Cerita Fiksi Roman Pendek (2)

II

            “Maaf, Bal, maaf,” katanya memohon. Kiran terseret di lantai oleh kaki Ikbal.

“Sudahlah, lepaskan!” bentak Ikbal dan menarik kakinya lebih keras hingga membuat Kiran terseret. Namun, Kiran tak juga melepaskan cengkramannya.

“Kau hanya pembuat masalah. Sudah lepaskan!”

Ikbal mengayunkan kakinya berkali-kali hingga Kiran tak kuat menahan cengkraman. Pegangannya terlepas. Kiran terlempar dari kaki Ikbal, kepalanya menghantam segi dinding yang sejak awal meyaksikan pertengkaran. Beberapa detik kemudian Kiran meringkuk memegangi kepalanya, bersedu-sedu bercucuran airmata. Baca juga: Chapter satu cerita fiksi roman pendek

“Maaf, Bal. Maaf, katanya memohon dengan suara parau. Benturan segi dinding tak menyurutkan permintaan maaf Kiran.

Ikbal berdiri di muka pintu, menoleh Kiran sekejap lalu bergegas ke luar rumah. Kiran masih meringkuk meremas-remas kepalanya. Airmatanya deras mengalir, warna jilbab abu-abu menjadi biru tua karena basah oleh airmata. Dia rebahkan tubuh di kamar. Tak ada siapa pun di sana sebab Weni dan Novela belum juga pulang. Entah ke mana perginya, yang jelas setelah salat magrib mereka hanya berpamitan keluar pada Kiran. Hingga pukul delapan keduanya belum juga pulang.

Andai saja Rega mengetahui hal ini. Sungguh ia tak akan memaafkan Ikbal apapun alasannya. Wanita tak seharusnya diperlakukan kasar walaupun sudah melampaui batas kewajaran. Bukankah lelaki diciptakan Tuhan untuk menjaga wanita. Sebab, bagaimanapun lelaki akan menjadi pemimpin nantinya. Terlepas dari memimpin di dunia pekerjaan, yang jelas lelaki akan memimpin istri dan anaknya kelak. Jika setiap salah dibalas dengan pukulan yakinlah Tuhan pun murka. Bukankah kita sudah diajarkan begitu baik sifat Nabi. Jika saja belajar sedikit sifat Nabi dan caranya memerlakukan wanita, tentu akan paham bagaimana menghormati wanita, bagaimana memerlakukan wanita seharusnya.

Assalamualaikum,” ujar Novela mendorong pintu yang tidak terkunci, “Ki, Kiki,” sambungnya mencari Kiran yang tak juga menjawab. Ia buka pintu kamar Kiran dan menemukan Kiran yang sudah tergeletak di sana. Kiran meringkuk memegangi kepalanya “Ki, Kiki,” teriak Novela mengguncang bahu Kiran. Berkali-kali Novela mengguncang tubuh Kiran namun Kiran tak juga sadar. Sementara di luar, Weni sedang memasukkan motor ke dalam garasi. Novela keluar menemui Weni dengan wajah panik.

“Ada apa, Vel?”

“Kiran, Wen, Kiran,” Novela terburu-buru.

Weni segera menggeletakkan motornya di luar rumah dan bergegas menemui Kiran. “Kiran kenapa, Vel?” sambil berlari ke kemar Kiran.

Weni mengatur duduknya di dekat kepala Kiran. Kiran masih saja memegangi kepalanya.

“Ki, Ki, bangun, Ki,” Weni mengguncang-guncang bahu Kiran.

Kiran menggigil, meringkuk, tak menjawab sepatahpun. Badannya bergemetar, menggigil, wajahnya pucat pasi.

“Ya Allah, Ki, kamu kenapa?” ucap Weni yang mulai merasakan tubuh Kiran bergemetar dan melihat wajahnya yang pucat. Weni cemas melihat keadaan Kiran. Weni langsung berlari keluar rumah. Novela menggantikan tempat Weni di samping kepala Kiran.

Weni berlari keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki. Ia tak mendapati siapapun di jalan. Weni memutuskan mendatangi rumah ketua RT setempat yang tak terlalu jauh dari rumah mereka, kira-kira 5-6 buah dilewati dari tempat mereka ngontrak. Weni berlari sekuat yang ia bisa. Jilbab yang dikenakannya berkibar tak tentu arah. Akhirnya ia tiba di depan pintu rumah ketua RT. Dengan nafas yang masih terengah-engah. Bulir-bulir air tampak keluar di dahinya tak memperlambat tangannya mengetuk pintu.

Tok, tok, tok, tok,” dengan cepat ia memukul pintu rumah, “Assalamualaikum, Pak, tok, tok, tok, tok,” detak jantung Weni semakin kuat berdetak, dadanya turun naik menarik udara dengan cepat.

Wa’alaikumus salaam,” jawab Pak Erwin yang tengah asyik menonton televisi, lalu bergegas keluar menarik gagang pintu. Hanya menggunakan sarung dan baju kaos putih di tubuhnya. Tak sempat memikirkan mengganti baju karena ketukan pintu yang begitu kuat dari Weni mencemaskannya. Sebatang rokok masih terjepit di antara bibirnya.

“Ada apa, Nak?” tanya Pak Erwin mendapati Weni di depan pintu.

Dengan nafas yang belum terkontrol Weni langsung menyambar pertanyaan Pak Erwin “Tolong, Pak,” ujarnya masih menarik-narik nafas sejenak “tolong teman saya, Pak. Badannya bergemetar hebat, Pak, wajahnya pucat. Tolong bawa ke rumah sakit sekarang, Pak,” Weni memohon.

“Iya, iya Nak, tunggu bentar,” Pak Erwin masuk rumah mengganti pakaian dan menarik kunci mobil yang terjuntai di dinding dekat kamarnya, di bawah foto keluarganya dengan bingkai segi empat.

Weni kembali berlari ke rumah, menemui Kiran terbaring di pangkuan  Novela dan masih menggigil. Ia lihat wajah Kiran semakin pucat “Ki, kita ke rumah sakit sekarang, ya,” 

Weni masih berusaha mengontrol nafasnya. Keringat sudah membasahi seluruh wajahnya, sesekali disapunya dengan jilbab yang ia kenakan.

“Vel, pegang kepala Kiki,” Weni mengangkat tubuh Kiran sementara Novela memegangi kepala Kiran.

“Angkat, Vel,” perintah Weni sambil berusaha mengangkat tubuh Kiran yang cukup besar dari mereka berdua.

Kiran berdiri ditopang oleh Weni dan Novela. Kiran begitu lemas lemas hingga berat untuk mengayunkan kedua kakinya.

“Ayo, Ki,” ucap Novela sambil membungkuk menopang tubuh Kiran.

Sementara di luar Pak Erwin baru saja datang membawa mobilnya, mobil minibus berwarna putih tiba di depan kontrakan Kiran. Melihat Kiran yang lemas tertopang kedua temannya, Pak Erwin bergegas keluar dari mobil. Pak Erwin membuka pintu belakang mobilnya. Dengan tubuh yang kecil dari Kiran, Weni dan Novela segera menuju pintu mobil yang terbuka di depannya. Dengan badan yang terhuyung Weni dan Novela memasukan Kiran. Sementara, Pak Erwin berdiri di samping mereka. Pak Erwin tidak berani menyentuh. "Bukan mahram," pikirnya sejenak. Lagian, sudah ada dua perempuan yang membawanya pikir Pak Erwin.

“Pak cepat, Pak” ucap Weni.

“Iya, iya,” balas Pak Erwin berlari kecil masuk mobil.

“Tunggu bentar, Pak!” Novela yang belum memasuki mobil, berlari menutup pintu rumah lalu kembali masuk mobil.

“Ayo, Pak!"

Pak Erwin menjalankan mobil menuju rumah sakit terdekat. Sementara, di belakang Weni memeluk tubuh Kiran yang lemas, lunglai.

“Kita ke rumah sakit mana, Pak?” tanya Weni.

“Rumah sakit besar, Nak. Dekat dari sini”

Rumah sakit Mitra Medika terletak di jalan Sultan Abdurrahman Pontianak. Rumah sakit ini tidak terlalu jauh dari kontrakan Kiran, hanya berkisar 10 sampai 12 menit perjalanan jika lancar. Sementara, kontrakan Kiran terletak di jalan Prof. M. Yamin, Gang Pembawa Dunia nomor 10.

Alarm di handphone Pak Erwin berbunyi menunjukan jam 12:00. Pak Erwin selalu bangun tengah malam untuk melihat pengamanan di pos ronda. Itu sebabnya ia selalu memasang alarm di handphone untuk membangunkannya.

Pak Erwin langsung memberhentikan mobilnya di depan unit gawat darurat. Novela segera membuka pintu. 

“Bu, tolong, Bu!” teriak Novela melambai suster yang berjalan di selasar. Suster segera membawa brangkar ke depan mobil. Weni dibantu dua suster membaringkan Kiran di atas brangkar.

Kiran langsung dimasukan ke ruang UGD di lantai satu. Diikuti Weni dan Novela menyeret brangkar tersebut.

“Sus, cepat panggil dokter,” ujar salah satu suster kepada temannya. 

Satu orang suster berlari memanggil dokter yang bertugas. Sementara, Kiran langsung dimasukkan ke ruang UGD. Weni dan Novela terpaksa menunggu di luar sebab ruangan tersebut tertutup rapat.

Tak lama kemudian dokter bergegas ke ruangan Kiran diikuti satu suster di belakangnya.

“Dok, tolong teman saya, Dok,” Weni berdiri di hadapan dokter sebelum masuk ruangan.

“Iya iya doakan saja,” balas dokter sambil mendorong gagang pintu.

Weni mondar-mandir di depan pintu UGD, sesekali Weni mengintip di celah-celah pintu. Sedangkan Novela duduk diam namun matanya liar ke kiri dan kanan. Sementara Pak Erwin duduk di kursi depan Novela. Ada tiga orang juga di sana, di samping Pak Erwin. Ada satu bapak berpakaian rapi dengan kemeja putih di samping Pak Erwin berumur kira-kira 50 tahunan, menggunakan celana hitam rapi dan sepatu pantofel mengkilap. Ada ibu-ibu dengan baju panjang putih, berjilbab hitam, tangannya dihiasi 4 sampai 5 lingkar emas, 3 benda melingkar di jari-jarinya, 2 di tangan kirinya dan 1 di tangan kanan. Sedangkan satu pemuda laki-laki berumur kira-kira 24 tahun juga berpakaian rapi, kemeja abu-abu, celana hitam dan sepatu pantofel mengkilap. Rambutnya rapi. Ya, sepertinya ini satu keluarga.

Tak ada ruangan lagi di sana selain ruang UGD tempat Kiran dilarikan tadi. Kemungkinan besar satu keluarga mereka juga dirawat di ruangan yang sama dengan Kiran.

Pak Erwin tersenyum kepada bapak yang berbaju kemeja putih di sampingnya. Bapak tersebut juga melempar senyum datarnya.

 “Siapanya yang sakit, Pak?” tanya Pak Erwin.

“Anak perempuan saya, Pak,” balas bapak tadi dengan ramah.

Pak Erwin mengangguk kepala dua tiga kali. 

“Sakit apa, Pak?”

“Tak tahu, Pak, tiba-tiba tak sadarkan diri dalam kamar.”  

“Tidur dari jam satu sampai jam tujuh. Dibangunkan tidak bangun-bangun,” sambungnya.

“Sekarang bagaimana keadaannya, Pak?”

Alhamdulillah, Pak, tadi sudah sadar. Sekarang lagi nunggu kakaknya mengambil tikar dan bantal di rumah,” jawab bapak baju putih sedikit tersenyum.

Pak Erwin ikut tersenyum “Alhamdulillah.

“Dari jam berapa di sini, Pak?” tanya Pak Erwin kembali.

“Pas dibawa tadi saya langsung ke sini, Pak, ditelepon anak pas lagi ngajar di kampus. Kira-kira jam setengah delapan, Pak." 

"Ngomong-ngomong anakbapak kenapa?” tanyanya pada Pak Erwin.

“Bukan anak saya, Pak. Mereka warga saya, kebetulan saya ketua RT-nya.”

“Oh, warga, Bapak,” mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di depan pintu Weni tak henti-henti mondar-mandir. Sudah beberapa kali dia mengintip namun dokter belum juga keluar. Novela masih duduk gelisah di tempatnya. “Ya Allah semoga Kiki baik-baik saja,” kata Weni masih berdiri di depan pintu.

“Sakit apa, Pak?” tanya bapak baju putih sebab merasa pertanyaannya tadi belum terjawab.

“Itu dia yang belum sempat saya tanyakan, Pak. Masalahnya tadi situasinya begitu panik, tanpa banyak tanya langsung saja saya bawa ke sini.”

“Nak, temanmu sakit apa?” tanya Pak Erwin pelan pada Novela.

Novela menetapkan pandangannya pada Pak Erwin “Tak tahu, Pak, kami lihat di kamar tiba-tiba sudah menggigil dan pucat. Bahkan sekejap tak sadarkan diri. Berkali-kali dibangunkan namun tak merespon,” jawab Novela.

Pak Erwin menoleh ke arah bapak kemeja putih di samping kanannya. Bapak kemeja putih membalas ikut menoleh ke arah Pak Erwin.

“Mungkin cuma kebetulan,” ujar bapak kemeja putih sebelum Pak Erwin sempat ingin bicara.

Pak Erwin mengangguk-angguk heran.

Dokter menarik gagang pintu keluar, meninggalkan ruangan dan dicegat oleh Weni. Novela terperanjat dari kursi menghampiri dokter. Pak Erwin ikut berdiri. Sementara ketiga orang di samping Pak Erwin cuma menoleh ke arah dokter, seolah penasaran menunggu jawaban tentang pertanyaan yang dilontarkan Weni.

Kedua belah tangan Weni memegangi tangan kiri dokter “Dok, bagaimana keadaan teman saya?” Weni tergesa-gesa.

            Muka dokter seakan menakutkan untuk ditatap. Dokter menarik nafas dalam. Dokter mengembuskan nafasnya sambil tersenyum lebar pada Weni.

“Temanmu tidak apa-apa, Nak,” ujar dokter.

Weni mengguncang-guncang tangan dokter dengan senyum yang merekah di bibirnya. Novela ikut tersenyum dan mengusapkan kedua telapak tangannya ke muka. Pak Erwin turut tersenyum sambil mengucap “Alhamdulillah,” ketiga orang di samping Pak Erwin ikut bahagia, tampak dari senyum tipis yang meraut wajah mereka. Novela segera mendorong pintu UGD untuk masuk.

“Terima kasih, Pak. Terima kasih,” ujar Weni mencium tangan kiri dokter lalu bergegas menyusul Novela.

Pak Erwin turut masuk ke dalam, berpamitan dengan tiga orang di sampingnya. “Masuk dulu, Pak, Bu.” 

Ketiga orang itupun mengangguk sambil tersenyum pada Pak Erwin. “Iya, Pak, silakan,” balas bapak baju kemeja putih.

Di dalam ruangan terdapat empat kasur yang masing-masing dibatasi dengan tirai hijau. Namun cuma dua kasur yang ditempati pasien yaitu kasur Kiran dan anak dari bapak baju kemeja putih. Tak ada yang menunggu pasien di samping kasur Kiran. Seorang gadis seumuran Kiran tertidur pulas di sana.

Kiran tersenyum tipis pada Novela, Weni, termasuk pada Pak Erwin yang berdiri tegap di belakang Weni dan Novela. “Makasih,” kata Kiran pelan dengan mata yang mulai berkaca-kaca melihat dua sahabatnya. 

Novela mencium pipi Kiran disusul air mata yang jatuh ke bantal. Weni segera pindah ke sebelah kiri menghampiri pipi Kiran dengan air mata yang tak dapat dibendungnya, lalu memeluk erat tubuh Kiran. “Kiki,” ujarnya sambil memeluk erat tubuh Kiran. Pelukan sahabat-sahabatnya begitu hangat di tubuh Kiran, Kiran merasakan ketenangan yang luar biasa hingga ia tak dapat membendung airmata yang menggenang di sela-sela matanya. Airmata Kiran tumpah di pipi putihnya.

Tak ada kata yang terucap beberapa saat. Ketiga sahabat itu hanya meluapkan tangis, menumpahkan airmata mereka hingga habis. Mereka berpelukan erat seperti sulit untuk dilepaskan. Pak Erwin membatu melihat ketiga wanita de depannya, begitu luar biasa pikirnya sambil tersenyum melihat ketiga sahabat itu begitu erat berpelukan. Sementara, airmata mulai menyelip di sela-sela mata Pak Erwin. Bagaimanapun Pak Erwin juga manusia biasa yang mempunyai perasaan dan hati. Ia tak bisa melarang rasa sedih menusuk hatinya. Ia merasakan haru yang begitu pilu hingga ia tak tahu dari mana datangnya airmata, tiba-tiba terkumpul di sela matanya.

---

Sementara itu, Ikbal masih di kafe berkutat dengan handphonenya. Ia hanya sendiri di sana. Di meja pojok kafe tersandar menggunakan headset putih menempel di kedua telinganya. Gelas di atas meja tampak kosong bekas kopi yang dipesannya dari tadi. Tak banyak lagi orang-orang di sana, hanya ada sepasang kekasih di meja depan, cukup jauh darinya, selang lima meja yang tak berpenghuni. Di samping kiri ada empat orang lelaki seumuran dengannya. Dua orang menghadap laptop sementara dua lainnya tak henti menulisi kertas polio bergaris.

Berkali-kali Ikbal menguap lebar hingga membuat matanya berkaca-kaca dan mulai memerah. Terlihat gerak-gerik Ikbal mau meninggalkan tempat duduknya. Duduk di pojokan sendiri seperti tempat ternyaman untuknya saat ini. Namun, malam sudah begitu larut untuk menetap di sana. Ikbal melihat jam kulit bermerek Swiss bertali coklat di tangan kirinya. Jarum jam pendek menunjuk angka satu sementara jarum yang sedikit lebih panjang menunjuk pada angka tiga.

Ikbal memutar pingangnya ke kiri dan kanan bergantian. Handphone di tangannya mulai dilepas ke atas meja dengan headset yang masih tercolok. Ia mulai mengangkat tubuhnya, memasukan handphonenya ke dalam saku kanan dan menggenggam headset di tangan kirinya lalu pergi meninggalkan kafe.

---

Suasana rumah begitu berbeda saat Ikbal tiba. Lampu-lampu di dalam masih begitu terang. Tirai-tirai yang biasanya menutup kaca kini masih terikat dengan baik. Sendal-sendal masih bergelimpangan di depan pintu. Kira-kira 10 meter dari depan pintu, Ikbal putar ke sebelah kiri kunci motornya. Ia mendekatkan motor, perlahan menyeret dengan helm yang masih menghiasi kepalanya. Di depan pintu ia letakkan motor untuk membuka pintu rumah. Ikbal mendorong pintu tanpa halangan apapun lalu memasukkan motor.

Kamar Kiran terbuka lebar namun tak berpenghuni, begitupun kamar Weni dan Novela. Mungkin mereka sedang keluar cari makan pikirnya sejenak. Namun, ia tersadar akan tiga motor yang masih setia di dalam rumah. Ikbal mulai bertanya-tanya, sesekali ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ikbal masuk kamar tanpa memikirkannya lagi.

---

Di ruang UGD situasi terlihat mulai nyaman. Ketiga sahabat tak lagi menumpahkan airmata namun wajah mereka masih begitu layu. Pak Erwin duduk di kursi depan di luar ruangan. Tak ada siapa-siapa lagi di sana. Ketiga keluarga sudah memutuskan untuk pulang ke rumah sejak beberapa menit yang lalu. Hanya ada perempuan yang keluar masuk ruangan membawa kain, bantal, tikar dan beberapa botol air mineral juga makanan ringan. Perempuan itu terlihat begitu dewasa dengan jilbab hitam panjang dan kacamata yang menempel di wajahnya. Sudah tiga kali Pak Erwin melihat wanita itu keluar masuk ruangan dengan bawaannya dari luar. Tiga kali juga Pak Erwin melihat jam tangan bermerek Alba di tangan kirinya. Sudah pukul 02:00 namun tak ada gelagat Weni dan Novela untuk pulang.

Sepertinya mereka akan tidur di sini pikir Pak Erwin yang mengintip dari pintu kaca. Tirai yang menutup pandangan di pintu kini sedikit terbuka, mungkin karena seringnya keluar masuk ruangan mengakibatkan tirai tersebut menepi ke sebelah kiri dan kanan. Hal itu juga yang membuat Pak Erwin dapat melihat ketiga sahabat itu di dalam ruangan.

Pak Erwin perlahan mendorong pintu ke dalam lalu pergi menghampiri ketiga sahabat tersebut.

Pak Erwin tersenyum melihat Kiran yang juga dibalas senyum oleh Kiran. Weni dan Novela memutar kepalanya juga memberikan senyum pada Pak Erwin.

“Pak,” kata Weni menganggukkan kepalanya disertai senyum tipis.

Pak Erwin juga membalas senyum. 

“Nak, kalian mau tidur di sini atau mau pulang?"

Weni juga menatap dengan mata yang masih sembab lalu mengalihkan pandangannya pada Kiran “Kami tidur di sini, Pak” balas Weni kembali menoleh pak Erwin.

“Oh iya, baiklah, bapak pulang, ya.”

“Iya, Pak. Makasih, Pak sudah mau bantu, kalau tidak ada bapak saya tidak tahu bagaimana jadinya,” balas Weni ditambah senyum manis diberikan Kiran.

Pak Erwin tersenyum “Iya, Nak. Bapak senang bisa membantu.”

“Terima kasih banyak, Pak,” kembali diucapkan Weni.

“Iya iya,” balas Pak Erwin, “Oh iya, kalau mau pulang nanti hubungi Bapak, ya, biar Bapak jemput, ini nomor Bapak,” sambung Pak Erwin sambil mengeluarkan HP-nya “081345xxxxxx.”

Weni mengeluarkan HP di saku celananya dan mencatat nomor yang disebutkan Pak Erwin “081345xxxxxx” ujar Weni mengulang nomor yang disebutkan Pak Erwin.

“Ya,” balas Pak Erwin yang memeriksa kembali nomornya lalu memasukan HP ke dalam saku celana. “Beritahu, ya,” sambungnya, lalu membalikkan badan dan memulai langkah meninggalkan ketiganya.

 “Makasih, Pak,” ucap Weni kembali disusul ucapan yang sama oleh Kiran dan Novela.

Pak Erwin menarik gagang pintu dan menoleh ke arah ketiga gadis tersebut “Iya, sama-sama,” ucapnya lalu keluar meninggalkan ruangan.

Suasana di ruangan kembali hening ketika Pak Erwin meninggalkan ruangan. Setelah beberapa saat terdiam bisu, akhirnya Novela membuka pembicaraan. Satu pertanyaan dari Novela membuat pikiran Kiran terhenyak. Kiran masih enggan menjawab, matanya menatap kosong ke sebelah kiri seolah memikirkan akibat yang akan terjadi jika ia harus memberitahukan kejadian sebenarnya. Akan ada masalah baru yang terjadi pikirnya. Apalagi dia tahu bahwa Weni tak akan berpikir panjang untuk memberitahukan hal ini kepada orang tuanya, terutama kepada Rega. Ini akan jadi masalah yang lebih besar.

Kiran masih terdiam. Novela mengguncang-guncang bahu Kiran “Ki, Ki,” ujarnya.

Kiran terperanjat “Iya, Vel,” menoleh Novela.

“Sebenarnya kamu kenapa, Ki, kenapa sampai pingsan seperti itu?” ujar Novela mengulang pertanyaannya.

Kiran masih memikirkan jawaban yang tepat. Bola matanya tak bisa ia kendalikan arahnya.

“Ki, Kiki,” kembali Novela menyadarkan Kiran.

Kiran menarik nafas dalam, memejamkan sejenak matanya untuk membuat dirinya setenang mungkin menjawab pertanyaan Novela. “Tidak apa-apa, Vel, mungkin cuma kelelahan, kurang istirahat,” menoleh tenang Novela.

“Makanya, Ki, jangan terlalu dipaksa badan tuh,” sahut Weni, sementara Novela hanya terdiam seolah menerima baik jawaban Kiran.

“Iya, Wen,” membalikkan pandangannya dari Novela.

Sementara di rumah, Ikbal sudah menelantarkan tubuhnya di kasur empuk kamarnya. Berbalutkan selimut bergambar club sepakbola asal Spanyol. ya, Real Madrid, club tersebut merupakan club yang sangat disukai oleh Ikbal. Dari kasur, bantal, hingga selimut yang dikenakannya semua bergambarkan club tersebut. Bahkan ada lima poster para pemain Real Madrid menempel di dinding kamarnya. Di dinding tepat menghadap pintu ada gambar Cristiano Ronaldo yang sedang mengeksekusi tendangan bebas, dengan ciri khas kaki menganggkang dan mulut yang sedang menghembuskan nafas, ditambah keringat yang bertaburan di wajah, leher hingga kedua tanggannya menambah sangar foto tersebut. Sementara empat foto lainnya bergambar keseluruhan pemain hingga pelatihnya sambil mengangkat piala Liga Champion. 

Selimut melingkar indah dari ujung kaki hingga leher Ikbal. Ia begitu lelap hingga tak mendengar panggilan masuk dari Weni. Sudah panggilan kelima masuk namun Ikbal belum juga tersadar. Akhirnya panggilan keenam masuk, Ikbal tersadar dan mencoba menjangkau HP yang tergeletak tak jauh darinya. Tanpa melihat siapa yang sedang menghubunginya Ikbal menjawab panggilan itu.

“Emmm,” ucap Ikbal setengah sadar dengan mata yang masih terpejam.

Hallo, Bal. Hallo, hallo, Bal” ucap Weni bergantian meletakkan HP-nya di telinga lalu melihat layar, meletakkan di telinga lagi.

Kiran terkaget mendengar Weni memanggil-manggil Ikbal. Jantungnya berdegup cepat. Mukanya cemas, keringat mulai mengembun di dahinya.

Bersambung....

Pict: Rebanas.com

Posting Komentar

0 Komentar