Ngebacot



Dua puluh delapan Oktober dua ribu sembilan belas. Pagi-pagi sekali aku sudah berada di warung tepi jalan, tepatnya di warung kaki lima. Udara masih begitu dingin, menusuk tulang, membuatku serasa menggigil. Tentu saja ibu pemilik warung heran akan keberadaanku yang pagi-pagi sekali memesan kopi padanya. Warung itu sebenarnya menjual bahan sembako, namun ia juga menyanggupi jika orang ingin memesan kopi, mie goreng dan makanan lainnya yang ia rasa dapat disediakan.

Keberadaanku di warung pagi-pagi buta bukan tanpa alasan. Salah satu sebabnya ialah karena temanku belum bangun sepagi ini. Tentunya pintu rumahnya masih terkunci dan dia pasti masih lelap dengan tidurnya. Sebab lain ialah, karena aku tidak memiliki kontrakan sendiri di kota ini. Ya, aku tidak memiliki tempat tinggal. Cukup aneh memang sebagai seorang mahasiswa yang jauh dari kampung halaman tidak memiliki tempat tinggal yang tetap di kota orang. Mungkin aku tak sendiri mengalami hal semacam ini, mungkin beberapa mahasiswa juga sama sepertiku, tidak memiliki tempat tinggal tetap dan tidur sana-sini. Baca Juga: Cerpen Cinta yang Hilang

Susah sekali memang jika tak memiliki rumah tetap, harus tebal muka dan pintar-pintar menumpang di tempat tinggal teman. Saking tak tetapnya tinggal, aku bahkan telah lupa dengan beberapa baju juga celanaku yang hilang entah ke mana. Bahkan empat sampai lima celana dalamku lenyap tak tahu rimbanya, sebab, kadang aku harus tahu diri agar teman tak merasa risih dengan keberadaanku di tempatnya. Tiap dua atau tiga malam menetap di tempat si A aku harus berinisiatif pindah dan menumpang di tempat si B dan begitulah seterusnya hingga pakaian tercecer di mana-mana.

Baiklah, agar tak terkesan curhat, mungkin harus kupotong saja bagian ini, sebab hal yang ingin kusampaikan pada tulisan ini bukanlah masalah hidupku yang berpindah dan tak memiliki tempat tinggal sendiri. Hal yang ingin kusampaikan sebenarnya ialah tentang hari baik temanku yang telah menyelesaikan studinya dan kebetulan pagi ini mereka yudicium, sederhananya latihan untuk menggelar wisuda dua hari mendatang juga pengumuman nilai dan waktu tempuh perkuliahan/penetapan kelulusan. Mereka, teman-teman seangkatanku telah selesai dengan studi S1 nya, sedang aku belum apa-apa, tak tahu kapan aku mengikuti jejak mereka. Teman-teman seangkatanku cukup baik dan lancar di bidang akademiknya, bahkan kebanyakan dari mereka menyandang gelar Cumlaude dengan nilai luar biasa memuaskan juga waktu tempuh begitu singkat.

Snap atau story di media sosialku  tak lain, semuanya menampilkan cerita sama. Cerita atau foto mereka berjas dan berbaju rapi dengan senyum sumringah. Jujur ada rasa senang juga getir di dadaku. Bagaimana tidak, melihat tawa bahagia mereka tanpa sadar aku telah meratapi kekalahanku. Mereka memang orang-orang cerdas dan tangkas, mereka selesai dalam waktu sebentar dan dengan nilai luar biasa. Aku harus akui mereka memang lebih baik dariku, lebih giat, lebih cerdas lebih disiplin dan lebih-lebih lainnya. Tak ada salahnya kuucapkan selamat pada tulisan ini untuk mereka.

Namun tidak lama kegetiran itu bersemayam di dadaku, hanya dua sampai lima menit saja pikiranku telah teralih ke hal lain, berpindah kepada prinsip yang kupegang sendiri. Entah baik atau buruk bagi orang, yang jelas menurutku prinsip ini adalah hal mendasar dalam menempuh pendidikan, yaitu; esensi, substansi dan kebermanfaatan. Kalau kita mau jujur, sungguh minim sekali ilmu yang didapat di bangku kuliah, terutama aku yang merasa tak dapat apa-apa sejauh ini. Ilmu-ilmu yang diajarkan di kampus rasanya tak menyentuh pada realitas kehidupan sosial masyarakat yang cenderung butuh perhatian dari kaum terpelajar. Pada waktu-waktu tenang aku sering bertanya pada diri sendiri terkait tujuan kuliahku. Tanpa kuperintah pertanyaan yang sering muncul kerap kali mengusik hati nurani. Untuk apa aku kuliah? Apakah sebatas mendapat gelar dan ijazah untuk melamar pekerjaan? Apakah hanya sebatas ikut-ikutan? Apakah hanya untuk dinilai baik di masyarakat sebagai kaum terpelajar? Ah, masih banyak lagi pertanyaan yang mengusik jiwa. Karena dewasa ini pendidikan hanya sebatas gelar di atas kertas, sarjana-sarjana muda nyatanya cuma mencari stempel sebagai kaum terdidik, padahal orang yang berpendidikan belum tentu memiliki ilmu pengetahuan. Tentu tidak semua, banyak sekali sarjana muda yang memiliki ilmu pengetahuan luar biasa, bahkan terampil di berbagai bidang, juga sangat berkompeten di bidangnya. Namun, sejauh yang kuperhatikan di masyarakat, masih banyak sekali sarjana muda yang cuma mengandalkan ijazahnya tanpa memiliki ilmu dan keterampilan serta manfaat buat masyarakat.
Dan satu hal yang sangat mengusikku, sarjana-sarjana muda yang memiliki gelar pendidikannya tampak begitu berjarak dengan lingkungan sekitar, bukan melebur ke masyarakat dan menerapkan ilmu di masyarakat malah lebih cenderung merasa pintar dan enggan bermasyarakat. Ilmu yang didapat hanya dimanfaatkan untuk diri pribadi, atau memang tak punya ilmu sama sekali sehingga tak tahu apa manfaat dirinya untuk orang lain? Entahlah. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang-kadang juga membuatku takut sendiri, kalau-kalau aku tak bermanfaat bagi orang lain selepas menyandang gelar sarjana nanti. Itu juga yang mungkin menjadi sebab aku tak begitu bersemangat menyelesaikan studi sarjana ini, karena beban di depan sangat berat untuk dihadapi. Aku sangat malu jika dikatai berat nama, bergelar sarjana namun tak punya isi kepala, tak bermanfaat apa-apa. Kalau saja tak memikirkan orang tua, sudah sejak lama aku berhenti dari dunia perkuliahanku.

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tak diberikan sama sekali!” Kalimat yang disampaikan Datok Ibrahim Tan Malaka tersebut tampaknya telah menemukan musuhnya saat ini. begitu banyak para sarjana yang berperilaku demikian, beranggapan dirinya lebih pintar dan menganggap para petani adalah pekerjaan rendahan. Sungguh pola pikir demikian sangat tampak pada sarjana-sarjana dewasa ini. Mereka beranggapan bahwa bekerja di kantoran lebih mulia dan punya kelas berbeda dengan para petani. Mereka lupa bahwa pekerjaan mereka hanya membuat mereka seperti kerbau yang ditusuk lobang hidungnya, menurut apa yang diperintah oleh atasan. Sedang petani, hidup merdeka, tidak diperintah dan tidak memerintah. Atau sarjana yang demikian memang sudah terbiasa ditusuk lobang hidungnya semenjak di dunia perkuliahan. Dan memang seperti itulah jika ingin selesai cepat dan mendapat nilai memuaskan, tak ada jalan lain. Ah sudahlah, kucukupkan sampai sini saja tulisan ini, lebih baik kunikmati saja pagi ini sambil menertawakan diri sendiri. Daripada ngebacot di pagi hari lebih baik kunikmati kopi pahit ini. Daripada membahas kaum sarjana lebih menarik bercerita pada ibu warung kaki lima, sebab, orang seperti dialah yang banyak di negeri ini bukan kaum sarjana. Selamat Pagi dan Selamat Menikmati Kopi Para Sarjana Muda. 

Pontianak, 28 Oktober 2o19
Di gubuk kaki lima
Karikatur: SiapMurtad-Wordpress.com 

Posting Komentar

0 Komentar