Naga
Hari ini, ingatan
tentang kejadian satu tahun lalu kembali hadir di kepalaku setelah Pak Ndut
mengejek dan menjadikannya lelucon. Ia menganggap cerita yang kusampaikan dulu
hanya karangan semata. Muka Pak Ndut dan kedua temannya memerah, terpingkal sejadi-jadinya.
Sampai saat ini gelaran
naga yang dulu disematkan padaku tak pernah hilang. Beberapa orang seperti Pak
Ndut masih saja memanggilku dengan sebutan Naga. Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
"Mana mungkin ada
naga di dunia ini, Naga. Dari zaman batu sampai zaman gila ini, cuma kau
sendiri yang pernah melihat naga."
Semakin jadi tawa
mereka. Salah satu di antaranya menepuk-nepuk meja, sebab, mungkin terlalu lucu
menurutnya.
Orang-orang di meja
sebelah dan yang tengah berlalu lalang memerhatikan dengan serius, ada
wajah-wajah penasaran tergurat di sana. Aku hanya duduk diam, tanpa berani
membantah ketiga orangtua itu. Jujur, kurasakan telinga dan mukaku panas, aku
tak tahu semerah apa rupaku. Menjadi pusat perhatian untuk ditertawakan adalah
suatu hal yang tak pernah kubayangkan. Umurku baru delapan belas tahun, seperti
apapun aku membantah omongan mereka ujung-ujungnya siapa yang lebih dulu makan
garam. Kalimat klise itu masih menjadi senjata mereka ketika tak mau disalahkan
oleh orang yang lebih muda. Dan, tak dapat juga kubuktikan kebenaran bahwa aku
telah melihat naga tersebut. Dengan cara apa aku harus membuktikannya,
sementara saat aku melihat sosok itu badanku kaku tak bergerak. Ketakutanku
waktu itu tak dapat kuceritakan.
Waktu itu, kampung kami
jadi pusat perhatian gara-gara cerita kehadiran naga melintasi sungai, dan aku
adalah penyebabnya, orang yang melihatnya.
"Dek, kopi
tiga!" Pesan Pak Ndut pada seorang pelayan yang kebetulan mengantar
pesanan di meja sebelah. Lalu, ia menanyaiku dan kubilang kopi. Dengan sigap ia
mengangkat empat jarinya ke arah pelayan, "empat."
Setelah beberapa saat
tenang, mereka kembali berbincang, entah apa isinya. Salah satu dari mereka
mulai mengambil dan memegangi selembaran kertas lebar, itu adalah papan daftar
togel yang telah keluar di hari, minggu dan bulan-bulan sebelumnya. Di atas
meja, sobekan kertas putih siap diberi angka-angka. Pena yang rebah sebentar
lagi bergoyang seperti biduan dangdut keracunan tabuh gendang.
Kubawa segelas kopiku
pindah ke meja sebelahnya, tak jauh, hanya berkisar satu meter. Dari meja itu
aku masih jelas mendengar apa yang mereka bicarakan, pikirku sejenak. Kebetulan
hanya meja itulah yang kosong. Pembicaraan mereka sempat terputus melihatku
bangkit, "loh, mau ke mana?"
"Ke situ,"
kuarahkan bibirku ke meja yang hendak kutempati.
Kertas kecil dari
kantong celanaku yang sudah kupersiapkan dari rumah pelan-pelan kukeluarkan.
Perlahan kubuka dan menemui angka yang telah tertulis dengan tinta merah di
sana, 0099-20. Tak tanggung-tanggung, empat angka kupasangi dua puluh ribu. Itu
adalah seluruh uang jajanku sekolah hari ini. Tentang kopiku siapa yang
membayar itu urusan belakangan.
Baca Juga: Cerpen Cinta yang Hilang
***
Masih terbayang-bayang
di kepalaku, angka itu bersinar berwarna emas di kepala naga. Aku sangat yakin dengan mimpiku malam
tadi. Bangun tidur tadi pagi, hal pertama yang kulakukan adalah bergegas
membuka tas sekolahku, mencari buku dan pena. Kurasakan jantungku berdetak
cepat, tanganku gemetar, kurasakan goresan mata pena meliuk-liuk hingga
akhirnya selesai tinta merah terukir dengan baik di wajah kertas. Aku kembali
rebah membayangkan berapa uang yang akan kudapatkan. Membayangkan pasanganku
tembus, tiba-tiba bibirku mekar sendiri. Segera aku bangkit untuk mandi dan
bersiap berangkat sekolah. Angka yang telah kutulis di buku telah kukoyak kecil
dan kumasukkan di kantong celana.
Uang 20 ribu selalu
tergeletak di atas meja makan setiap pagi, selalu berdekatan dengan kopi di
dalam cangkir bercorak bunga. Kuseruput sedikit kopi dan mengunyah pisang
goreng lalu berangkat sekolah, belum pernah aku semangat seperti itu.
Sungguh aku semangat
sekali. Sampai di meja warung kopi tengah hari begini semangatku masih terasa
berapi-api walaupun panas dan bau selokan menguar di antara lalu lalang
orang-orang. Entah apa yang orang cari di pasar tengah hari begini, seperti tak
ada waktu lain saja.
"Hey, anak naga. Sudah
pulang sekolah kau." Seseorang menepuk pundakku
dan langsung duduk. Dua yang lain juga ikut duduk satu meja. Hanya yang menepuk
pundakku yang kukenal, dia Pak Ndut, bandar judi kolok-kolok di pasar. Aku sering memasang di lapaknya jika punya
uang lebih.
Tak tahu mengapa ia
langsung membicarakan tentang kejadian yang menghebohkan satu tahun lalu kepada
temannya. Mungkin karena temannya juga tahu tentang kehebohan satu tahun lalu
tetapi tidak tahu siapa yang membuat kehebohan itu. Dan, sekarang Pak Ndut
mengenalkannya pada mereka.
"Kalau kalian mau
tahu, ini dia orangnya yang katanya melihat naga," katanya dengan nada
mengolok membuat dua temannya turut tertawa.
Olokkannya semakin menjadi
hingga membuat temannya semakin terpingkal. Aku sudah tahu dengan kelakuan Pak
Ndut, ia memang bersuara besar dan suka menyindir, tetapi ia hanya sebatas
bergurau. Aku tahu itu. Aku sudah sangat hafal dengannya. Tapi, aku juga tak
bisa membohongi diriku. Jujur aku merasa malu, dan tak tahu harus bagaimana.
Tak ada yang dapat kulakukan selain diam. Jika ditanggapi akan panjang
ceritanya.
Sebenarnya aku ingin
memberitahu Pak Ndut tentang mimpiku melihat naga malam tadi. Tapi, mana
mungkin kuceritakan aku mimpi melihat angka di kepala naga, itu sama saja
mencampakkan diri ke dalam jurang. Makin mati aku diperolok Pak Ndut dan kedua
temannya. Baca Juga: Puisi Peristiwa Telaga Tua
***
Sukro turut tertawa
ketika Pak Ndut dan temannya mengejek anak yang berbaju pramuka di depannya.
Bagaimanapun itu kejadian mustahil dan tak masuk akal. Naga itu hewan mitos.
Mana mungkin ada naga zaman sekarang, bahkan zaman dulu pun mungkin tidak ada.
Kalaupun ada, itu hanya pas perayaan imlek yang dimainkan setiap tahun di pasar
ini pikirnya sejenak lalu melanjutkan tawa yang sempat terhenti beberapa
detik.
Lalu, pikirannya
bekecamuk tentang pemberitaan naga akhir-akhir ini yang ia baca di android miliknya juga ia tonton di
televisi.
Dua hari lalu, ia
membaca berita yang lagi heboh di jagat maya tentang naga di sungai Mahakam.
Berita itu terjadi pada bulan Februari 2009 tapi setiap saat melintas di
beranda facebooknya. Karena penasaran
ia pun turut membaca. Sosok ular naga berkepala kerbau itu tengah berenang di
sungai Mahakam. Satu lagi berita yang ia baca tentang sepasang ular naga
berkepala kerbau, lagi-lagi di sungai Mahakam. Ular naga itu diyakini sepanjang
delapan puluh meter.
Dan, yang tak kalah
mengejutkan hari-hari ini ialah tentang Jecki W B Noya. Berita tentangnya tak
hanya menghebohkan sebagian manusia di jagat maya seperti facebook, berita tentangnya juga diberitakan di televisi nasional.
Beberapa infotaiment membahas dirinya
yang bertemu dengan naga di hutan Papua sehingga menyebabkannya menjadi kaya
raya dan dijuluki Si Raja Emas dari Ambon.
Dalam wawancara ia
katakan tak mudah untuk menaklukkan hutan Papua. Selama enam bulan tujuh belas
hari ia berada di hutan yang katanya belum terjamah manusia itu. Ia juga
menyumbangkan 37 miliar uangnya untuk fakir miskin di Ambon, mesjid dan gereja
juga tak luput dari perhatiannya. Hal itu yang menjadikan Sukro menjadi gamam.
Semalam ia bermimpi melihat kepala naga, walaupun samar-samar tetapi angka di
kepala naga yang bersinar warna emas itu jelas dan lekat di kepalanya.
Pagi tadi, hal pertama
yang dilakukan Sukro saat bangun tidur ialah mencari pena dan secarik
kertas dalam tas sekolah anaknya. Ia tulis angka 0099-100. Empat angka itu akan
ia beli seratus ribu. Angka itu, angka yang ia lihat di kepala naga dalam
mimpinya. Baca Juga: Cerpen Penungguan Tiada Ujung
***
Tawa Pak Ndut semakin
menjadi dan Helmi yang berada di sebelahnya menepuk-nepuk meja sambil
merah-merah muka karena tertawa. Sukro pun demikian, ia juga tertawa
sejadi-jadinya.
Tak lama setelah tawa
mereka reda, Pak Ndut membuat mereka kembali serius. Bola mata mereka
bergantian melirik daftar di papan togel yang dipegang oleh Helmi dan kertas
yang dicoret-coret Pak Ndut.
"Aku yakin ini
pasti keluar. Tinggal kita sesuaiakan angka lima mau ditaroh depan atau
belakang. Yang pasti, lima dan delapan pasti keluar," katanya dengan yakin
sambil merebahkan pena di atas meja.
Sukro jadi ragu dengan
mimpinya. Jauh sekali dengan angka yang disensi
oleh Pak Ndut. Bagaimanapun, Pak Ndut adalah penyensi togel yang andal. Jarang sekali sensiannya meleset. Dan, belum pernah Sukro mendengar Pak Ndut seyakin
itu hingga memastikan angka lima dan delapan pasti keluar.
"Kalau ini aku
yakin liam delapan delapan lima yang keluar," Helmi tak kalah yakin.
Helmi mengeluarkan uang
lima puluh ribuan dari kantongnya dan menggoyangkan pena di atas kertas. Ia
mulai mengukir angka 5885-5, 885-15, 85-15, 58-15 angka yang ditulis Helmi
berbaris dari atas ke bawah.
"Bismillahirohmanirohhim, tembus
kau," ia hentakkan pena ke atas meja.
"Kalau angka ini
tidak keluar, aku bersumpah tak akan nyensi
lagi seumur hidup," kata Pak Ndut sambil menyalin angka yang telah ditulis
Helmi. Ia pasangi lima puluh ribu empat angka yang paling atas ia salin itu,
sisanya semua dua puluh. "Ini, Suk," katanya memberikan pena pada
Sukro. "Kalau kau ada duit, biar kau hantam seratus ribu empat angka, nih.
Kalau kau mau kaya dari togel ini lah dia. Nasib badan aku kalah judi tadi,
andaikan masih ada duit memang aku bantai habis-habisan. Kali ini aku sangat
yakin tak akan meleset."
"Ada yang mau beli
hape tidak?" Tiba-tiba Pak Ndut jadi pusat perhatian. Orang-orang
mendekat. Tak ada yang berminat membeli ponsel Pak Ndut yang pecah seribu itu,
walaupun ia jual dengan harga terbilang sangat murah.
Alasan Pak Ndut mau
menjual ponselnya tak lain untuk menambah pasangan togel. Itu sebabnya
orang-orang lebih memilih memasang togel hasil sensian Pak Ndut ketimbang membeli ponsel buluk miliknya. Siapa
yang tidak tergiur untuk memasangi sensian
Pak Ndut yang dikenal ampuh, ditambah keseriusannya hingga rela berjual barang
miliknya. Hak itu membuat orang-orang habis-habisan memasang angka seperti apa
yang ditulis Pak Ndut.
Suasana semakin riuh,
senyum orang-orang merekah. Bahkan beberapa sudah berencana untuk membeli motor
keluaran terbaru, mobil keluaran terbaru. Bahkan, ada yang nyeletuk ingin
berangkat umroh.
Sukro yang berada di
kerumunan tengah menimbang-nimbang. Jika mereka semua kena, bisa-bisa aku mati
berdiri karena diolok, seumur hidup mereka akan mengingatnya, pikirnya.
Akhirnya ia ikut juga memasangi sensian
Pak Ndut.
***
Tak terasa jam di ponselku
menunjukkan Pukul Lima belas lewat lima puluh liam. Itu artinya lima menit lagi
pasangan togel akan ditutup, juga warung kopi ini. Perutku juga mulai terasa
lapar, sebab di sekolah tadi aku hanya makan empat bakwan hasil ngutang di
kantin. Pak Ndut dan beberapa orang telah bubar setengah jam yang lalu,
termasuk dua temannya. Hanya tinggal tiga orang tua di meja depanku.
Baru saja aku berdiri
untuk membeli togel, perempuan berambut terurai mendekat ke arahku.
"Udah mau tutup,
Bang. Kopinya tadi empat, dua puluh ribu. Langsung bayar di dalam, Bang,
ya!"
Mendengar itu, dadaku
terasa sesak. Sialan Pak Ndut, kenapa harus aku yang membayar. Bangsat. Jahanam.
"Anjing,"
Pelayan yang tengah
membersihkan mejaku terperanjat hebat. Ketiga orang tua di meja depan langsung
menoleh ke arahku. Jujur, aku lepas kendali. Dengan perasaan kesal
bercampur-baur dengan amarah kubayar kopi Pak Ndut dan kedua temannya, termasuk
segelas kopiku sendiri.
"Ada yang mau beli
hape? Seratus langsung deal."
Tak ada yang menanggapi.
Hening. Senyap. Tak ada lagi uang di kantong orang-orang, semuanya telah jadi
secarik kertas dengan angka lima delapan delapan lima. Dan semuanya gara-gara
Pak Ndut. Tak henti-hentinya kumaki -maki ia dalam hati.
***
Malam ini, setelah
mengetahui angka yang keluar, makianku pada Pak Ndut semakin menjadi, semakin
menggila. Sumpah serapah telah semuanya kukeluarkan hingga tak tahu lagi untuk
memakinya seperti apa.
Togel Singapore 0099,
angka itu keluar. Angka yang tertulis berwarna emas di kepala naga. Sial!
Keparat!
Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 2
Pontianak, 27 Juli 2020
Pict by: id.wikipedia
Pontianak, 27 Juli 2020
Pict by: id.wikipedia

0 Komentar