang sangat memalukan jika ketahuan. Bisa-bisa ia jadi bulan-bulanan warga. Dan tentunya Sukri akan mencincang-cincang kepalanya, merobek-robek isi perutnya, mungkin juga memenggal kepalanya. Rasa takut Muslimin semakin menjadi ketika mendengar Sukri hendak pamit pulang. Rasa takutnya bercampur aduk, selain kejadian biadab beberapa jam lalu juga masalah ketakutannya ditinggal sendiri di rumah Wan Timah.

            Maseh ujan tok be, Suk. Kalak sikit nunggu tadoh.”

            Kau tidok sitok dibe, kawanek uwan.”

            Mendengar usulan Sukri itu, jelas ia tak sepakat. Bahkan tak pernah terlintas di pikirannya untuk menemani Wan Timah sendirian, apalagi harus tidur berdua di dalam kamar bersama Wan Timah. Sebab, tak ada tempat lain untuk merebahkan tubuh selain di ruang tengah. Ruang tengah itu berukuran sempit berlantai papan, tak kalah kotor dari kandang ayam belakang rumahnya.

            Melihat Sukri beranjak membuka pintu depan, cepat-cepat ia bangkit. Tak mungkin menahan Sukri untuk menunggu hujan reda, itu sama saja melakukan hal sia-sia pikir Muslimin menghantarkan tubuh Sukri hilang di kegelapan. Sementara, pakaian basah miliknya yang ia gantung di daun pintu cepat ia kenakan. Wan Timah tertidur dalam remang cahaya kuning petromak. Pelita yang terbuat dari bekas kaleng susu diberi sumbu dan minyak tanah tergeletak di ujung kaki Wan Timah dipindahkan Muslimin ke depan pintu kamar. Tanpa membangunkan Wan Timah dari tidurnya, Muslimin ke luar menembus hujan.

***

Hari-hari merambat cepat. Minggu berlalu. Bulan ke bulan melintas tanpa pamitan. Kehidupan kampung berjalan sebagaimana biasanya. Tanda tanya besar di kepala Sukri tak menemui jawaban. Sedang Wan Timah, si mayat hidup pun hidup seperti hari-hari yang lalu. Sedikit berbeda, sebab kali ini Wan Timah tak bisa berkebun, tak bisa bertani karena kedua kakinya mati total, lumpuh, namun anggota tubuh lainnya normal seperti biasa.

Dan, satu hal yang membuat Sukri tak habis pikir. Sumi. Iya, istrinya kini mengandung jabang bayi yang ia sendiri tak tahu kapan terakhir kali mereka bersenggama. Pada malam-malam setelah kejadian aneh itu, Sukri selalu tidur lebih awal dan menjadi pelupa. Ia bahkan lupa apa yang terjadi malam hari ketika di pagi hari ia dapati tubuhnya dalam keadaan bugil, tanpa baju juga tanpa celana. Hal itu semakin sering saja terjadi, semakin membingungkan kepalanya. Namun, kali ini ia mulai berdamai dengan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada dirinya. Semakin sering terjadi semakin yakin ia bahwa penyakit pelupa yang dialami orangtuanya dulu mulai menurun pada dirinya. Tetapi umurnya sekarang masih sangat muda untuk mendapat penyakit orangtua itu. Entahlah, ia sendiri bingung dengan itu.

Suatu waktu Sukri pernah berniat menanyai Sumi tentang apa yang sedang terjadi pada mereka ketika malam-malam aneh dan pagi yang menjadikannya linglung. Namun, ia urungkan itu karena menurutnya sangat konyol untuk ditanyakan. Sukri hanya meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia mulai lupak-lapek. Tapi, beberapa kali juga Sukri heran akan kelupaannya yang hanya terjadi pada saat pagi hari dan saat itu ia menyadari tubuhnya sudah bugil tanpa pakaian. Saat pagi hari Sukri selalu mendapati istrinya terkapar di ranjang tanpa sehelai benang di tubuhnya. Selalu ia amati wajah istrinya tertidur damai. Tapi, apa yang telah mereka lakukan semalam? Entahlah, Sukri benar-benar tak mengingat, tak tahu-menahu apa yang telah terjadi pada dirinya.

Ketika ayam jantan peliharaannya turun dari pohon asam di samping rumahnya dan mulai mengaiskan kaki ke tanah yang masih basah, saat itu juga biasanya waktu Sukri ke luar rumah untuk menyadap karet yang tak jauh di belakang rumah. Di atas ranjang mata Sukri terbuka pelan. Sejak beberapa bulan terakhir, hal pertama ia lakukan setelah membuka mata ialah memastikan pakaian masih lekat di badannya, terutama di bagian kemaluan. Bersambung

Baca Juga: Cerpen Romantis Pelacuran


Pict: _Humaninterest

Posting Komentar

0 Komentar