Perempuan Puisi dan Pelacuran

Penyair Jelita

Pelacur-pelacur bermuka-muka, dua, tiga, lima dan seterusnya. Mereka maksimalkan raut muka tersiksa, lenggok tubuh jelita. Salah satu pelacur muda itu bernama Jelita, menyabet juara pertama pada acara puisi sedunia. Lewat penampilan memesona, air matanya tercecer di mana-mana. Membawa isu-isu sosial dan kemiskinan, ia gondol piala-piala penghargaan. Penobatan bermacam duta ia sabet semua, dari duta kemiskinan, duta sosial, duta peduli, hingga ke duta-duta aksara juga duta bahasa ia sikat habis. Saban hari dan setelahnya ia dikenal seantero dunia. Kaum miskin menitik air mata sebab suara-suara kecil mereka menggema oleh Jelita.

“Jelita pahlawan kami. Jelita putri kami,” begitu orang-orang miskin memujanya. Namun, Jelita cuma bersandiwara, tak ada niat sama sekali, bahkan tak pernah terpikir di kepalanya untuk menyuarakan luka kaum miskin dan rakyat jelata. Jelita cuma mencari nama agar dikenal oleh dunia lewat puisi dan sajak-sajak yang dimainkannya. Pun, itu bukan puisi-puisi buatannya, apalagi refleksi batinnya terhadap rakyat jelata, bukan sama sekali. Kelebihannya cuma berakting saja, tak lebih dari artis-artis sinetron yang berperan menjadi rakyat jelata dan sok-sokan tersiksa. Ia cuma mencari nama saja agar dikenal dunia.

Baca Juga: Cerpen Selepas Subuh

Namun, rakyat-rakyat jelata yang terpesona telah menobatkan Jelita sebagai cahaya mereka, bahkan beberapa rakyat jelata menobatkan diri mereka untuk menjadi rakyat-rakyat Jelita.

“Itu cuma sandiwara,” salah satu dari rakyat jelata berteriak keras kepada saudara-saudaranya. Ucapan itu hanya dianggap angin lalu. Rakyat jelata telah terhipnotis oleh penampilan jelita yang begitu luar biasa menyuarakan derita mereka.

“Tidak. Jelita memang merasakan apa yang kita rasakan,” balasan dari rakyat jelata lain telak dan lugas.

Minggu-minggu berlalu, bulan ke bulan lewat cepat, rakyat jelata tak lagi menyebut-nyebut nama Jelita. Hampir setiap hari rakyat jelata melihat Jelita melintas di depan gubuk-gubuk mereka, dan hampir setiap hari mata mereka bersitatap dengan mata Jelita yang cepat melesat lewat. Mereka lihat Jelita berbaju mewah, rapi, wangi dan berkilau seperti artis-artis di layar kaca. Bahkan hampir setiap hari mereka melihat Jelita masuk gedung-gedung mewah, kafe-kafe mahal dan berkelas yang ada di kota mereka yang bahkan belum pernah mereka injak sejak mereka dilahirkan di bumi ini. Sepertinya semua kafe mewah di kota mereka telah disambangi oleh penyair Jelita.

Hal yang paling mereka kecewa adalah ketika melihat Si Penyair Jelita menutup hidung dan cepat-cepat menghindar ketika satu orang rakyat jelata mendekat ke arahnya. Hati mereka semua remuk redam kala itu. Jelita yang diagung-agungkan rupanya benar hanya bersandiwara, membawa nama mereka untuk popularitasnya semata.

Sakit hati rakyat jelata bukan main, saat itulah rakyat jelata menganggap Jelita sebagai kotoran di pojok-pojok gubuk mereka. Setiap orang yang hendak berak, terlebih dahulu mereka hormat kepada Jelita yang menempel di dinding juga lengket di sampah-sampah plastik itu. Bahkan telah ada kabar beredar di tengah rakyat jelata, jika mereka tidak hormat, maka Jelita akan menggangu kenikmatan berak mereka dengan bau busuknya yang luar biasa. Dan, saat peristiwa seperti itu terjadi, mereka harus menyumbang taik-taik mereka kepada jelita. Semakin busuk taik yang mereka suguhkan maka akan sangat menyenangkan Jelita.

Di tembok-tembok dan pojok-pojok yang dipenuhi oleh Jelita, rakyat jelata memberinya nama ‘ISTANA PENYAIR JELITA’ Mereka tulis itu menggunakan taik-taik mereka sendiri. Dan sampai keturunan anak cucu mereka, istana itu semakin megah dengan taik yang semakin menumpuk, semakin membusuk. Saat itu pula semakin populer nama Jelita di kalangan rakyat jelata dan juga rakyat-rakyat seantero dunia, bahkan jadi perhatian khusus oleh kepala negara.

Baca Juga: Puisi Rembulan yang Melukis Senyummu

Pontianak, 9 November 2019

Bada Maghrib

Ed

#AkubukanJelita

Gambar: Instazu.com

Posting Komentar

0 Komentar