Novel Romantis Sejarah

Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek (Part 2)

Pada terik matahari siang itu, ia dapati Sumi yang menyambutnya di depan pintu. Dengan cepat Sumi menutup pintu ketika Sukri masuk rumah. Dan betapa tertegunnya Sukri melihat Sumi bergegas membuka seluruh pakaiannya dan memperlihatkan seluruh bagian tubuhnya yang bening seperti kapas. Mereka bersitatap, pelan-pelan Sumi mendekat ke hadapan suaminya. Sukri bingung dengan perbuatan Sumi yang tiba-tiba meraba-raba selangkangannya. Tak pernah hal semacam itu terjadi semenjak mereka menikah. Bahkan untuk urusan bercinta, biasanya Sukri mati-matian merayu pujaan hatinya itu. Namun, kali ini ia tak dapat berbuat apa-apa selain diam mematung di hadapan Sumi. Bertekuk lutut pada nafsu gila Sumi.

Rupanya Sumi ketagihan dengan perlakuan Sukri malam tadi yang tak seperti biasanya, ia merasakan kegairahan yang luar biasa kembali tumbuh pada nafsu suaminya. Hal itu menjadikan Sumi ingin mengulang saat-saat menyenangkan bersama suaminya seperti waktu muda dulu. Dan malam tadi gairah itu timbul kembali. Sudah lama sekali ia dambakan gairah bercinta tumbuh kembali antara mereka berdua, terutama pada suaminya.

Sialnya, siang itu Sumi tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Pintu rumahnya kembali diketuk. Cepat-cepat ia masuk kamar dan Sukri membukakan pintu. 

Ape, Min?” (Apa, Min?) Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 3

Kalak malam Pak Pong nyakek bejage di rumah Wan Timah!” (Nanti malam Pak Kades mengajak berjaga di rumah Wan Timah!)

Oh aog, Min. Jam brape, Min?” (Oh iya, Min. Pukul berapa, Min?)

Lakak ise be. Macam biase.” (Selesai isya. Seperti biasa.)

Aog, aog,” (Iya, iya,) katanya mengagguk,

Dah, cume nak nyampaikan iye jak, assalamualaikom,” katanya meninggalkan Sukri di muka pintu.

Walaikomsalam,”

Segelas kopi hitam sudah tergeletak di atas meja kecil berukuran setengah meter yang terbuat dari bambu. Bunyi kayu berderit sayu saat ia sandarkan tubuhnya di badan kursi yang mulai lapuk di ruang tamu rumahnya. Tak ia hiraukan kedatangan Sumi yang tiba-tiba duduk di kursi sebelah kiri depan jendela. Pikirannya masih terganggu oleh kejadian tadi malam, kejadian beberapa menit lalu di halaman rumah Wan Timah. Bahkan, kejadian yang ia alami sebelum Muslimin datang menyampaikan pesan Pak Kades. Semuanya terasa janggal di kepala Sukri.

Akhirnya ia tenggak juga segelas kopi yang mulai dingin, lalu cepat-cepat bangkit memeriksa inci demi inci petromak yang ia yakini dibawanya malam tadi. Dirabanya badan petromak itu pelan sekali. Tak ada tanda ia dapati di sana. Masih tergantung di tempat semestinya dekat lemari. Ia guncang untuk memastikan minyak tanah di dalamnya, masih terisi penuh, tak berkurang sama sekali. Ia yakin sekali petromak itu dibawanya tadi malam ke kuburan. Sekali lagi ia heran, tak percaya dengan semuanya. Masih basah sekali ingatan malam tadi ketika ia bersama beberapa orang menyambangi kuburan Wan Timah. Masih tergiang di kepalanya lolongan anjing sahut menyahut menyedihkan, sesekali menakutkan.

Rasa penasaran dengan apa yang terjadi semakin besar di hatinya. Terlintas di kepalanya untuk menanyai Sumi apa yang terjadi malam tadi. Walaupun ia tahu hal itu sangat konyol untuk ditanyakan, tapi itu adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui apa yang terjadi padanya, atau pada mereka berdua. Barangkali Sumi mengingat semua pikirnya, lalu cepat-cepat menghampiri Sumi di ruang tengah.

“Sum, kau ingat ke daan kejadian semalam?”

“Kejadiaan ape, Ngah?”

Sumi bingung dengan pertanyaan suaminya. Begitupun Sukri, ia juga bingung bagaimana menanyakan hal itu. Ia tidak tahu seperti apa menjelaskan pada Sumi. Tatapannya menghunjam ke lantai papan ruang tengah rumahnya, masih ia pikirkan bagaimana cara menanyakan hal itu. Ia duduk di kursi tempatnya tadi.

Sumi masih diam, ia tahu ada sesuatu hendak disampaikan suaminya. Di kepalanya terbayang-bayang kejadian di ranjang, ia yakin sekali hal itu yang akan ditanyakan oleh suaminya. Ia masih menunggu, tapi suaminya masih terdiam kikuk seperti orang bingung.

“Kejadian ape be, Ngah?”

Sedikit terperanjat Sukri mendengar pertanyaan ulang Sumi yang lebih keras dari sebelumnya. Wajahnya langsung menoleh ke arah suara.

“Kau jam berape semalam tidok?”

Serate Angah lah. Ngape ratinye?”

Sukri semakin terkepung oleh kebingungannya sendiri. Ditambah pertanyaan Sumi terkesan mendesak penasaran. Nada ingin tahu itu sudah dihafal Sukri sejak dulu. Jika tidak dijawab, Sumi akan mengulang pertanyaan yang sama. Tapi ia bingung, sangat bingung. Seperti apa menjelaskan sesuatu yang hampir semua orang menyangkalnya.

Ade kau liat Angah keluar rumah ke daan semalam?”

Walau sedikit ragu, lepas juga pertanyaan dari mulutnya. Belum terjawab pertanyaan pertama langsung ia tambah dengan pertanyaan lain.

“Kau ingat ke yang Angah nilik ke luar semalam?”

Lama Sumi terdiam, berusaha mengingat-ingat. Namun, tak ada yang lebih lekat di kepalanya selain pergulatan luar biasa di atas ranjang. Hanya itu yang ia ingat, selebihnya ia tak tahu apa-apa, barangkali lupa. Boleh jadi memang tak pernah terjadi apa yang ditanyakan oleh suaminya. Ia tidak tahu, benar-benar tidak tahu.

Ade kedek Angah ke luar semalam? Jam berape?”

Keduanya sama-sama terdiam. Mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu Sukri sadar tak akan ada yang ia dapati dari istrinya. Ia tahu jawabannya tak akan pernah memuaskan hatinya. Malah menambah kebingungan dan ketakutan jika jawaban Sumi tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Rase sean aku meliat Angah nilik ke luar. Ape ratinye yang Angah tilik?”

Memang benar, jawaban Sumi tidak sama sekali dengan apa yang ia harapkan. Ia ingat sekali Sumi menegurnya malam tadi ketika ia mengintip ke luar lewat jendela. Sukri ingat sekali teguran istrinya yang tergolek di ranjang tanpa busana. Masih jelas sekali gambaran itu di ingatannya. Namun, apapun yang dikatakan Sumi dan orang-orang hari itu tak akan sama dengan apa yang ia inginkan.

Pak Kades dan orang-orang termasuk Sumi istrinya tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Apa untungnya? Mustahil aku mengigau? Cakar binatang itu benar-benar ada. Sukri semakin bingung membuat kepala dan matanya terasa berat. Pikirannya kacau. Tak berbasa-basi dengan istrinya langsung ia merebahkan tubuh di dalam kamar. 

--- Baca Juga: Part 4

Usah lamak gilak balik, Ngah.” (Jangan terlalu lama pulang, Bang.)

Tergantong urang lah. Balik urang balik juak.” (Tergantung orang lah. Pulang orang pulang juga.)

Sukri berjalan sendirian menuju rumah Wan Timah. Sebagaimana malam-malam biasanya, pintu-pintu rumah warga tertutup rapat jika gelap mulai tiba. Belum ada siapa-siapa ia dapati di rumah Wan Timah.

Assalamualaikom, Wan,”

Sukri mengetuk pelan daun pintu. Tak ada balasan dari tuan rumah. Sukri langsung masuk dan menghampiri Wan Timah yang terbaring di tempat tidurnya. Mata Wan Timah menatap kosong ke arah dinding kamar. Di sana tergantung tiga tengkorak anjing. Ukuran tengkorak tak sama, ada yang kecil cuma sebesar kepala kucing, yang paling besar seperti kepala kambing jantan tua, namun jelas betul itu tengkorak anjing, bentuknya pun sama dengan yang paling kecil. Sukri membayangkan seperti apa besarnya anjing itu, dan dari mana Wan Timah mendapatkannya.

Iye tengkorak ape, Wan?” (Itu tengkorak apa, Wan?) Tanya Sukri penasaran sambil menunjuk ketiga benda yang tegantung di dinding kamar Wan Timah.

Wan Timah tersadar dan menoleh ke arah Sukri. “Tengkorak asok, Suk,” (Tengkorak anjing, Suk,)  

Suara parau Wan Timah sedikit membuat tubuh Sukri bergidik ngeri. Namun, ia tetap mencoba tenang. Ia tak tega jika harus membuat tersinggung Wan Timah dengan ketakutannya setelah mendengar suara itu. Ia harus menunjukan sikap biasa-biasa saja meski di dalam dirinya bergolak banyak pertanyaan dan kejanggalan terhadap kejadian semua ini, terhadap dirinya sendiri, dan tentu terhadap kematian Wan Timah. Karena bagaimanapun, dari kematian Wan Timah itulah kejanggalan-kejanggalan menerpa dirinya.

Sukri mengangguk pelan dalam remang kemuning cahaya pelita di kamar Wan Timah. “Dapat di mane, Wan?”

Mendengar pertanyaan Sukri membuat Wan Timah menggelengkan pelan kepalanya. Ia sendiri tak pernah tahu dari mana kepala-kepala anjing itu didapat suaminya.

Kerajaan akimu dolok yang suke ngumpolkan bande iye. Uwan pun daan tau die boleh di mane.”

Lagi-lagi, Sukri hanya mengangguk pelan, sambil sesekali melirik ke luar kamar memastikan kedatangan orang lain. Orang-orang belum juga datang, padahal sudah hampir setengah jam Sukri tiba. Salat isya pun sudah lama selesai.

Semasa hidup, Ki Siham memang senang mengumpulkan tengkorak binatang yang sudah mati. Namun, binatang yang ia kumpulkan bukan binatang lain selain anjing. Sekarang hanya tersisa tiga, tergantung di dinding kamar. Berpuluh-puluh tengkorak di belakang rumah telah dikubur oleh Wan Timah semenjak suaminya meninggal. Bahkan Wan Timah sendiri tidak tahu dari mana suaminya mendapatkan kepala-kepala anjing itu.

Tanpa suara, mata Sukri menyusuri dinding-dinding rumah Wan Timah. Dengan keadaan rumah yang memprihatinkan membuat jiwa Sukri tersentuh. Atap-atap rumah dan dinding yang hampir ambruk itu membuat Sukri takut jikalau tiba-tiba roboh menimpa Wan Timah yang tak mampu berjalan. Sempat terpikir oleh Sukri untuk meminta warga bergotong-royong membetulkan rumah Wan Timah. Kasihan sekali dengan Wan Timah yang hidup sebatang kara, ditambah kedua kakinya yang tak lagi berdaya.

Malam semakin larut orang-orang belum juga datang. Cuaca di luar mulai mendung. Terdengar beberapa kali bunyi kayu-kayu rumah berderit dihantam angin. Sukri mulai gusar dengan keadaan itu, matanya semakin liar menoleh celah-celah rumah yang hampir ambruk itu. Suatu kali mata Sukri tertuju pada wajah Wan Timah, dengan mata sendunya Wan Timah tersenyum kepada Sukri. Senyum itu, senyum ketenangan dari Wan Timah, tetapi itu adalah senyum menakutkan bagi Sukri. Kemudian terdengar hujan mulai jatuh di atap rumah. Semakin lama semakin deras air menghantam atap.  Tidak tahu apa yang hendak dilakukan, akhirnya sukri merebahkan tubuhnya di depan pintu kamar Wan Timah sambil mendengarkan derit kayu rumah dan pecahan hujan di atap. Pikiranya kembali melayang pada kejadian malam lalu. Malam di mana ia mengejar anjing-anjing hingga ke kuburan Wan Timah. Sekilas terlintas juga di kepalanya pada pagi hari ia dapati tubuhnya bugil, ia sama sekali lupa dengan kejadian di ranjang. Bersambung

Baca Juga: Part 1

Pict 

IG: @_humaninterest

Posting Komentar

0 Komentar