Kau dan Rembulan


 Entah sudah keberapa ratus kali kau terpaku seperti itu. Memandang bulan dan langit yang selalu kau kagumi. Kau bukan penyair untuk menggambarkan betapa kau terpesona pada langit dan bulan dengan larik dan bait yang indah. Ketakjubanmu sungguh tak dapat kau ungkapkan.

Umurmu baru saja menginjak dua empat. Kau belum menikah. Namun, jika punya anak kelak, tentu namanya sudah kau persiapkan. Bulan? Rembulan? Wulan? Entah yang mana nantinya, kau belum memutuskan. Tapi yang pasti kau ingin menamainya bulan. Kau juga pernah punya pacar yang belum lama meninggalkanmu dengan segala cerita dan kenangan yang sungguh memukul perasaanmu. Dulu, kau menamainya Binar. Nama itu kau dapatkan juga ketika kau untuk kesekian kalinya takjub oleh rembulan dan keemasannya. Kau memaknai Binar sebagai sinar rembulan. Kebetulan malam itu, untuk pertama kalinya cintamu disambut. Tak ada yang tahu bahwa kau menamainya Binar. Bahkan perempuan yang telah menjadi kekasihmu sendiri tak kau beri tahu. Hanya kau dan Tuhan yang tahu. Barangkali, setan juga tak pernah tahu. 

Kau dan bulan seperti sudah memiliki ikatan batin yang kuat. Setiap kali langit bersih dan rembulan dengan sinar keperakannya tak terhalang apapun, ragamu seperti ditarik keluar agar terkena siraman langsung cahaya. Jika sudah begini, kau akan menghabiskan malam di sana. Sampai pagi. Sampai matahari benar-benar terik dan matamu telah pedas sebab tak tidur semalaman. Hal itu sudah puluhan kali kau lakukan atau bahkan ratusan. 

Malam ini, kau menyiapkan tiga gelas kopi agar tak habis sampai pagi. Setidaknya, sampai kau benar-benar lelah dan lelap, kopi itu masih belum tandas. Masing-masing dari ketiga gelas itu kau tutupi menggunakan kertas. Malam ini, entah angin dari mana yang membisik di telingamu agar membawa binder biru tua milikmu. Ada sedikit catatan di sana. Walaupun tidak paham dengan dunia perpuisian, kau sering diam-diam menulisnya. Entah puisi entah bukan, yang jelas kau menamainya puisi. Tak ada soal tentang teori ini dan itu. Kau pun tahu, bahwa sebelum teori-teori itu muncul, terlebih dahulu ada puisi. Dan, kau menyimpulkan bahwa derajat puisi jauh lebih tinggi ketimbang teori-teori puisi itu sendiri. Itu sebabnya, kau dengan yakin menganggap apa yang kau tulis itu puisi. Persetan dengan penilaian orang. Lagipula, tulisan itu tak pernah dibaca siapapun. Kau mengambil kertas dari binder, salah satu kertas itu tertulis beberapa bait puisi berjudul rembulan. Kau meletakkannya di gelas terakhir. 

"Kau masih suka begini. Belum berubah sama sekali."

Kau mendengar suara itu, tak asing di telingamu. Matamu masih asyik menatap bulan yang cahayanya tumpah di sungai Kapuas. Sesekali matamu mengikuti sinar-sinar yang meleleh itu terjun bebas, melebur dengan air sungai di hadapanmu. Di bibir sungai ini selalu menjadi tempat paling strategis untukmu menghabiskan malam. Pandanganmu tak terhalang apapun. Tidak gedung-gedung tinggi. Tidak juga menara-menara. Pepohonan rindang tepat berada di belakangmu. Tak jauh di sebelah kananmu, jembatan beton mengangkangi sungai, dihiasi lampu-lampu kuning seperti ratusan kunang-kunang bergelantung. 

Bibir sungai ini adalah tempat sempurna. Kau bisa bercinta dengan bulan sampai ia benar-benar tak dapat kau lihat lagi. 

Kau menyeruput kopi dari gelas pertama. Memasang sebatang rokok. Kau dengar lagi suara yang entah dari mana datangnya. Dari luar atau entah dari kepalamu sendiri. Kau tak bisa memastikan.

"Ayolah. Jangan habiskan waktumu dengan penyesalan-penyesalan seperti ini. Masih banyak hal baik yang dapat kau lakukan. Kau hanya menyiksa diri jika terjebak dalam kenangan itu. Kau bisa lebih baik tanpa dia. Bukankah kau pernah bilang padaku bahwa kita hanya menjalani takdir-takdir yang telah ditentukan. Jangan seperti ini terus!" 

Kau masih diam. Semakin dalam mengisap rokokmu dan mengembuskannya dengan damai.

Malam semakin menanjak. Dingin, menyengat kulit, angin berkali-kali membelai pelan tubuhmu, membuatmu sesekali menggesekkan telapak tangan, lalu meletakkannya di wajahmu.

Rembulan kini tepat di atas kepalamu. Kau terbaring di kursi panjang setelah menyulut lagi sebatang rokok. Matamu menyusuri lekak-lekuk bebatuan di tubuh rembulan. Kau bangkit, mengambil pena di dalam totebag hitam polosmu, menarik secarik kertas kosong di atas gelas lalu menulis beberapa kalimat.

Saat menatap rembulan terang begini, sering kubayangkan aku duduk di sana. Ditemani secangkir kopi dan sepotong roti kering sambil mengeja nama-Mu yang kutulis sendiri di atap langit itu. 

Lalu, perlahan gemintang membentuk sajak-sajak keindahan.

Sementara, semesta berpuisi cinta dalam ruang tanpa suara. 

Memuji-Mu dalam hening. 

Memuja-Mu tanpa syarat.

Kau menyulut kertas itu menggunakan api rokok, membentuk beberapa lubang yang tak beraturan sebelum memasukkannya ke dalam totebag. 

Kau mengambil secarik kertas lagi dari gelas kedua. 

Pernah kubayangkan rembulan jatuh ke dalam mangkuk para pengemis di perempatan jalan, meluber jadi sup ayam atau bakso ala restoran. Kubayangkan pula pada mimpi-mimpi malamnya, kesedihan dan airmata lenyap tak bersisa. 

Pernah kubayangkan, doa-doa terkumpul jadi tawa-tawa di wajah mereka. 

"Ayolah, batinmu terlalu lelah. Jangan kau siksa lagi dengan hal-hal lain. Semua pesakitan yang kau saksikan jangan lagi membebanimu. Kau bisa gila jika begini terus. Setiap hari, kau hanya menumpuk kesedihan-kesedihan baru. Sebagai rakyat biasa, kau takkan bisa mengubah apapun yang menjadi harapan baikmu. Sudahlah! Biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Kau sudah babak-belur oleh harapan-harapan yang mustahil untuk diwujudkan. Kau juga tahu kan Tuhan menciptakan semuanya seimbang. Ada kaya tentu ada pula yang tak punya apa-apa. Karena, memang begitulah kehidupan."

Cepat-cepat kau masukkan kertas itu ke dalam totebag. Tubuhmu kini rebah di kursi panjang sambil memaku lagi pandangan pada rembulan. Bagimu, tak ada hal yang lebih menyenangkan dan menenangkan seperti saat menatap rembulan. Kau ingin ke sana, menghabiskan segala pesakitan yang mengakar di dadamu. Kekasihmu dan segala peristiwa yang terjadi seperti bersekongkol untuk menghancurkanmu. Meremukkan tulang-belulang yang melekat di tubuh kurusmu. Kau menangis, menangis sejadi-jadinya. Segalanya, tak dapat kau tampung lagi. Kau benar-benar kalah dan hancur. 

Tersisa secarik kertas di gelas terakhir. Kau menarik kertas itu. Malam dan rembulan dan gemintang bersaksi bahwa tak ada yang lebih gemetar dari jemarimu yang menari di atas secarik kertas malam itu. Airmatamu seperti deras hujan yang tumpah pada hamparan padang pasir, lenyap tak bersisa. Menyatu dengan tinta atau entah memang sirna ditelan kata-kata yang kau tulis sendiri. Tampak jelas kata "Binar" menjadi yang pertama kau tulis.

Binar

aku mendongak takjub pada langit

rembulan nyala terang

remang-remang telah meleleh entah sejak kapan

apakah tuhan tengah menyuci bumi dengan keringat para pecinta kenangan-

yang saban malam tak henti-hentinya meminta

Oh kekasih, masih kupungut sisa-sisa senyummu yang berhamburan di antara gemintang dan malam

rembulan dan keperakannya-yang menghujani kepalaku dengan siluet wajahmu

tengah malam buta

lorong-lorong senyap dan berdebu

sepi

aku berdiri sendiri

gemintang berpendar berdesakan

bersesakan mencari ruang

rembulan penuh 

memayungi keheningan  

sementara tubuhku basah 

membuncah airmata berderai doa

dan manusia-manusia lelah telah lelap bermimpi 

menumpuk tenaga untuk dihancurkan lagi memerah tubuh mereka sendiri 

hingga mati

Oh kekasih, masihkah getar dadaku terdengar ketika diam-diam kulantunkan kasih pada semesta

masihkah kau ingat ketika cahaya rembulan tumpah di wajahmu

masihkah kau ingat pelukku yang beradu hangat malam itu

aku mendongak takjub

pada rembulan yang melukis senyummu.

Segera kau masukkan tulisan itu ke dalam totebagmu sebab cuaca tiba-tiba berubah. Gerimis turun tanpa aba-aba. Rembulan diselimuti awan hitam. Tak pernah perubahan cuaca seperti ini sebelumnya. Begitu cepat. Begitu singkat. Menjadikan seisi semesta gelap gulita. Lampu-lampu kota mati. Bahkan jembatan yang dengan gagah berdiri kini sama sekali tak terlihat. Tak ada cahaya sedikitpun. Benar-benar gelap. Sepi. Sunyi. Kau terpaku di kursimu, berkawan ketakutan. 

Dari tempatmu, kau melihat satu cahaya yang semakin lama semakin mendekat ke arahmu. Seperti lampu motor yang hendak menabrak tubuhmu atau bola api yang sengaja ditembakkan ke arah matamu. Cahaya itu semakin membesar hingga berhenti di hadapanmu. Kau dan cahaya itu seperti memiliki ikatan batin yang kuat. Tubuhmu ditarik dan melesat. Lalu kalian menghilang entah ke mana. Segala catatan milikmu, yang tertinggal malam itu masih kusimpan rapi di dalam kamarku. Sesekali aku membacanya sebelum memejamkan mata, atau pernah juga ketika rembulan tengah cantik-cantiknya.

Sambas, Januari 2022

pict; vecteezy.com


Posting Komentar

0 Komentar