
1#
Pontianak, 12 Januari 2019. Tidak
seperti minggu biasanya, hari ini aku menelantarkan diri di kafe yang tak jauh
dari tempat tinggalku di kota orang ini. Biasanya jam segini adalah jam ideal
tidurku. Aku sendiri juga bingung apa yang akan aku lakukan dipagi sebuta ini.
Aku memilih duduk di kursi pojokan,
membuka laptop tua yang sudah hampir lima tahunan kubeli, lebih tepatnya
dibelikan orang tuaku. Kepalaku pusing sejak tadi malam, jam tidurku terganggu
oleh kejujurannya. Bagaimana bisa? Apa maksudnya? Untuk apa dia melakukan ini
padaku? Dan banyak pertanyaan yang menggerayang di kepalaku. Aku memang sudah
membebaskannya memilih. Namun, aku tak menyangka ia akan memilih jalan yang
sebetulnya kami kutuk selama ini. Bahkan kalimat perjanjian itu masih tersusun
rapi sekali di kepalaku. Terbesit di pikiran untuk menulis apa-apa saja tentang
dia, namun belum tahu harus kumulai dari mana.
Panjaga
kafe tampak linglung melihatku sudah nyaman duduk di pojokan. Entah apa yang
dipikirkannya. Ia baru saja membuka pintu kafenya. Bahkan gelas-gelas kotor
bekas malam tadi masih berserakan di meja-meja. Ia memandangku dengan senyum
manisnya sambil membawa satu ember dan mengumpulkan gelas kotor. Mataku terasa
begitu pedas. Aku tidak dapat tidur tadi malam. Dipaksa pejam pun tak dapat
membuatku tertidur. Hal itu berulang kali aku lakukan tadi di rumah, namun
usahaku gagal. Otakku masih saja mempertanyakan keputusannya itu. Hingga aku
memilih keluar dari rumah dan menelantarkan diri di sini.
Aneh memang, sebab hal ini belum pernah
kulakukan seumur hidup. Ditambah kafe ini bukan kafe yang buka dua puluh empat
jam. Biasanya kafe ini buka pukul enam pagi sampai jam dua belas malam. Namun,
walaupun kafe tutup bukan berarti orang akan pulang. Kadang sudah pukul dua
pagi pun orang-orang masih nyaman di mejanya. Sebab kafe ini menyediakan meja
di luar, khusus untuk orang yang ingin berlama-lama. Aku pun sering pulang
hingga pukul dua pagi. Tak banyak yang kulakukan, hanya menikmati wifi gratis yang disediakan pemilik
kafe. Aku hanya berkutat dengan laptop di hadapanku, sama seperti yang orang
lain lakukan.
“Dari tadik malam, Bang?” pelayan yang
berambut sebahu itu seperti ingin memercandaiku. Tampak dari senyum manis yang
berusaha ia simpul di bibirnya. Aku tidak tahu pasti apakah ia ingin
memercandai atau menertawakan aku yang terbujur kaku di pojok kafe sepagi ini.
“Baru yak datang, Kak,” sedikit
melempar senyum ke arahnya.
“Udah bise pesan ke, Kak?”
ia tanggapi pertanyaanku dengan
mengangguk “Bise, Bang,” lalu dengan cepat megambil gelas kotor di meja
depanku.
“Kopi bubuk, Kak ye!”
“Iye, bentar ye, Bang,” pelayan kafe
itu membawa gelas-gelas yang sudah ia masukan dalam ember.
Baca Juga: Cerpen Cinta yang Hilang
Langit Pontianak sudah cukup terang
pukul enam kurang lima belas menit. Walaupun kota ini dijuluki kota Khatulistiwa
yang panasnya bukan main, namun udara sangat dingin jika pagi hari begini, itu
sebabnya jaket levis kumal ini enggan untuk aku lepaskan.
“Ni, Bang,” suara halus pelayan
membuyarkan lamunanku.
Secangkir kopi hitam tergeletak di atas
meja. Kulihat asap masih bergentayangan keluar dari gelas putih bercorak bunga
mawar hitam itu. “Makasih, Kak,”
ujarku mengiringi kepergian pelayan berambut sebahu itu dari hadapan, meninggalkan aroma segar dari tubuhnya.
Tanpa menunggu lama langsung kuaduk
kopi hitam dengan tenang. Aroma kopinya begitu menyengat segar dipagi dingin
ini, cukuplah sedikit menimbal kata busuk yang dia ucapkan malam hari tadi
dengan kejam. Kuseruput kopi, kunikmati aroma serta rasa yang membuat sekujur
tubuhku terasa hangat kembali setelah beberapa jam membeku oleh ucapannya.
Belum puas bibirku dan bibir gelas kopi bercinta, sebuah lagu Right Here Witing tiba-tiba mengalun
lembut di gendang telingaku. Aku mengingat kembali tentangnya. Lagu ini adalah
lagu yang membuat aku selalu berkhayal tentang dia. Aku selalu menempatkan diriku
di sana ketika mendengar lagu ini, menempatkan diriku di posisi menunggu. Aku
yang selalu menunggu tanpa tahu pasti apakah tungguku ini ada titik temu atau
hanya akan berakhir semu? Aku tidak tahu dengan persetan itu.
Sejauh yang aku tahu tentang lagu ini,
lagu ini adalah single kedua dari
album keduanya Richard Marx, Repeat
Offender. Kalau tidak keliru, album ini dirilis pada 29 Juni 1989. Tentu
saja aku belum lahir waktu itu, tapi informasi tentangnya bertebaran di dunia
maya. Lagu ini juga menjadi hits
global pada masanya dan bapakku di rumah sering memutar lagu ini, itu juga yang
mungkin menyebabkan aku menyukai lagu orang asing itu.
Entah apa motif pelayan itu memutar
lagu mellow dipagi hari begini, malah
membuat perasaanku semakin membeku saja. Mungkin dia tahu hatiku tidak sehat
saat ini? Atau dia juga memang menyukai lagu ini? Atau entahlah, apapun
alasannya tak ada urusan denganku tentang itu. Yang jelas saat ini aku hanya
ingin menenangkan diriku di kafe ini, itu saja. Tidak lebih, tidak juga kurang.
Setelah beberapa kali kopi dalam gelas
kuseruput, kurogoh kantong jaket mengeluarkan rokok juga korek berwarna biru
dan ponsel. Kusulut sebatang rokok untuk menikmati pagiku bersama kopi hitam
dan kegetiran. Kopi dan pagi belum sempurna dinikmati tanpa rokok. Semua
perokok pasti setuju dengan itu. Mungkin kalian yang membaca ini juga setuju?
Jika iya, kupastikan kalian juga orang-orang yang secara tak sadar telah
menjadi donatur tetap untuk bangsa ini, dengan cara ngerokok. Sebab, salah satu pajak terbesar di negeri ini ya...itu
rokok. Bayangkan jika di negara ini tidak ada lagi orang yang ngerokok, mungkin akan jadi negara
miskin yang mengemis-ngemis minta dikasihani. Ya, walaupun sekarang tak jauh
beda, pemerintah kita tetap saja ngutang di mana-mana, katanya saja negeri kita
kaya tapi utangnya Nauzubillah.
Jangan terlalu serius vroh.
Bicara soal rokok, aku ingat ia juga
pernah menasihatiku sambil marah dengan kata begini ‘Dengan direk sorang jak kau dak cinte bagaimane kau bise batol-batol
cinte dengan aku.’ Saat itu dia marah karena aku yang tak menuruti
perintahnya untuk berhenti mengonsumsi rokok. Aku tak menanggapi serius karena
ujung-ujungnya akulah orang yang akan kalah dalam perdebatan dengannya, lebih
tepatnya aku memilih mengalah. “Bukankah mencintai diri sendiri setiap orang
memiliki caranya sendiri, jika aku mencintai diriku dengan cara merokok, letak
salahku di mana, sayang?” Aku sempat ingin menjawab seperti itu dan jawaban itu
tentunya hanya semakin memperkeruh keadaan, dan kudiamkan saja ia tanpa berkata
apa-apa. Wanita memang keras kepala, karras
takkak.
Baca Juga: Cerpen Cinta yang Hilang
Lewat asap yang kuhembuskan aku
berharap semua tentangnya juga serta-merta hilang. Aku berharap asap itu
membawa ingatanku tentangnya terbang lenyap dicerai-beraikan desiran angin. Karena bagaimanapun
aku tidak seharusnya berlama-lama meratapi dia yang tak ingin bersama. Kalaupun
ia juga punya rasa yang sama tak mungkin ia memilih jalan yang dulu kami
sepakati mengutuknya.
“Aku kini udah melapaskan kau, aku daan maok memaksekan
atiku untok tatap purak-purak suke dengan kau macam dolok. Jujor, setelah aku
lulus SMA atiku udah berubah, semakin lamak rase cinte iye makin ilang. Aku
daan maok hanye kau jak yang cinte, sadangkan aku daan agek,” pesannya di ponselku sudah belasan kali
kubaca sejak malam tadi, bahkan mungkin sudah puluhan kali. Aku tidak habis
pikir dengannya, dengan hatinya, dengan kepura-puraannya. Sungguh banyak sekali
pertanyaan di kepalaku yang tak dapat kujawab sendiri. Kujelaskan pada kalian
yang tak paham dengan kalimat yang ia kirimi itu. Intinya, ia hanya mengatakan
berpura-pura saja mencintaiku. Kurang ajar, sial, bangsat, jahanam, djancuk, taek palat, asu,
wedus, moddar koe.
Sejak lulus SMA, berarti sudah hampir
dua tahun kepura-puraan itu diberikannya padaku. Padahal dia tahu aku tak sama
sekali berpura-pura menaruh rasa padanya. Padahal ia tahu bahwa aku sudah
mewakafkan hatiku padanya saja. Namun, ia mengembalikannya dengan cara yang tak
seharusnya, ia membalas dengan rasa yang tak kuingini. Entah apa yang
membuatnya tiba-tiba mengirimiku pesan singkat itu malam tadi. Sungguh aku tak
tahu-menahu alasan pastinya. Yang jelas dia hanya bilang selama ini hanya
berpura-pura saja menyukaiku, dan itu sudah bertahun-tahun, Kimek. Baca Juga: Cerpen Naga
***
Malam, 11 Januari 2019.
“Anjing,” emosiku lepas ketika membaca pesan singkat darinya. Ditambah
beberapa kali pesanku tidak sama sekali ia balas, membuat aku semakin panas.
Pekikan itu mengagetkan ketiga temanku
yang tengah asyik dengan urusannya masing-masing. Begitupun dengan orang-orang
di sekitaran meja kami. Semua terperanjat dan menoleh. Bastian yang dengan
tenangnya menonton film crows zero 3
di layar laptopnya begitu terkejut. Sebab ia duduk tepat di samping kiriku.
Sedangkan Gery dan Marsan atau yang biasa kami panggil Otong yang masih satu
meja denganku juga terperanjat hebat. Terlihat beberapa lelaki menatap tajam
kepadaku. Namun, hal itu tak sama sekali kuhiraukan. Perasaanku begitu
kacau-balau.
“Anjing,” seorang lelaki membalas kesal
namun tak menoleh ke arahku. Aku melihat orangnya. Berjarak enam meja dari meja
tempat kami. Dengan cepat tangan Otong menyambar ponsel di tanganku yang hendak
aku lempar ke arah lelaki itu.
“Ape, sial?” aku lepas kendali.
Teriakanku kembali membuat suasana tegang di kafe. Mata-mata semakin mengarah
padaku. Bastian, Gery dan Marsan (Otong) dengan sigap berdiri menenangkan.
Lelaki berambut gondrong yang kuteriaki tak membalas. Mungkin dia tahu bahwa ia
kalah jumlah dengan kami. Ia hanya berdua dengan temannya yang juga berambut
gondrong.
Baca Juga: Cerpen Maulana dan Puisinya
Beberapa menit berlalu. Aku mulai duduk
tenang walaupun perasaanku masih begitu liar untuk kukendalikan. Aku hanya
diam, temanku pun sepertinya masih enggan untuk menanyakan apa sebenarnya yang
terjadi.
Otong beranjak dari kursinya
menghampiri lelaki yang tadi kuteriaki. Di meja lelaki itu, baru saja datang
tiga perempuan. Satu berhijab sedangkan yang dua rambutnya terurai bebas.
Kulihat Otong bersalaman dengan lelaki berambut gondrong dan ketiga wanita itu
bergantian. Senyum Otong begitu lebar seperti senyum-senyum biasanya ketika ia
mendekati wanita. Aku hanya memerhatikan Otong dari tempat dudukku. Aku
penasaran apa yang akan dilakukan Otong kepada lelaki itu. Walaupun aku tahu
maksud Otong hanya untuk mendekati wanita-wanita di sana. Hal seperti itu sudah
sangat sering dilakukan Otong. Sebenarnya, aku juga salut dengan mental yang
dimilikinya. Ia begitu berani, tak terlihat malu sama sekali jika urusan
berkenalan dengan wanita. Aku melihat kedua lelaki rambut gondrong itu juga
ikut tertawa bersama Otong dan ketiga wanita temannya. Otong memang selalu bisa
mencairkan suasana. Sebenarnya, aku juga menyesal dengan apa yang kulakukan
tadi. Namun, aku pun tidak tahu kenapa aku begitu lepas kendali. Jujur, aku
tidak bisa melakukan hal yang dilakukan oleh Otong. Aku tahu dia meminta maaf
dengan kedua lelaki di sana walaupun ada maksud lain di balik maafnya, ada
tujuan lain tersimpan di kepalanya.
Otong beranjak dari tempat duduk.
Terlihat ia kembali bersalaman dengan kelima orang itu dengan tawa sumringah di
wajahnya. “Ni,” ujarnya memberikan ponsel kepadaku yang tadi dengan cepat ia
rampas. “Maseh banyak perempuan di dunie ni, untok ape kau tanam perasaanmu di
satu tempat yang belom tentu subor tumbohnye,” sambung Otong lalu duduk di
depanku, di seberang meja. Ia seruput kopi di dalam gelas. “Udah ade kontak
ketige perempuan tu di hp-mu. Yang berambut pendek tu, namenye Wewen, yang
berambut ikal tu, Vani,” ia kembali menyeruput kopinya “Dan yang paling cantek,
yang memakai hijab dan bekacemate tu, namenye Delia, die anak ekonomi semester
tige,” mengarahkan wajahnya ke arah wanita itu.
Sial, ternyata diam-diam Otong telah
membaca pesan yang membuatku emosi tadi. “Makenye jangan terlalu serius, yang
seriuspun kadang patah di tengah-tengah,” sahut Gery menertawakanku yang juga
membuat Bastian dan Otong tertawa pelan. Entah dari mana kalimat itu ia
dapatkan. Padahal ia sendiri belum pernah pacaran seumur hidupnya. Hal itu aku
ketahui dari Otong yang sejak Sekolah Dasar sampai sekarang selalu bersama
Gery. Gery memang belum pernah pacaran, tapi jika urusan menasihati, seolah ia
yang paling tahu tentang percintaan.
Otong melambai ke arah lima orang yang
hendak keluar dari kafe. Kulihat senyum manis dari wanita yang berjilbab itu ke
arah meja kami sambil berjalan keluar kafe. Cantik memang. Dengan refleks aku
juga membalas senyum darinya. Salah satu pria berambut gondrong menghampiri
meja kami. Dia orang tadi yang aku teriaki. Senyumnya merekah. “Sory, Bro,” ujarnya sambil membentangkan
tangannya ke arahku. Senyumku juga tidak bisa kutahan. Seharusnya aku yang
meminta maaf kepadanya. Namun, hal itu belum sanggup kulakukan. Mungkin aku
harus lebih banyak belajar lagi tentang mengakui kesalahan dan dengan besar
hati meminta maaf. Aku juga bisa belajar hal itu dari sahabatku sendiri, Otong.
“Aku yang seharusnye minta maaf, Bro,”
aku menepuk bahunya. “Rafi,” mengulurkan kembali tangannya “Adib Fahim,”
balasku sambil menjabat tangannya.
“Fi, cepat,” suara halus wanita
berjilbab membuatku mengalihkan
perhatian dari Rafi. Rafi keluar kafe setelah menyalami Bastian, Gery dan
Otong. Wanita berjilbab itu kembali tersenyum ke arah kami. Sungguh manis sekali
senyum itu. Otong melambaikan tangan ke arahnya dan dengan cepat ia juga
membalas lambaian Otong lalu hilang dari pandangan kami. Sebenarnya aku ingin
berlama-lama memandanginya. Wanita itu membuatku lupa sejenak dengan kalimat
singkat yang membuatku lepas kontrol tadi.
Patah hati memang sering membuat
beberapa orang kehilangan kendali diri, hilang ketenangan hati, hilang pikiran
normal sehingga banyak yang rela menghabisi diri sendiri dan memperlakukan
bodoh diri sendiri. Seperti yang terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini.
Ada beberapa yang mati gantung diri diduga karena asmara. Beberapa nyawa itu
hilang sia-sia hanya karena asmara buta yang tak mampu dikendalikan pemiliknya
dengan logika. Seperti yang kubaca di internet bersumber dari Pontianak post
yang mengabarkan seorang lelaki gantung diri karena putus cinta. Polisi
menduga, aksi nekad korban tersebut dilatarbelakangi masalah asmara. Polisi yang telah mengumpulkan sejumlah barang bukti
termasuk meminta keterangan dari beberapa saksi, termasuk mantan pacar korban,
menduga jika peristiwa itu murni tindakan bunuh diri karena hubungan asmara dan
bukan tindakan pembunuhan. Dan banyak lagi kasus bunuh diri yang
dilatarbelakangi oleh asmara.
Hal demikian juga
terjadi padaku, hanya karena asmara, karena cinta, aku tidak mampu
mengendalikan diri sepenuhnya. Untung saja Rafi tidak menanggapi kembali
perlakuanku padanya tadi, dan untung juga teman-temanku dengan cepat berhasil
menenagkanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka. Aku
tidak tahu apa yang akan terjadi jika Rafi menaggapi ucapanku. Mungkin akan
terjadi kekacauan hebat di kafe ini.
Aku kembali membaca
pesan itu di ponselku. Hatiku kembali panas, pikiranku kembali kacau. Aku masih
mempertanyakan maksud dari pesannya itu, aku masih mempertanyakan alasan dia
mengakhiri semuanya. Aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Bagaimanapun dia
adalah orang yang selama enam tahun ini menemaniku. Dia adalah orang yang
kuanggap kekasih selama enam tahun ini. Aku tidak mungkin untuk tidak
memikirkannya. “Balik ke, Ger?” ucap Otong karena terlihat Gery yang mulai
mengemasi laptop dan chargernya.
“Ayoklah, balik. Udah
maok jam dua’, nih,” balas Gery sambil memasukan laptopnya ke dalam tas.
“Ayoklah,” tambah
Bastian juga mulai mengemasi laptopnya. Otong juga ikut mengemasi barang
bawaannya, mencabut charger ponselnya
yang masih tercolok di kontak di atas meja. “Yok, Dib,” Ajak Otong. Aku turut
memasukan laptop ke dalam tas, memasukan rokok dan korek ke dalam kantong
jaket.
“Kau balik ke rumahmu,
Bas?” Otong menyulut sebatang rokok.
“Iye, besok aku kerje,
Tong.”
“Abangmu masih ngantar
barang?” sambung Gery.
Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
“Tidok di kontrakan
kamek yak, Bas, besok pagi barok balik, udah maok jam 2 ni,” aku menawarkan.
“Iye, masih Ger. Kapan-kapan yak, Dib, maok bangun pagi, takut dak bangun kalo’
tidok di tempat kalian,” balas Bastian juga sambil menyulut sebatang rokok
setelah selesai mengemasi barangnya.
“Oh, iyelah,” aku
memahami. Memang benar jika hari minggu tak ada yang bangun sebelum pukul 8 di
kontrakanku. Pagi-pagi adalah jam ideal kami tidur jika tidak ada jam
perkuliahan. Aku, Gery dan Otong satu tahun ini memang memutuskan untuk
mengontrak rumah bersama di daerah Pontianak selatan tak jauh dari kampus kami.
Kami kuliah di kampus yang sama. Aku dan Gery satu kelas, sedangkan Otong beda
kelas dengan kami. Bastian juga satu kelas denganku.
“Ayoklah, balik,” Gery mulai berdiri
dari bangkunya.
Aku, Bastian dan Otong mengamini. Kami
sepakat untuk meninggalkan kafe lebih awal malam ini. Padahal jika aku, Otong
dan Bastian selalu pulang hampir pukul 3 dini hari. Gery memang tidak suka
terlalu lama. Ia tidak suka nongkrong hingga dini hari.
Kami berpisah di persimpangan jalan
dengan Bastian. Lambaian tangan kananku mengiringi kepergian Bastian, Otong
membunyikan klakson motornya yang juga dibalas oleh Bastian. Sesampainya di
kontrakan, Gery langsung merebahkan tubuhnya di kamar. Begitupun dengan Otong,
ia tampak begitu lelah. Namun, aku tidak sama sekali mengantuk. Aku masih
memikirkan pesan singkat dari kekasihku. Sudah 5 sampai 6 kali pesan itu kubaca
sejak dari kafe tadi. Akupun sempat memaksa mataku untuk terlelap dan melupakan
semuanya. Namun, itu tak serta-merta buatku lupa begitu saja. Otakku selalu
dengan tega menginggatkannya lagi dan lagi. Sudah 3 jam mataku tak juga
terpejam. Kukenakan lagi jaket levis yang tadi, menenteng tas berisi laptop dan
kembali keluar rumah tanpa sepengetahuan Gery dan Otong.
***
“Kita
harusnya baik-baik saja, bukan malah mengakhiri segalanya. Namun sudahlah, aku
juga tak mau lagi berurusan dengan kepura-puraanmu”
0 Komentar