
Ya
Tuhan, Apakah Ini Takdir?
Malang
tak berbau. Perihal takdir kita hanya bisa menjalani. Setiap garis kehidupan
maupun kematian telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba kita hanya
bisa pasrah terhadap takdir. Selalu bersyukur dan menerima apapun yang telah maupun
yang akan terjadi.
Kalimat-kalimat itu selalu kudengar
beberapa hari ini dari Pak Usup. Sikap pasrah seperti itu dan
kalimat-kalimatnya membuat gendang telingaku terasa pecah setiap kali
mendengarnya, kendati ia bicara sangat tenang, bahkan terkesan lemah lembut.
Sebagai orang yang dituakan di kampung tentu kata-katanya mudah diterima oleh
warga. Setiap kali ia bicara, suasana akan terasa begitu tenang karena tutur
katanya yang mendamaikan. Orang-orang akan banyak diam menyimak dengan baik,
manut, bahkan beberapa kali menganggukkan kepala ketika mata Pak Usup yang
teduh menatap wajah mereka. Barangkali, tatapan teduh itu masuk hingga ke dalam
mata hati mereka.
Aku
pun demikian, tak jarang aku tanpa sadar menganggukan kepala ketika mendengar
Pak Usup bicara, walaupun terkadang aku buta dengan maksud yang hendak
disampaikannya. Yah, aku rasa atau lebih tepatnya aku pikir, kebiasaan
mengangguk tanpa mengerti bukan hanya aku saja yang mengalaminya. Hampir setiap
hari kutemukan teman-temanku mengangguk saat guru mengajar. Apakah mereka
paham? Tidak sama sekali. Tanpa disadari, dengan menganggukan kepala tanpa
paham makna yang disampaikan adalah suatu tindakan membodohi diri sendiri.
Bagaimana mungkin menghindar dari jerat orang lain jika kebiasaan membodohi
diri sendiri tetap ditumbuhkembangkan, tetap ditumbuhsuburkan.
Itu
sebabnya untuk kali ini aku sama sekali tidak sependapat dengannya, dengan Pak
Usup. Akhirnya kupotong juga ucapannya setelah beberapa menit kami terdiam
mendengarkan ceramah darinya itu. Kutanyakan ketidakpahamanku dengan
sungguh-sungguh.
“Apeke kejadian macam itok bise
dikatekan takder, Pak Long?”
Serentak mata orang-orang menolehku,
termasuk Pak Usup. Suasana seketika menjadi sunyi. Hening. Hanya terdengar
suara sendok beradu dengan teko dari dapur, itupun terdengar begitu samar. Ah,
tampaknya semangat keluarga ini belum juga pulih sehingga mengaduk kopi begitu
pelan. Ya, kopi. Aku tahu itu, sebab belum ada tersedia kopi di hadapan
orang-orang seperti biasanya. Dadaku terasa bergemuruh. Aku takut pertanyaan
itu dianggap terlalu bodoh untuk diutarakan. Baca Juga: Cerpen Cinta yang Hilang
Cukup
lama Pak Usup terdiam. Aku benar-benar tidak tahu membedakan apa itu takdir.
Apa bedanya dengan nasib? Jika masalah seperti ini adalah takdir, sungguh
malang sekali Dewi. Iya Dewi. Dewi yang mati di hutan tiga hari lalu tanpa
mengenakan sehelai benang di tubuhnya. Ia diperkosa lalu dibunuh begitu saja.
Mayatnya ditimbun dengan rerumputan di samping pohon nibung. Seragam sekolahnya
juga tergeletak di sana, di bawah rerumputan yang belum terlalu kering. Dan
malam ini adalah malam tiga hari kematiannya, orang-orang berkumpul di rumahnya.
Membaca Yasin untuknya. Mendoakan ketenangannya di alam sana.
Seketika Pak Usup memecah kusunyian.
“Itoklah takder. Kite daan tau dengan ape yang terjadi pade kite. Kematian kite
seperti ape, kite pun dak akan tau. Iye dah hukum Allah, ketentuan-Nye. Kite
hanye bise pasrah nerimak takder kite. Yang panting kite bise ambek pelajaran
dari kejadian itok. Masalah itok usah nak kite ingar-ingarkan gilak. Kasian
dengan keluargenye. Kasian dengan dek beradeknye. Dan kasian juak dengan
almarhum jike diingar-ingarkan tolen. Kalak daan tannang die di sinun,” masih
dengan nada tenang sambil sesekali menghisap rokok di tangannya dengan
hati-hati, sebab tembakaunya hampir habis dilalap bara api.
Orang-orang
masih terdiam. Beberapa yang lain mengangguk pelan. Pak Usup semakin dalam
menghisap rokoknya setelah mengatakan itu, lalu memasang kembali sebatang
setelah membuang yang sebelumnya ke asbak.
“Sukor
Pak Usup cappat naukannye, mun daan dah abis die dimakan binatang, dimakan ulat
ape nang andak,” lirih Ning Ida, ibu Dewi, sambil membawa nampan berisi
beberapa gelas kopi. Kerudung panjang berwarna hitam yang ia kenakan tak mampu
menyembunyikan bengkak dan merah matanya.
Ya,
untunglah Pak Usup cepat menemukan mayat Dewi tiga hari lalu, jika tidak,
mungkin mayat Dewi sudah menjadi tulang-belulang di sana., dimakan ulat atau
binatang-binatang liar. Sekali lagi, beruntung ada Pak Usup.
Aku tak lagi bersuara, tidak juga
mengangguk mendengar jawaban Pak Usup. Pikiranku entah ke mana. Aku sangat
bingung dengan takdir. Bagaimana bisa Tuhan memberi takdir yang begitu buruk
pada Dewi. Lalu, apakah yang memperkosa dan membunuhnya juga ditakdirkan untuk
memperkosa dan membunuh? Dan satu hal lagi, apakah Pak Usup juga ditakdirkan
untuk menemukan mayat Dewi? Ah, aku semakin bingung. Dan apakah aku yang
bingung dengan ini juga ditakdirkan untuk bingung? Entahlah.
Terlepas
dari kebingunganku terhadap takdir, pikiranku juga menggerayang pada kelakuan
Pak Usup beberapa hari lalu di jalan setapak yang sepi itu. Itu jalan
satu-satunya menuju sekolah kami. Jalan sepi serta becek sepanjang hampir dua
kilo itu setiap hari kami lewati untuk berangkat dan pulang sekolah. Jalan itu
juga digunakan untuk menuju kebun karet warga karena tidak ada jalan lain. Selama
tiga hari berturut-turut kami melihat Pak Usup di tepi jalan sana ketika pulang
sekolah. Lokasinya tak jauh dari mayat Dewi ditemukan. Pukul setengah lima sore
ia masih saja di sana. Bahkan, sehari kemudian, setelah pertama kali kami
melihat Pak Usup di sana, ia sudah selesai membangun satu dangau berdinding
papan.
Waktu
itu Dewi mengatakan bahwa di belakang dangau itu adalah kebun karet Pak Usup
setelah kutanyai apa maksudnya membuat dangau di tepi jalan. Mendengar jawaban
Dewi seperti itu aku langsung diam dan percaya. Mungkin dangau itu dibuat untuk
istirahat setelah menyadap karet, atau untuk berteduh jika hujan turun.
Baca Juga: Cinta Romantis Guru
***
Desas-desus
pelaku kematian Dewi semakin menggila di kampung. Belum tahu pasti siapa pelaku
kebiadaban itu, tapi sepertinya sudah ada nama yang mereka curigai. Orang-orang
saling berbisik agar tak semakin ramai, sebab belum ada bukti. Tidak tahu dari
mana sumber berita itu mereka dapatkan. Aku sendiripun tidak tahu siapa orang
yang mereka maksud.
Malam
ke tujuh kematian Dewi orang-orang kembali berkumpul, aku pun ikut berbaur di
sana. Setelah semua orang selesai membaca yasin, rupanya dilanjutkan dengan
rapat. Itu sudah orang sepakati bersama dua hari yang lalu kata Pak Ngah
setelah kutanyai.
“Rapatkan
ape, Pak Ngah?”
“Danggarkan
jak be,” perintah Pak Ngah tanpa menolehku karena kepala desa sudah bicara
membuka rapat. Berbasa-basi dengan kalimat-kalimat seperti kebanyakan
rapat-rapat lainnya. Formal sekali.
Dari
pembicaraan yang terkesan ditutup-tutupi itu aku mengetahui bahwa rapat
tersebut membahas kasus kematian Dewi. Kasus tersebut juga belum dilaporkan ke
polisi. Hanya penduduk kampung kami saja yang mengetahui Dewi mati dan
diperkosa serta mayatnya yang demikian menggenaskan. Orang kampung lain hanya
mengetahui bahwa ada seorang siswi mati saat pulang sekolah melewati hutan itu,
selebihnya mereka tak mengetahui apa-apa. Mungkin karena sebegitu manutnya
warga kami dengan Pak Usup, makanya cerita ini hanya tertumpuk di sini. Oh iya,
Pak Usup. Ke mana dia? Sudah empat hari ini aku tak melihatnya.
Sebenarnya
ingin kutanyakan keberadaan Pak Usup kepada Pak Ngah. Namun, kuurungkan niat
itu sebab Pak Ngah langsung bicara, menanggapi apa yang disampaikan kepala
desa.
“Battol
ye, Pong,” ucap Pak Ngah setuju dengan usulan kepala desa, sambil membuang abu
rokoknya. “Mun daan kite laporkan kalak nganyat. Takutkan anak kite, dek
beradek kite kalak yang jadi korban selanjutnye. Bise be diomongkan dengan
polisi usah nak ingarkan gilak kejadian itok. Itok bukan masalah kacik, Pong,”
sambung Pak Ngah dan ditanggapi dengan anggukan oleh orang-orang, tak terkeculi
kepala desa.
Sebulan
setelah kesepakatan malam itu, tak ada kabar lagi tentang perkembangan kasus
yang tersiar di kampung. Warga mulai bertanya-tanya apakah sudah diketahui
pelaku kebiadaban itu? Atau belum ditindaklanjuti? Atau belum dilaporkan sama
sekali oleh kepala desa, sebab dia yang menyanggupi untuk melaporkan kasus
tersebut ke Polsek di kecamatan. Pertanyaan-pertanyaan semakin berkeliaran dari
mulut ke mulut dan tak seorangpun dari warga mengetahui hal yang ditanya. Bahkan,
orang yang ditanya sudah beberapa kali menanyakan hal serupa kepada yang lain.
Namun jawabannya nihil. Tak ada yang tahu. Kasus itu bagai mayat Dewi yang
ditimbun dengan sengaja dan ditutup sedemikian rapat. Akupun memutuskan
bertanya kepada Pak Ngah.
“Ape
kabar, Pak Ngah kasus Dewi. Tang bunyi sanyap lalu dah beritenye?”
Sambil meletakkan jerigen racun rumput dan
tangki semprot bertuliskan Solo Indonesia dari punggung ringkihnya, “Pak Ngah
pun dan tau agek beritenye ye, Ris.”
“Sanyap
dibe inyan. Daan suah juak ditanyakkan agek dengan Pak Pong,” sambungnya
setelah menenggak air dari botol dan mengipas-ngipaskan topinya.
Pagi
ini, Aku dan Pak Ngah duduk di dangau tepi jalan. Minggu pagi ini kuhabiskan
untuk membantu ibuku menyadap karet. Sebab, pagi tadi bapak pergi ke pasar
membeli pipa paralon untuk mengganti pipa yang pecah di rumah kami.
Ibu
memutuskan pulang duluan ketika melihatku asyik ngobrol bersama Pak Ngah di
dangau buatan Pak Usup. Tidak disangka, dangau yang beberapa bulan lalu
membuatku bertanya-tanya kini jadi tempat istirahat warga ketika selesai
menyadap. Aku pun baru tahu bahwa di depan dangau seberang jalan dan parit
adalah kebun kami. Aku tidak tahu bahwa orangtuaku telah membeli sepetak kebun
karet milik Pak Ngah itu.
Entahlah,
mungkin karena aku terlalu nyaman duduk di dangau ini hingga membuatku kembali
teringat kepada Pak Usup. Dan tanpa direncanakan pertanyaan spontan keluar dari
mulutku.
“Pak
Usup ke mane, Ngah. Dah sebulan labeh sean di kampong?”
“Daan
tau juak Pak Ngah ye, Ris. Sean dibe abbar beritenye dah sebulan itok.”
Tiba-tiba
saja pikiran buruk kembali menggerayangi kepalaku. Ingatan dulu ketika Pak Usup
jadi bahan omonganku bersama Dewi tanpa permisi menerobos dan membangunkan
ingatan yang tertidur pulas itu.
“Ngah,”
ucapku ragu.
“Emmm,”
sambil menyulut rokok di bibirnya.
“Daan
ke Pak Ngah curige dengan Pak Usup?”
Pandangan
Pak Ngah langsung meghunjam ke wajahku setelah mendengar pertanyaan itu.
Sekejap ia terdiam. Asap rokoknya semakin mengepul, terbang di atas kepalanya
lalu lenyap entah ke mana. Setelah ia menghisap rokoknya, entah sudah yang
keberapa, pandangan itu mulai ia buang dari wajahku. Kali ini tatapan Pak Ngah
jauh, melewati lorong, parit dan barisan pohon karet yang bergoyang-goyang.
Mungkin juga tatapan Pak Ngah tersesat di antara rimbun karet itu sehingga ia
belum menjawab pertanyaanku.
Melihat
gelagat Pak Ngah yang tampak enggan menjawab pertanyaanku, segera kualihkan
topik pembicaraan.
“Dangar-dangar
Ning Ida udah setuju jual tanahnye, Ngah?”
Terlihat
Pak Ngah menarik napas dalam lalu menghembuskannya beserta asap rokok yang
cepat dilibas angin “Iyelah yang Pak Ngah pikerkan, Ris,” lirih Pak Ngah pelan.
Pak
Ngah membentangkan tangan lalu perlahan merebahkan tubuhnya “Uhhh, abislah kabon kite,” ucapnya sambil menguap.
“Ngape
dek, Ngah?”
“Soalnye
kabon Ning Ida yang paling luas tanahnye. Maok dak maok urang kampong pun
bejual kabon juak kalak akhernye. Termasok kite,” suara Pak Ngah sedikit jelas
kali ini, ia menolehku dengan senyum berat.
Mendengar
itu aku langsung teringat dengan Dewi. Dewi sering bercerita padaku tentang
tanah ibunya yang jadi incaran perusahaan sawit. Dan anehnya, kepala desa
sering datang ke rumahnya, bahkan terbilang sangat sering, membujuk ibunya agar
mau menjual tanah itu. Namun, Dewi sebagai anak tunggal Ning Ida selalu jadi
alasan mengapa tanah itu tidak akan dijual.
“Sebenarnye
dah karrap Pak Pong datang ke rumah Ning Ida, mujok Ning Ida supaye maok jual
tanahnye ke perusahaan iye. Dewi karrap cerite ke aku, Ngah. Katenye Pak Pong
rupe makse inyan. Dewi lah yang malar makse umaknye supaye daan jual tanahnye.”
“Pak
Pong? Inyan ke ape?”
“Inyan,
Ngah. Dewi sorang yang cerite ke aku.”
Setelah itu tak ada tanggapan lagi dari Pak
Ngah. Kami sama-sama terdiam. Aku tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran Pak
Ngah. Namun, dari raut wajah itu, aku tahu ia tengah menyimpan banyak tanda
tanya di kepalanya, sekaligus menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Akhirnya
kurebahkan juga tubuhku seperti Pak Ngah, menatap kosong langit-langit dangau
Pak Usup sambil bertanya-tanya “Siapa sebenarnya pembunuh dan pemerkosa itu?”
Sesekali terlintas juga di pikiranku “Apakah ini takdir?”
Baca Juga: Cerpen Maulana dan Puisi-Puisinya
Pontianak, 10 Maret 2020
Ilustrasi: wallhere.com
0 Komentar