Cerpen Cinta Romantis Remaja



Maulana dan Puisi-Puisinya

Sebenarnya, Maulana tahu betul bahwa kasih sayangnya tidak akan habis. Tidak akan punah, bahkan tidak akan berubah bentuk jika ia abadikan dalam larik dan bait puisi. Ia tahu betul di sanalah keabadiaan cinta sesungguhnya. Sebagai seorang penulis puisi yang dikenal piawai, Maulana lebih memilih menuliskannya untuk wanita-wanita lain. Bahkan tak jarang teman-teman tongkrongan meminta ia menulis puisi untuk ditujukan pada kekasih mereka. Maulana tak keberatan jika hanya diberi beberapa batang rokok untuk puisi buatannya diatasnamai orang lain, bahkan jadi hak milik orang lain. Maulana sama sekali tidak mau menuliskan itu untuk kekasihnya sendiri. Pernah suatu kali kekasihnya memaksa Maulana menulis puisi untuknya, tetapi permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Maulana.
            “Jijahku sayang, kau tidak akan bisa hidup dari kata-kata. Kau tidak bisa memakan kata-kata. Kau tidak bisa menabung kata-kata di bank,” tolak Maulana pelan sekali, seolah kesunyian malam di taman itu tak ingin pecah oleh suara Maulana. “Di zaman sekarang, hanya wanita tolol yang masih mau dibohongi dengan kata-kata,” sindir Maulana telak, membuat cahaya temaram lampu taman seakan makin redup.
        Ajijah terhenyak, lidahnya kaku. Ingatannya menerawang, memastikan. Iya, benar, kalimat itu pernah ia sampaikan dulu pada Maulana saat mereka menghadiri acara pernikahan teman baiknya. Saat itu Maulana girang sekali menceritakan puisinya terpilih sebagai puisi terbaik pada seyembara puisi nasional. Saat itu juga Ajijah menumpahkan apa yang terpendam di benaknya sejak lama. Memang benar, tahun-tahun itu adalah tahun yang paling mengesalkan bagi Ajijah. Semua sahabatnya telah menikah dengan lelaki terbaik menurutnya, ada polisi, tentara, perawat bahkan anggota DPRD di daerahnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Ajijah iri dengan itu. Sahabatnya kini sudah terjamin masa depan, sementara dirinya hanya berpacaran dengan seorang mahasiswa semester tua yang tak kunjung selesai. Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
          Pernah beberapa kali Ajijah ingin menyudahi hubungan mereka yang sudah terjalin sejak SMA. Namun, hal itu tak kunjung berhasil. Bagaimanapun, berat buat Ajijah melerai ikatan yang hampir sembilan tahunan bersama Maulana. Ajijah sudah terbiasa dengan keberadaan Maulana di hidupnya, tentu sangat berat memisahkan hubungan kasih yang sudah berjalan selama itu. Mungkin saja benar apa yang dikatakan orang-orang tentang keterbiasaan. Itulah yang dialami oleh Ajijah, ia sudah terbiasa dengan keberadaan Maulana, kendati rasa cintanya tak lagi ada. Ia tidak terbiasa jika harus tanpa Maulana. Bukan hanya cinta yang menjadi pemersatu jalinan kasih, ternyata keterbiasaan juga sangat berperan besar. Itulah yang dialami oleh Ajijah dan Maulana.
         “Baik, tulis saja puisimu itu untuk wanita-wanita lain,” Jijah beranjak dari duduknya. Wajahnya merah nyala meninggalkan Maulana di kursi taman.
Hal yang tidak pernah ia beritahu pada Maulana adalah bahwa diam-diam ia sangat cemburu saat kekasihnya menulis puisi untuk wanita lain. Apalagi ketika melihat wanita-wanita itu seakan luluh oleh puisi Maulana. Suasana yang paling tidak mengenakkan bagi Ajijah ialah ketika mereka reunian di salah satu kafe. Semua teman SMAnya datang, termasuk sahabat-sahabatnya yang sudah menikah. Entah apa yang terjadi waktu itu, tiba-tiba pembicaraan terfokus ke Maulana yang dikenal mahir menulis puisi.
Saat salah satu permintaan puisi dari teman wanita dipenuhi Maulana, ia dipaksa untuk membacakannya langsung di panggung kafe. Dengan desakan dari teman-temannya, Maulana terpaksa menurut. Mendadak semua terdiam saat larik pertama dibacanya, hanya alunan piano yang dimainkan seseorang dengan sendu untuk mengiringi penampilan Maulana. Saat itu hati Jijah remuk redam, dadanya terbakar hebat. Hampir satu minggu setelah kejadian itu Jijah tidak pernah menghubungi Maulana. Maulana sangat hafal dengan gelagat kekasihnya jika marah, ia akan diam dan tidak ada kabar selama berhari-hari, hal itu sudah sering terjadi.
Ajijah membenamkan wajahnya di ranjang, tangannya meremas-remas guling. Rasa sesak di dadanya meradang hebat. Tanpa ia sadari airmatanya telah membasahi wajah. Bagaimana mungkin kekasihku sendiri tidak sudi menulis puisi untukku, lirih batin Jijah setelah permintaannya ditolak dengan kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan sendiri. Jijah ingat kalimat itu, sangat ingat.
          Baca Juga: Apakah Ini Takdir
         Maulana masih duduk tenang menikmati rokok dan memandangi barisan temaram lampu taman. Sudah sejak lama Maulana terpukul dengan kalimat yang baru saja ia lontarkan, namun hanya dipendamnya di dalam hati. Menurutnya sangat keterlaluan kalimat seperti itu diucapkan, apalagi saat hatinya tengah bahagia mendengar kabar bahwa puisinya terpilih pada ajang sayembara nasional.
Pasti Ajijah akan sangat bahagia mendengar kabar ini, pikir Maulana ketika itu. Dengan gembiranya ia sampaikan kabar baik pada kekasihnya. Namun, respon yang diberikan Jijah sangat memukul, menghunjam, bahkan membuat hati Maulana terasa membeku. Maulana tak tahu harus membalas seperti apa. Ia mematung di keramaian, seolah tak percaya pada ucapan kekasihnya. Sementara Jijah cepat-cepat meninggalkannya sendirian.
“Ahhh,” Maulana menggeleng dan membuang ingatan itu dari kepalanya.
Ia sulut kembali rokoknya yang padam lalu mengeluarkan buku catatan miliknya dari dalam tas. Dalam keheningan malam di taman, ia membaca beberapa puisinya sendiri. Entah sudah berapa puisi ia baca hingga akhirnya tepat di lembar puisi yang menjadi pemenang sayembara itu, ia berhenti. Lama ia tertegun dan menatap barisan tinta di muka kertas hingga akhirnya ingatan itu kembali menjalar di kepalanya. Sejenak ia berpikir tentang kalimat Ajijah, kalimat yang baru saja ia kembalikan pada pemiliknya.
“Kau memang benar. Sekalipun barisan kata ini menjadi pemenangnya, takkan mampu memberikan arti apa-apa buatmu. Bahkan sedikitpun tak ada manfaatnya buat kehidupanmu,” Maulana menutup bukunya.
  Lama ia merenung, matanya memandang jauh namun kosong. Kepalanya berpikir keras tentang banyak hal, tentang apa yang ia lakukan selama ini, tentang Ajijah kekasihnya, tentang masa depannya, hingga tentang apa saja berseliweran di kepalanya. Saat itulah terjadi perdebatan hebat antara hati dan pikirannya. Namun kesimpulan dalam perdebatan itu tetap dimenangkan hatinya, ia akan tetap menulis puisi, membaca puisi, apapun yang terjadi. Puisi adalah kehidupan yang sebenarnya, di sana ia selalu menemukan kejujuran yang sulit ia temukan di kehidupan nyata. Di sana ia temukan ketulusan cinta seorang kekasih, pedihnya derita orang-orang miskin, hingga kejamnya para penguasa diceritakan apa adanya. Tanpa rekayasa. Tanpa kebohongan. Di sanalah hidup yang paling didambakan oleh Maulana, ia tak sanggup melepaskan itu demi kehidupan yang serba berpura-pura ini. Serba dibuat-buat. Sama halnya dengan perasaannya pada Ajijah kini, semata hanya berpura-pura mencintainya. Ia sadar betul rasa cinta itu tak pernah lagi ia rasakan sejak beberapa tahun terakhir. Tapi, entahlah, sungguh ia tak bisa menjelaskan mengapa sangat sulit baginya untuk melepaskan Ajijah.
Sayang, kutulis surat ini untukmu. Bukan syair yang mendayu-dayu. Bukan juga puisi cinta yang membuat hatimu terpana, atau bisa saja layu karenannya. Ini hanya kalimat sederhana yang membuatku bertanya-tanya. Semoga saja kau juga merasakannya. Atau jika hanya aku saja, berarti aku sudah sangat berdosa padamu. Sebab, aku tak punya keberanian berterus terang padamu tentang apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. 
Kutulis surat ini untukmu sayang, agar kau tahu bahwa aku tak ingin mengotori dunia sana dengan kepura-puraan. Biarlah di dunia ini saja kuhamburkan kebohongan. Semoga saja kau paham mengapa selama ini aku selalu menolak menuliskannya untukmu. Sungguh aku tak punya alasan kuat, aku tak punya keberanian untuk berterus terang tentang hati. Aku tak ingin melihatmu menangis dengan apa yang nantinya tertulis di sana, sebab di sanalah akan kau ketahui yang sebenarnya.
Malam ini sayang, lewat surat sederhana ini, aku harap kau pun mau berterus terang tentang hati dan perasaanmu padaku. Bukan aku sangsi terhadapmu, namun bagaimanapun kerasnya bicaramu mengatakan cinta, semua akan terbongkar pula pada akhirnya. Aku tahu, atau maaf jika aku salah. Aku tahu rasa cinta itu tak kau temukan lagi untukku. Aku tahu kau mencoba kuat mencari-cari rasa yang entah ke mana hilangnya, sekian lama tak jua kau temukan. Kau pun tak tahu di mana. Tak kau temui jawabannya. Tak berani kau tanyakan apakah aku merasakan hal yang sama atau hanya kau saja. Itulah yang kulakukan saat ini sayang, memberanikan diri berterus terang padamu tentang apa yang tengah bergemuruh di dada. Mungkin kau sudah merasakan itu jauh sebelum aku mulai mendapati hal yang sama.
Sayang, aku membiarkanmu bingung dengan sikapku akhir-akhir ini. Mungkin kau bertanya-tanya mengapa aku demikian padamu. Tak jarang juga kau berpikiran untuk kita berhenti dan memilih jalan sendiri, aku tahu sayang, aku sangat tahu. Hal itu seringkali hinggap di kepalamu. Atau bahkan malam ini kau pun tengah memikirkannya. Tak ada yang salah dengan itu. Kau bebas memilih jalan yang hendak kau ambil, kau bebas memilih pria sukses di luar sana seperti yang teman-temanmu dapatkan; hidup bahagia, dan tentu tak kekurangan apa-apa, masa depanmu jelas. 
Jijah sayang, jika suatu saat pria yang kau idamkan pangkatnya tiba-tiba menemuimu dan berniat baik mempersuntingmu, tolong bagi kebahagian itu padaku barang sedikit. Barangkali dapat kutulis sebait puisi buatmu pada saat itu. Saat itulah puisi pertama dan terakhir untukmu, sayang. Namun, jika kau menolak dan tetap ingin bersamaku, tetap tegar memperbaiki apa yang telah rusak, menemukan lagi apa yang telah hilang bersama-sama, sungguh setiap puisi yang tergores dari tanganku hanya untukmu semata, sampai tua, sampai kau lelah dan matamu telah rabun menerka kata demi kata. Tapi, tolong jangan kau paksa aku menuliskannya seperti kehendakmu. Mungkin beberapa akan membuatmu terbakar dan hancur. Mungkin juga membuatmu terbang melambung hingga lupa tentang luka. 
Aku tahu itu tawaran payah yang tak sama sekali menggiurkan untukmu. Bahkan dalam keadaan seperti ini akan sangat sulit buatmu untuk mempertahankan. Mungkin juga buatku jika hal serupa terjadi. Jijah sayang, bagaimanapun kau tak bisa memakan kata-kata, kau tak bisa menabung kata-kata di bank, dan kau sangat tolol jika mau dibohongi dengan kata-kata. Iya aku paham itu. Satu hal yang perlu kuberitahu padamu sayang, puisi adalah kejujuran, ketulusan, ia adalah jiwa. Rasa yang dititipkan pada wajah kertas dan tinta ditabuhi dengan segenap rasa kesungguhan. Ia adalah sebenar-benarnya kehidupan. Sebenar-benarnya kejujuran. Sebenar-benarnya ketulusan. 
Lewat surat singkat ini sayang, kubebaskan semua pilihan itu padamu. Merelakan yang hilang atau mencari dan kembali berjuang? 
Dari kekasihmu   

Tidak terasa malam semakin pekat dan kertas putih bersih telah penuh di tangan Maulana. Ia pisahkan surat yang baru saja ia tulis dari tumpukan puisi di bukunya. Maulana beranjak dari taman dengan langkah pelan sambil menyulut sebatang rokok. Tengah malam itu Maulana berjalan tenang di lorong menuju rumahnya. Untunglah taman itu tak jauh hingga tak masalah buat Maulana berjalan kaki. Di bawah lampu jalan ia lihat seorang tertatih tengah menarik gerobak, mengumpulkan botol bekas dan sampah lainnya. Maulana mendekat dan memasukkan beberapa botol ke dalam gerobak itu.
“Makasih, Mas,” katanya mengangguk pada Maulana.
Sorot mata orangtua itu menyala, walaupun hitam bola matanya tampak kelabu. Ada semangat terpancar di sana. Tampak sekali ada harapan besar berbinar terang, menyala-nyala.
Maulana hanya senyum dan tetap mengumpulkan botol bekas di sekitaran mereka. 
Tak lama keduanya duduk di trotor jalan. Maulana menerima botol minuman yang ditawarkan kepadanya. Tidak disangka, Maulana larut dalam perbincangan. Sampai di suatu cerita yang membuat Maulana harus berpikir keras. Pikirannya tertuju pada anak-anak yang sering ia temui di pinggir jalan, di warung-warung kopi setiap hari. Iya, setiap hari. Bahkan tak jarang Maulana melihat anak-anak itu hingga larut malam. Cerita yang baru saja didengar membuat Maulana heran. Penasaran. Bahkan pertanyaan-pertanyaan perlahan berdesakan masuk ke dalam kepalanya.
“Gampang, Mas, cari duit di sini. Tetangga bapak sekarang sudah punya rumah besar di sana. Sudah punya mobil. Sekarang dia jadi orang paling kaya di kampung, bahkan sekarang anaknya sudah kuliah di luar negeri,” pengakuan orangtua itu semakin membuat Maulana terperangah.
“Bapak udah lama di sini?”
“Bapak baru sebulanan ini, Mas. Kebetulan tetangga bapak itu, kemaren pulang kampung. Bapak diajaknya untuk berangkat ke sini. Ngadu nasib juga, Mas. Siapa tahu bisa seperti dia,” orangtua itu tersenyum lebar.
“Sebelumnya bapak tidak kerja?”
“Ya kerja, Mas. Jadi perangkat desa gajinya kecil. Ndak cukup buat keperluan sehari-hari, Mas,”
Maulana terdiam mengetahui berita itu. Berita yang sama sekali tidak pernah terlintas di kepalanya. Selama ini yang ia tahu bahwa orang-orang mengadu nasib hanya ke kota-kota besar seperti Jakarta dan kota metropolitan lainnya, akan tetapi penjelasan dari orangtua itu mendobrak pemikiran Maulana. Rupanya ladang uang untuk mengadu nasib paling baik adalah di kota yang tak terkesan besar, yang mana orang-orang masih merasa asing dan penuh kasihan terhadap pengemis, pengamen, pemulung dan lainnya. Di tempat itulah ladang uang siap panen setiap hari, setiap malam, setiap ada kesempatan. Dari penjelasan orangtua itu pula Maulana tahu bahwa banyak anak-anak dibawa ke kota ini untuk mengemis, sebab di kota besar pulau Jawa tak banyak menghasilkan uang, dan juga di sana sudah terlalu banyak saingan mengemis atau mengamen. 
"Orang-orangnya tak punya duit dan pelit-pelit di sana, Mas. Kalau di sini, belum sempat mengepal uang sudah ada lagi yang ngasih. Dua ribuan lagi," orangtua itu terkekeh lalu minta pamit.
Maulana masih duduk termenung sesaat setelah orangtua itu berlalu. Ternyata masih banyak hal yang lebih pelik dari hubungannya dengan Ajijah. Pengakuan itu, membuat hati Maulana meradang hebat. Ia merasa telah dibohongi habis-habisan. Bukan hanya itu, ia merasa ratusan puisi yang ia tulis untuk orang seperti orangtua itu dan tetangganya adalah sampah belaka, tidak ada gunanya. Apa yang terjadi pada dan tetangganya berbanding terbalik dengan puisi-puisi yang ia tulis, yang ia baca. Mereka tidak miskin, mereka bukan orang tidak mampu, mereka bukan hanya mencari makan tetapi mencari kekayaan. Aku sudah dibodohi habis-habisan. Habis-habisan! Dibodohi habis-habisan. Pikiran itu selalu menggerayang di kepala Maulana.
Maulana tersadar akan surat yang ia tulis untuk Ajijah, ia malu pada dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang Maulana membakar surat itu. Apa yang ia yakini bertahun-tahun tak lebih buruk dari kotoran di kloset, sekali siram langsung lenyap, tak ada arti apa-apa. Untuk pertama kalinya Maulana menulis puisi untuk kekasihnya. Dan, untuk pertama kalinya pula, secara sadar ia menulis kebohongan-kebohongan pada tiap larik dan bait-bait puisi. Maulana sadar dengan puisi yang ia tulis kali ini akan sangat membahagiakan kekasihnya. Tentu, ia sangat yakin itu. Puisi buat Ajijah adalah puisi terakhir yang akan ia tulis, setelah itu ia tak akan menulis lagi, sampai nanti. Sampai ia mati.
Dunia memang benar-benar gila, untuk hidup bahagia semuanya mesti dibumbui kepura-puraan dan kebohongan!
                                                                       
Pontianak, 24 Januari 2020
Di Pojok Kafe      
Foto: www.tribunnews.com

Posting Komentar

0 Komentar