Novel Romantis Sejarah

 

Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek (Part 5)

Tepat pukul satu siang Sukri sudah tiba di rumah Mat Kontan. Kepingan karet terhampar di halaman rumah. Di warung, duduk istri Mat Kontan, tengah menulis daftar belanjaan yang harus dibeli suaminya. Stok sembako di warungnya hampir habis. Maklum sehari yang lalu orang-orang ramai berbelanja. Ia lihat Sukri duduk di teras sendiri, mengenakan celana pendek selutut dengan baju abu-abu yang sobek bagian ketiaknya. Tanpa bertanya, Ngah Dare sudah tahu apa yang hendak dilakukan Sukri. Baca Juga: Part Pertama

            “Angahmu di laot, Suk. Nimbak peraunye,” katanya.

Langsong angkut dah be. Capat lakak capat ngantar!” katanya lagi. Kali ini tatapannya tertuju pada daftar belanjaan di secarik kertas, memastikan tak ada yang terlewat. Beberapa kali ia membaca dari awal rentet catatannya sambil memicingkan mata.

Sukri tak menjawab. Dua keping karet sudah dicengkramnya menuju perahu yang telah disiapkan Mat Kontan. Mat Kontan masih berada di dalam perahu itu, mengeluarkan beberapa keping papan yang membuat sesak perahu. Jalur (bagian permukaan perahu) telah ia lapisi beberapa keping papan agar tak jebol saat bermuatan berat.

Masokkan dah langsong, Suk!” Katanya saat melihat Sukri menenteng dua keping karet.

            Hampir satu jam Sukri memberondol karet-karet itu ke dalam perahu. Mat Kontan bimbang menaksir bibir perahu yang tinggal lima jari. Ia suruh Sukri duduk di depan, lalu ia mengamati lagi. Matanya memicing menoleh gelombang dan daun sagu yang menggelepar ditiup angin.

“Udahlah, Suk. Dah sarat. Rupe ade juak gelumbang nun.”

Sungai besar, memisah antara kampung Sungai Nyulong dengan pasar Kartiasa. Setumpuk pepohonan tergeletak tepat di tengah pertigaan sungai (Sungai Sambas Besar, sungai Sakura dan sungai Kartiasa)  membentuk sebuah pulau. Itu bekas kapal Belanda yang karam. Beberapa orang yang lain mengatakan itu kapal pengangkut kayu-kayu zaman dulu, kapal itu milik pengusaha cina dari Jakarta. Tak jauh dari Bungin itu juga terdapat bekas somel besar penampung kayu-kayuan alam. Sampai sekarang orang-orang masih sering mengambil kayu yang tenggelam di sungai dekat somel itu. Potongan kayu sepanjang delapan meter sebesar dua pelukan orang dewasa masih banyak terhampar di sungai area somel itu. Dengan adanya somel itulah menjadi keyakinan bahwa kapal yang karam itu bukan kapal Belanda tetapi kapal pengankut kayu yang karam di pertigaan.

Perahu Sukri dan Mat Kontan tepat berada di simpang tiga. Sukri duduk di ujung perahu sambil mengamati Bungin. 

Baca Juga: Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 3

Sape be nak urang barek makan di Bungin, tok. Antu Belande ke ape,” celoteh Sukri ketika melihat banyak sesajen berisi bermacam makanan tergantung di pohon, ada yang tergeletak begitu saja di akarnya.

Hush,” tegur Mat Kontan.

Mat Kontan was-was sebab perahu mereka yang sarat muatan beberapa kali dihantam gelombang. Apalagi ditambah ucapan Sukri, perasaannya semakin gusar. Di Bungin ini, orang-orang kampung tak ada yang berani berucap sembarangan. Mereka meyakini tempat ini ada penunggunya. Orang bisa saja celaka jika bicara sembarangan.

“Numpang lewat kamek, Nek Datok,” kata Mat Kontan sambil mengayuh perahunya.

Mendengar itu, Sukri langsung menoleh wajah pucat pasi Mat Kontan. Tak bersuara. Tampak ketakutan yang teramat di wajahnya. Sukri hanya diam menyaksikan peristiwa itu, peristiwa permohonan Mat Kontan pada penunggu Bungin yang diyakini sebagian orang keberadaannya.

Baca Juga: Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 4

Pict: @angesvd

Posting Komentar

0 Komentar