
Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek (Part 1)
Wan
Timah telah menjual beberapa tanahnya di kampung. Tersisa sepetak tanah beserta
rumah kecil yang hampir ambruk. Rumah itulah harta satu-satunya. Harta
kekayaannya dulu tak lepas dari usahanya yang ulet dan tekun bekerja sejak usia
lima belas tahun bersama suaminya. Kini satu persatu telah ia jual semata untuk
keperluan hidup. Sejak dua tahun terakhir Wan Timah tak dapat lagi bekerja.
Kecelakaan yang menimpanya kali ini menyebabkan kedua kakinya lumpuh total. Wan
Timah disambar petir ketika tengah menamam padi di sawah. Aneh bin ajaib, Wan
Timah tidak mati. Ia hidup kembali walau sempat dikubur. Orang kampung
terheran-heran mengapa nyawa Wan Timah betah sekali berada di tubuh tua rungkih
itu. Entah bagaimana seseorang yang tersembar petir menyebabkan kelumpuhan pada
kedua belah kaki. Entah bagaimana pula orang mati bisa hidup kembali. Itu juga
menjadi misteri masyarakat di kampung selain pertaanyaan mengapa Wan Timah
tidak mati mati? Kendati mereka tahu bahwa kematian seseorang adalah hak Tuhan
sepenuhnya.
Sudah
beberapa kali Wan Timah selamat dari maut. Dua tahun lalu Wan Timah sempat
dikubur karena dianggap sudah meninggal dunia oleh sambaran petir. Waktu itu,
Wan Timah memang tak ada kabar selama lima hari. Ketika ditemukan, badannya
bahkan sudah bau busuk namun masih utuh. Ia ditemukan terkapar di sawah.
Tubuhnya dikerubungi lalat, kumbang dan binatang-binatang lain. Tepat pada hari
ke lima lebaran mayat Wan Timah ditemukan oleh Sukri, salah satu warga yang
hendak menanam padi di sawah. Mayat itu menyeramkan, dengan mata terbalik,
mulut menganga, tubuhnya terbaring beku seperti membatu. Tangannya masih erat
menggenggam parang. Badannya bau busuk luar biasa. Uban putihnya berubah cokelat
karena lumpur sawah yang menggering melumuri kepalanya. Dan hari itu pula mayat
Wan Timah langsung dikubur. Tak ada sanak keluarga. Sebab, Wan Timah diketahui
memang sebatang kara di kampung ini. Bertahun-tahun menikah tak juga diberi
keturunan.
----
Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 2
Saat
hendak salat idul-fitri beberapa orang kampung memang melihat Wan Timah pergi
ke sawah. Mengenakan kebaya lusuh, membawa parang juga peralatan lain yang ia
masukan dalam ember hitam. Sempat ia ditegur namun tak ada balasan sama sekali,
Wan Timah tetap dengan langkah pelan menuju sawah. Dan memang begitulah Wan
Timah, orang-orang tak heran jika hanya sebatas tak ditanggapi. Karena sudah
jadi hal biasa melihat Wan Timah dengan kelakuan nyelenehnya. Orang kampung
juga tahu bahwa ada saat-saat Wan Timah seperti memiliki dunianya sendiri,
seolah orang-orang tak ada sama sekali di dekatnya. Dalam kesehariannya pun
memang jarang berbicara dengan orang lain. Semenjak kematian suaminya di sawah
beberapa tahun lalu, sejak itu pula Wan Timah jadi malas berbicara dan bergaul.
Ia lebih suka menghabiskan waktu di sawah.
Pada
malam pertama sejak mayat Wan Timah dikubur, lolongan anjing sahut menyahut
membuat keributan di kampung. Suara-suara anjing itu seolah mengabarkan
kegelisahan mereka. Orang-orang kampung dibuat tidak tenang oleh lolongan
berisik anjing-anjing yang entah dari mana asalnya. Orang-orang berhamburan
keluar rumah, ada yang membawa snapan, parang, pentungan dan beberapa yang lain
mengambil batu jalan dan melempari anjing-anjing itu. Bukannya mencar melarikan
diri, anjing-anjing malah ngumpul di makam Wan Timah, melolongan semakin riuh,
semakin getir bahkan terdengar seperti tangis yang teramat sedih. Ada belasan
anjing yang entah dari mana asalnya tiba-tiba membuat ribut. Padahal hal serupa
belum pernah terjadi dan tak ada satu orang pun di kampung yang memelihara
anjing.
Pukul
dua puluh tiga lewat dua puluh tujuh menit akhirnya orang-orang mengusir anjing
itu dengan melempari menggunakan batu dan kayu. Bahkan ada yang beberapa kali
menembak menggunakan snapannya. Alhasil, semua anjing pergi dan mengembalikan
kesunyian malam yang beberapa saat mereka renggut dari warga. Tinggallah
beberapa jangkrik bercerocos di pohon rambutan dekat kuburan Wan Timah.
Seseorang
memegang snapan tampak sangat kesal. Entah karena tidurnya terganggu atau
karena tak satupun tembakannya mengenai sasaran. Napasnya cepat turun naik.“Dari mane datangnye asok asok gile iye?”
(Dari mana datangnya anjing anjing gila itu?)
“Daan taulah, sean yang
miare asok di kampong kite.” (Entahlah. Tidak ada
yang pelihara anjing di kampung kita.)
Sukri
yang membawa senter, menyorot ke arah makam Wan Timah yang masih basah. Makam
itu tak berubah apapun, masih sama seperti sejak ditinggal siang tadi, tak ada
bunga-bungaan juga daun pandan di gundukan tanah makam. Bahkan di ujung kepala
kuburan cuma diberi potongan batang simpur sebagai penanda kaki dan kepala. Hanya
tanah berwarna biru telur asin yang berkilat saat ditembak cahaya senter. Tepat
di samping makam Wan Timah terlihat tancapan nisan suaminya, sedang gundukan
tanahnya sudah tertimbun rerumputan liar. “Itok
kuboran lakinye?” (Ini kuburan suaminya?”) tanya seseorang sambil menunjuk
nisan yang hanya tampak ujungnya.
“Heh, daan boleh nunjok
kuboran,” (Heh, tidak boleh menunjuk kuburan,) salah seorang
menepuk tangan yang menunjuk ke makam Ki Siham.
“Aog, kuboran lakinye.
Kuboran Ki Siham.” (Iya, ini kuburan suaminya. Kuburan Kek
Siham,) pungkas Sukri sambil menyorotkan cahaya senternya ke nisan Kek Siham,
dan setelahnya cepat-sepat keluar pemakaman. Lalu kesembilan yang lain juga
mengikuti langkah Sukri. Baru hendak memasuki rumah, Sukri menoleh ke belakang
dan berniat pamit kepada teman-temannya. Tak ia temui lagi siapa-siapa di sana.
Dan Sukri hanya berprasangka bahwa temannya sedang memantau belakang-belakang
rumah, memastikan tidak ada lagi anjing-anjing gila itu.
Belum
lama Sukri masuk kamar dan hendak menyimpan senter ke atas lemari, lolongan
anjing-anjing kembali meraung. Kali ini suara itu terdengar semakin ramai.
Semakin riuh dan terkesan menakutkan. “Memanglah
asok gile,” (Dasar anjing gila,) gumam Sukri kesal. Anjing anjing liar itu
seperti gerombolan manusia yang panik, segerombolan manusia yang meminta
pertolongan ketika bencana menerpa. Riuh, kalut, ribut dan sangat menyedihan.
“Ngape, Bang?”
(Ada apa, Bang?) tanya istrinya yang tergolek di ranjang. Dengan tubuh bening
berisi dan buah dada terik yang tak sama sekali ia tutupi. Celana dalamnya
tampak mencengkram pinggang begitu erat hingga menimbulkan bekas kemerahan di
bawah pusar.
Sukri
tengah mengintip anjing-anjing yang berlarian dan melolong-lolong di depan
rumah warga. Sementara lolongan dari arah kuburan bersahut-sahutan. Sukri tetap
mengintip dan tak menghiraukan istrinya. Pintu rumah warga mulai terbuka.
Orang-orang berkumpul di jalan. Tua, muda, lelaki, perempuan, anak-anak semuanya
merapat ke jalan. Berkumpul, seolah ada hal ganjil dari kelakuan anjing-anjing
itu.
Pak
Kades juga ikut-ikutan keluar rumah, bergabung dengan warga. Sambil menggulung
kain sarungnya yang melorot Pak Kades bertanya penasaran “Asok sape ye?” (Anjing siapa itu?)
“Daan tau, Pak Pong.
Asok kampong seballah kali,” (Tidak tahu, Pak Kades.
Mungkin anjing-anjing kampung sebelah,) sahut salah seorang warga. Pak Kades
hanya mengangguk pelan.
Gerombolan
anjing semakin melolong kuat dari arah kuburan Wan Timah. “Dah, dah, kite tembak dah be asok asok gile ye,“ (Ayo, ayo, kita tembak
saja anjing-anjing gila itu,) ajakan itu seakan jadi gagasan yang tepat.
Beberapa kepala keluarga bergegas mengambil senapan mereka.
“Memang sialan asok
asok gile iye. Nak nyarek mati die di kampong itok,” (Memang sialan anjing-anjing gila itu. Mau
cari mati dia di kampung ini,) ucap seseorang yang baru saja tiba menenteng
snapannya, “Dah, Pak Pong kite bunoh asok
asok gile iye,” (Ayo, Pak Kades kita
bunuh anjing-anjing gila itu,” ajaknya pada Pak Kades.
“Dah...” (Ayo.)
“Dah...” (Ayo.)
Sahut-sahutan
warga begitu bersemangat ingin menghabisi pembuat keributan. Pak Kades hanya
diam lalu ikut bersama warga menuju pemakaman. Jalan menuju pemakaman dijalari
rumput-rumput liar, hampir tak terlihat di mana badan jalan. Namun warga masih
bisa melewati endapan rumput bekas jalan membawa mayat Wan Timah siang tadi.
Endapan rumput membelah rumput-rumput tinggi di sisi kiri dan kanan. Begitulah
jalan menuju pemakaman Wan Timah. Sebab, jarang sekali orang-orang kampung ini
mati. Jika sudah ada yang mati, jalanan lebih mendingan dari biasanya yang
rimbun oleh pepohonan dan rerumputan.
Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 3
Sukri
baru keluar rumah ketika melihat orang-orang menuju pemakaman. Sementara
istrinya kembali tidur, tak mau ambil peduli. Membayangkan mayat Wan Timah yang
ia temukan siang tadi di sawah membuat Sukri merasa ngeri. Masih
terbayang-bayang mata mayat yang terbelalak itu, mulut yang menganga. Bau busuk
seolah-olah masih sangat dekat dengan penciumannya, bahkan jika ia teringat
begini, bau busuk itu terasa semakin menyengat. Membayangkan itu, Sukri
cepat-cepat masuk rumah dan segera berbaring di sebelah istrinya.
Mata
Sukri menatap langit-langit kamarnya. Masih terbayang-bayang wajah mayat
menyeramkan Wan Timah.
“Sum,”
panggilnya pelan pada istrinya namun tak ada jawaban. “Sum,” ulang Sukri sambil
sekejap menoleh ke samping melihat istrinya pulas tertidur. “Sumi,” ia tepuk
pantat istrinya yang cuma memakai celana dalam.
“Emmm.”
“Daan ke kau merase laing
dengan kematian Wan Timah?” (Apa kau tidak merasa ganjil
dengan kematian Wan Timah?)
“Laing apenye be,
Bang?” (Ganjil apanya sih, Bang?”)
“Kau tau sorang kan dah
berape kali Wan Timah slamat dari maut.” (Kau tahu
sendiri kan sudah beberapa kali Wan Timah selamat dari maut.”)
“Kan ballom ajalnye,
Bang.” (Kan, belum ajalnya, Bang.)
“Aog, tappi bukan iye
maksudku,” (Iya, tapi bukan itu maksudku.) Sukri terdiam
sejenak, “selamak itok kitte daan tau
dengan asal usol Wan Timah. Urang-urang kampong pun sean yang tau dari mane
asalnye.” (selama ini kita tidak tahu dengan asal usul Wan Timah.
Orang-orang kampung juga tak ada yang tahu dari mana ia berasal.)
“Ki Lanun nun yo yang
tau.” (Ki Lanun yang tahu.)
“Ki Lanun pun daan tau gilak, die cume tau
bahwe dolok duak laki binni iye tibe-tibe datang di kampong itok, lakkak iye
mbuat dangau di utan. Katenye duak laki binni iye memang rajing merimbak utan
untok dibuat kabbon. Kau tau soranglah dollok kampong itok utan labbat. Sape
yang rajing merimbak, mbuka’ lahan tattap banyak dapat tanah.” (Ki
Lanun juga tidak tahu banyak, dia hanya tahu bahwa dulu sepasang suami istri itu
tiba-tiba datang di kampung ini, setelah itu membuat gubuk di hutan. Katanya
sepasang suami istri itu sangat rajin membabat hutan untuk mereka jadikan
kebun. Kau tahu sendirilah, dulu kampung ini hutan lebat. Siapa yang rajin membabat
hutan, membuka lahan tentu ia akan banyak mendapat tanah.) Lama keduanya
terdiam. Sunyi senyap kembali memperjelas lolongan anjing dari pemakaman.
“Sum...Sumi.”
“Rrrr...” Sumi mendengkur. Sukri hanya
menoleh tanpa berniat membangunkan istrinya lagi. Tatapannya kembali pada
langit-langit kamar yang dihiasi sarang laba-laba. Pikiran Sukri masih
melayang, ia heran kenapa mayat Wan Timah tidak disalatkan seperti orang-orang
mati di kampung ini. Mayatnya langsung dikafan dan dikubur begitu saja.
Beruntung masih dibuatkan peti oleh warga. Karena begitulah prosesi pemakaman
di kampung ini, mayat akan langsung dikubur di dalam peti persegi panjang. Kayu
yang digunakan bukan kayu kayu mahal, melainkan kayu ringan, seperti sengon.
Memang
tidak ada satu orang pun yang tahu dengan apa agama Wan Timah. Bahkan ketika
suaminya meninggal dulu, mayat tersebut juga tidak disalatkan. Beberapa kali
orang bertanya pada Wan Timah tentang apa agama mereka. Waktu itu Wan Timah
hanya bilang bahwa mereka tidak punya agama. Sempat juga dia bilang ‘Agama kamek cume betani dengan bekabon.’
(Agama kami cuma bertani dan berkebun.) Saat itu orang-orang kampung sepakat
untuk tidak menyolatkan jenazah Ki Siham. Mayatnya langsung dikubur. Hanya Wan
Timah dan Ki Siham yang punya agama bertani dan berkebun di kampung ini.
Pada lamunan tengah malam buta itu
Sukri tak dapat memejamkan matanya, pikirannya kosong. Tiba-tiba tubuhnya
mengejang, bola matanya terbalik, suaranya berat. Mendadak hawa dingin menjalar
ke seluruh aliran darah-darahnya. Ia merasakan beban yang sangat berat menindih
tubuhnya hingga tak bisa ia gerakan jari-jari tangan maupun kakinya. Sukri
hilang kesadaran, ruhnya terbelenggu dan Sukri tak sadar lagi.
Konon cerita yang dulu berkembang
ketika baru-baru meninggalnya Kek Siham, sering sekali para lelaki merasa aneh
pada diri mereka ketika hendak menjelang tidur. Sama seperti yang dirasakan
Sukri. Beberapa tahun ini tak pernah lagi hal semacam itu terjadi sejak dukun
kampung sebelah membersihkan kampung ini dari segala hawa jahat yang meresahkan
itu. Tapi malam ini entah kenapa hal serupa terulang kembali, dan terjadi pada
Sukri yang terbilang baru dua atau tiga tahun ini menikah. Sejak menikah, Sumi
dan Sukri memang belum dianugerahi anak karena dinilai ‘pelumas’ Sukri yang
kurang subur.
Akhirnya mata Sukri terbelalak,
setelah beberapa menit Sukri terdiam dan tak sadarkan diri. Ia toleh sebelah
kanan, istrinya tergolek nyenyak tanpa baju, kutang juga celana. Napas Sukri
tiba-tiba cepat turun naik ketika menatap seluruh bagian tubuh Sumi yang
bening. Bentuk bulat buah dada Sumi yang putih dan terik menggoda hasrat berahi
Sukri. Bibir tipis, wajah berseri, lekuk tubuh dan kulit bersih ditambah leher
jangkung seperti burung angsa semakin memancing hasrat seksualnya. Entah kapan
Sukri membuka seluruh pakaiannya, tiba-tiba saja sudah tak memakai apa-apa. Tanpa
sehelai benang di tubuhnya ia tindih tubuh Sumi yang telentang di ranjang, ia
jilati dari bibir menuju leher hingga ke bawah pusar. Sumi hanya mendesis pelan
namun matanya masih terpejam dalam. Sukri semakin beringas dan liar menjilati
seluruh tubuh putih itu. Kedua belah tangan Sukri liar menyusuri bentuk tubuh
istrinya, dari paha hingga leher, dan sekejap menetap di buah dada yang ia
remas penuh nafsu, membuat Sumi semakin cepat mendesah, nafasnya semakin laju. Sumi
larut dalam kenikmatan.
Tak
begitu lama tangan kanan Sukri mulai menyelinap, menyusur ke celana dalam Sumi.
Sumi menggeliat, meliuk-liuk hebat, ketika jari-jari Sukri menyentuh barang di
dalam celana dalamnya. Ia semakin mendesah panjang dan menikmati apa yang
diberikan suaminya. Jari-jari itu terasa bergerak begitu liar dan menusuk-nusuk
membuat Sumi terasa melayang. Sesekali juga terdengar ia mengaduh pelan ketika
jari-jari itu terlalu dalam menusuk. Baca Juga: Apakah Ini Takdir
Mata
Sumi masih terpejam ketika celana dalamnya telah dibuka oleh Sukri. Ia hanya
mengangkangkan lebar kedua belah kakinya. Ia rasakan embusan pelan napas Sukri
di selangkangannya. Saat itu Sumi mulai membuka pelan matanya. Ia dapati wajah
Sukri di sana, menjilati selangkangan, membuatnya semakin merasakan geli oleh
lidah Sukri yang tak kalah lincah dari jari-jari tangan. Sepasang suami istri
dimabuk asmara malam itu, menumpahkan nafsu mereka di atas ranjang yang
berderit-derit ketika Sukri semakin bersemangat menggoyangkan pinggang dan
guncangan semakin menjadi. Sedang Sumi hanya menahan, ia tutup mulutnya dengan
telapak tangan kanan guna menghindari suara desahan. Dadanya merah, urat-urat
lehernya terlihat jelas, sedang Sukri semakin menjadi meremas kedua buah dada
istrinya, sesekali ia hisap kuat-kuat hingga membuat Sumi menggeliat hebat.
Tak
lama mereka akhirnya terkapar berdua, dan tertidur pulas hingga dibangunkan
oleh ketukan pintu depan.
“Assalamualaikom, Suk, Sukri,” ketukan
itu semakin cepat menghantam pintu rumah Sukri. Mentari sudah hangat pukul enam
tiga puluh. Kedua suami istri itu tampaknya lelah sekali bekas bercinta malam
tadi.
Mendengar
ketukan itu Sukri bergegas bangkit. Sejenak ia tertegun menyadari tubuhnya yang
telanjang bulat. Sedikit lama ia mencoba mengingat apa yang terjadi, namun tak dapat
ia ingat sama sekali apa yang terjadi. Ia lihat istrinya mengangkang tanpa
sehelai benang di tubuhnya. Nampak jelas oleh Sukri belahan kemeran dan berbulu
tipis di selangkangan istrinya.
“Assalamualaikom, Suk, Sukri,” ketukan
yang kesekian kali membuat Sukri cepat-cepat mengenakan pakaiannya yang
tergeletak di ranjang.
“Waalaikomsalam,”
ia dapati Muslimin di muka pintu. “Ade ape, Min?” (Ada apa, Min?”
“Ke kubor dah, Wan
Timah idup agek,” (Ayo ke kuburan, Wan Timah hidup lagi,)
wajah panik Muslimin membuat Sukri terdiam. “Urang
kampong udah sumenye ke sinun,” (Orang kampung sudah ke sana semua) sambung
Muslimin. “Dah cappat.” (Ayo cepat.)
Setengah berlari mereka menuju kuburan yang telah dipenuhi warga. Kuburan Wan
Timah telah terbuka lebar, penutup peti telah berada di samping kuburan, entah
siapa menaruhnya di sana. Di dalam peti terbaring Wan Timah, matanya melirik
orang-orang. Tubuhnnya menggeliat karena terikat kain kafan namun tak seorang
pun yang berani mengangkat mayat hidup itu dari dalam peti kuburan. Orang-orang
memerhatikan, tampang ngeri tergurat di muka-muka mereka.
Sukri
dan Muslimin yang tertegun segera masuk ke dalam kuburan setelah mendengar
suara Pak Kades untuk mengangkat Wan Timah.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Subhanallah, Allahu Akbar,”
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar,” tak henti-hentinya Sukri dan Muslimin mengucap itu
saat mengeluarkan Wan Timah dari dalam kuburan.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Subhanallah, Subhanallah, Allahu Akbar,”
orang-orang seakan tak percaya dengan kejadian unik itu. Beberapa terlihat
menangis, ada pula yang ngeri dan mendempet erat ke tubuh orang di sebelahnya.
Wan
Timah dibawa ke rumahnya, kain kafan di tubuhnya telah diganti dengan daster
pemberian salah satu warga. Hari itu tak terdengar azan zuhur dari mesjid.
Sebab, warga masih ngumpul di sekitaran halaman rumah Wan Timah. Heran
sekaligus menakutkan ada kejadian seperti itu. Cerita-cerita simpang siur mulai
dikarang-karang. Sukri yang juga di sana mendengarkan dengan baik. Sambil
memikirkan kejadian tadi malam yang setengah ia ingat. Baca Juga: Cerpen Naga
“Tadek malam kau paggi
ke kuboran juak ke?” (Malam tadi kamu pergi ke kuburan juga?)
tanya Sukri pelan kepada Muslimin di sampingnya. Sementara orang-orang di depan
mereka duduk berkumpul di tanah lapang di bawah pohon rindang.
“Daan. Emangnye semalam
urang ke kuboran?” (Tidak. Memangnya malam tadi orang ke
kuburan?) Tanya balik Muslimin yang tidak tahu-menahu.
“Ramai urang ke kuboran
semalam.” (Ramai orang ke kuburan tadi malam.)
“Inyan ke? Ade ape?”
(Yang benar? Ada apa?)
“Daan bangun ke dek kau
semalam, yang suare asok bunyi bukan agek buat ingar e?” (Tadi
malam kamu tidak bangun oleh suara anjing yang berisik itu?)
“Daan tau aku. daan
lalu meladde.” (Tidak tahu aku. Tidak sadar sama
sekali.) “Asok iye ke kuboran?” (Anjing
itu ke kuburan?)
“Aog di kuboran. Bukan
agek bunyinye. Kalut lah udah,” (Iya di kuburan. Parah
sekali bunyinya. Kalut sekali,) tegas Sukri.
“Jam berape urang ke
kuboran?” (Jam berapa orang ke kuburan?)
“Kire-kire jam sebalas
lewat atau jam duak ballas gayye lah.” (Kira-kira jam sebelas
lewat atau jam dua belasan.)
“Heh, inyan ke ape?”
(Heh, yang benar?) “Aku jam satu
setanggah barok tidok. Sian danggar ape-ape.” (Aku jam setengah dua baru
tidur. Tidak ada dengar apa-apa.”
“Inyan lah. Bekalut di
urang semalam.” (Benar. Orang-orang kalut tadi malam.)
“Minggau be kau ye.
Sian aku dangar ape-ape semalam.” (Ngigau kau tuh. Tak
ada dengar apa-apa aku tadi malam.”
Tiba-tiba
Pak Kades turut duduk di antara mereka berdua membawa bungkusan berisi roti dan
air putih dalam botol berwarna hijau. Setelah menanyai semuanya kepada Pak
Kades muka Sukri seperti orang bengong. Pikirannya berkelabat. Memang tidak ada
kejadian apa-apa tadi malam. “Bapak jam
duak barok tidok, sian ape-ape,” (Bapak jam dua baru tidur, tidak ada
apa-apa,) semua penjelasan dari Pak Kades sangat membingungkan Sukri, padahal
jelas-jelas Pak Kades dilihatnya ikut bersama rombongan warga menuju kuburan
malam tadi. Sukri terus bersikeras menjelaskan apa yang ia lihat. Perhatian orang-orang
tertuju pada Sukri yang memaparkan semuanya secara detail apa yang ia alami, ia
bahkan ingat siapa saja temannya menjambangi kuburan Wan Timah malam tadi. Ia tanyai
satu per satu, namun, jawaban tetap sama. Semua kejadian itu semu belaka,
bahkan orang-orang menuding Sukri cuma mengigau dan menganggap Sukri
mengada-ada.
Dengan
penjelasan Sukri yang ngalur-ngidul menurut
mereka, beberapa orang mulai meyakini bahwa Sukri lah yang telah membongkar
kuburan Wan Timah. Tapi untuk apa Sukri melakukan itu? Pertanyaan itu tak menemukan
jawaban. Walaupun tak tahu apa alasannya, orang-orang tetap meyakini bahwa Sukri
adalah orang yang membongkar kuburan Wan Timah. Sebab, tak ada yang
mencurigakan selain dari gelagat Sukri yang membuat cerita tak masuk akal
menurut orang kampung.
Seusai
omong-omong waktu itu, Sukri pamit dan diam-diam menghampiri kuburan Wan Timah.
Karena ia tahu cerita yang ia sampaikan tak sama sekali mendapat tanggapan baik
dari orang-orang. Setibanya di kuburan, ia taksir betul-betul gundukan tanah
bakas bongkaran makam. Dan betul, Sukri menemukan banyak bekas kuku binatang di
tanah tersebut, bekas kuku-kuku itu sangat menunjukan bahwa ada puluhan bahkan
ratusan binatang yang melakukannya. Sukri merinding dan langsung pulang membawa
ketakutan dan tanda tanya besar.
Pada
terik matahari siang itu, ia dapati Sumi yang menyambutnya di depan pintu. Dengan
cepat Sumi menutup pintu ketika Sukri masuk rumah. Dan betapa tertegunnya Sukri
melihat Sumi bergegas membuka seluruh pakaiannya dan memperlihatkan seluruh
bagian tubuhnya yang menggoda. Mereka bersitatap,
pelan-pelan Sumi mendekat ke hadapan suaminya. Sukri mulai merasakan ada yang
bergerak-gerak dan terik di dalam celananya,,,..Bersambung...........
Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
0 Komentar