Di zaman yang serba sibuk ini,
rasa-rasanya tak ada hal yang lebih buruk daripada duduk diam di teras saat
mentari baru membuka mata. Hal semacam ini setiap hari kulakukan, tapi itu dulu,
sejak aku kecil. Bersama bapakku, duduk sambil menikmati kopi panas dan ubi
rebus, kadang kue-kue kampung buatan ibu. Aku senang melihat orang-orang ramai
berebut membeli kue-kue di jalanan. Setiap pagi kami selalu melihat pemandangan
itu. Tak jarang aku disuruh bapak membeli rokok di warung tetangga. Dengan
semangat aku berlari menyusuri jalan-jalan berbatu. Berpapasan dengan
orang-orang tua berangkat ke kebun, dengan ibu-ibu penjual kue dan anak-anak
lain yang mulai bermain di depan rumah. Pohon-pohon basah berbaris di sepanjang
jalan, sejuk dan membuat bulu-bulu halusku berdiri.
Jujur aku sangat merrindukan masa-masa
itu. Walaupun aku bisa melakukannya, bangun pagi dan duduk di teras menunggu
mentari sambil menikmati segelas kopi. Namun, itu tak akan sama dengan apa yang
terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Tak ada kulihat orang-orang berebut membeli
kue di jalanan, tak ada para petani pergi ke kebun, tak anak kecil bermain di
depan rumah, tak ada pohon-pohon sejuk dan tak ada bapakku duduk menemani
bercerita tentang kebun kami. Sesekali ia bercerita tentang harga karet yang
tak sebanding dengan harga beras paling murah sekalipun.
“Harga karet tinggal enam ribu, Dek. Kamu
sekolah yang rajin biar gampang cari duit,” ucap Bapak sambil mengelus-elus
kepalaku.
Aku hanya sibuk menyantap ubi rebus,
menyelupkannya dalam gelas kopi lalu melahapnya. Saat itu aku tidak tahu apa
hubungannya harga karet enam ribu dengan sekolah yang rajing perintah Bapak.
Tapi aku senang, bapak selalu tersenyum, apapun cerita yang ia sampaikan selalu
berakhir dengan senyum.
Mengingat itu semua aku jadi rindu
Bapak. Rindu keluhan Bapak. Rindu senyum segar Bapak yang lebih sejuk dari
embun pagi hari. Menyedihkan sekali hidup dalam cengkraman kenangan-kenangan
itu. Kenangan yang tak mungkin untuk diulang, kendati hal itu dulu setiap hari
kami lakukan. Baca Juga: Rembulan yang Melukis Senyummu
Lamunanku buyar
ketika seseorang menghampiri dari belakang, itu istriku. Belum sempat sama
sekali kuseruput kopi di atas meja. Bahkan masih terlihat asap tipis masih
berterbangan di atas gelas.
“Ayo
berangkat, nanti macet.”
Cepat-cepat
aku masuk kamar, bersiap dengan pakaian serba rapi yang memuakkan. Sebagai
karyawan perusahaan yang teladan dan tertib aturan tentunya aku tak boleh
terlambat. Untuk menyiasati jalanan macet aku bahkan berangkat pagi-pagi
sekali. Ditambah harus mengantar istriku ke tempat ia bekerja, mengantar anak
ke sekolah, membuat semuanya semakin terburu-buru. Pagiku selalu berkejaran
dengan waktu. Begitulah kegiatan membosankan yang setiap hari harus kulakukan. Jangankan
untuk mengobrol, menunggu kopi sedikit dingin saja tidak sempat sama sekali.
“Pa, cepat,” terdengar teriakan anakku.
Di muka pintu ia sudah siap dengan
seragam putih merahnya. Anak malang, bahkan urusan terburu-buru tidak hanya
terjadi kepadaku namun juga pada Arwana, anak tunggalku yang baru berusia
sepuluh tahun. Sungguh menyedihkan, ia tak merasakan apa yang dulu aku rasakan,
hidup tenteram, damai dan penuh kelenggangan. Tak punya banyak uang tak jadi soal.
Hidup sederhana, bertani, berkebun sudah tentu bebas merdeka, tidak dikejar
waktu dan lebih bebas mengatur waktu sendiri. Dan tentu tidak diperintah.
***
“Sudahlah, Pak,
jangan terlalu dipikirkan. Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaan,” kata Bu Inor
sambil meletakkan kopi di lantai, samping suaminya. Hari itu adalah kelima
belas kalinya idul fitri tanpa anak tunggal mereka.
“Sudah lima
belas tahun, Bu. Apa kau tidak kangen dengannya. Dia itu anak kita
satu-satunya.”
Kedua suami
istri itu duduk diam di teras rumah. Suara takbiran dari mesjid
bersahut-sahutan. Setiap selesai salat subuh pada hari pertama lebaran orang
kampung ini selalu takbiran menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh
berpuasa.
Baca Juga: Cerpen Naga
Ayam-ayam berkokok, bumi pelan-pelan
mulai terang dan Pak Nardi masih termenung di teras berbalutkan kain sarung.
Sementara Bu Inor berkemas, menyusun kue-kue dan gelas di ruang tamu. Setelah
kepergian anak tunggalnya lima belas tahun lalu, Pak Nardi cuma termenung
sendiri setiap pagi di teras. Tak ada lagi temannya bercerita, menghabiskan
pagi yang dulunya menyenangkan. Kini pagi-pagi Pak Nardi penuh dengan ratapan.
Doa-doa sering ia lantunkan ketika salat maupun ketika ia tiba-tiba teringat.
Bahkan, tak jarang diam-diam Pak Nardi menangis sendirian mengenang anak
tunggalnya itu. Pernah suatu saat ia menabung uang hasil kebun untuk berangkat
menemui anaknya di kota. Karena hasil kebun tak mencukupi dan hanya untuk
keperluan sehari-hari, tabungan itupun akhirnya kembali kering kerontang untuk
menyambung hidup. Pagi itu tanpa sadar air mata Pak Nardi menyusuri pipi
kendurnya yang kerutan. Segera ia hapus ketika menyadari orang-orang berbondong
pergi ke mesjid.
Pak Nardi sering membayangkan wajah
anak tunggalnya, membayangkan cucunya bahkan membayangkan menantunya. Pernah
Pak Nardi melihat menantunya lewat foto di handphone
yang dikirimkan anak tunggalnya pada tetangga. Itupun lima belas tahun lalu,
saat anaknya menikah. Pernikahan waktu itu didengarkan Pak Nardi lewat handphone tetangga, ia hanya bisa
mendengar penghulu dan mendengar anaknya mengucap ijab kabul.
Pada pagi hari lebaran itu seorang tetangga
tampak bergegas menuju rumah Pak Nardi. Pak Nardi segera berdiri dan menggulung
sarungnya hingga perut. Ia lihat anak muda itu menempelkan handphone di telinganya, terburu-buru menghampiri. Cepat-cepat Pak
Nardi mengambil handphone yang
diserahkan padanya.
“Halo, Pak,” terdengar dari seberang
benda yang sedang Pak Nardi pegang. “Halo, Pak. Ini Bapak?”
Hati Pak Nardi tiba-tiba terasa perih
mendengar suara itu. Suara yang sudah hampir tak pernah lagi ia dengar beberapa
tahun terakhir. Bahkan, ia sempat tak mengenali siapa yang sedang bicara.
Untung anak muda di sampingnya memberi tahu bahwa itu Arif, anak tunggalnya. Pak
Nardi tidak tahu harus berkata apa, ia hanya menjawab sepatah-patah kata saat
beberapa kali anaknya bertanya. Entah apa yang membuat Arif menanyakan harga
karet di kampung, mungkin tak ada pertanyaan lain. Sebab, semua pertanyaannya
sudah dijawab bapaknya, dan jawabannya hanya sepatah kata. Baca Juga: Di Bawah Pohon Beringin
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Pak
Nardi teringat masa lampau. Masa di mana ia mengeluhkan segala persoalan hidup
kepada anaknya. Masa di mana ia menceritakan kebun karet mereka semakin sedikit
getahnya. Masa di mana ia mengelus kepala anaknya yang sedang lahap menyantap
ubi rebus. Masa di mana ia melihat anaknya dengan riang berlari ketika
membelikannya rokok. Masa di mana ia menyuruh anaknya belajar giat agar mudah
mencari uang. Agar tak menjadi penyadap seperti dirinya yang hanya cukup untuk makan.
Dan sekarang ia tak tahu di mana lagi ia dapati masa-masa itu. Lama Pak Nardi
terdiam mendengar pertanyaan itu. Air matanya tanpa diperintah mengalir begitu
deras. Pak Nardi tak sanggup menjawab, ia terisak dan segera mengembalikan handphone kepada pemuda di sampingnya.
Ia terduduk memegangi dadanya. Sesak. Nafasnya turun naik, air matanya semakin
membanjiri wajahnya. Telepon itu tiba-tiba habis daya saat sampai di tangan
pemiliknya. Sungguh harga karet enam ribu rupiah jauh lebih berharga daripada
ketiadaan orang yang ia cinta.
***
Seperti lebaran tahun-tahun sebelumya.
Lebaran kali ini kuhabiskan di rumah mertuaku. Sebenarnya aku sangat ingin
sesekali pulang kampung saat lebaran seperti ini, berkumpul dengan sanak
saudara di sana. Tapi waktu sangat tidak memungkinkanku untuk pulang, karena
akan memakan banyak waktu. Di kantor tempatku bekerja hanya diberikan libur dua
hari saat lebaran. Jadi, tidak mungkin sekali aku harus pulang kampung jika
hanya menginjakkan kaki lalu pergi lagi. Mungkin hanya sempat salaman jika aku
pulang. Tidak mungkin sekali kulakukan hal konyol itu. Jika kulakuakan,
bisa-bisa badanku rubuh karena perjalanan yang cukup jauh itu. Jarak kampungku
dari ibu kota kabupaten saja memakan empat sampai lima jam. Jarak dari ibu kota
provinsi ke kampungku bisa memakan waktu dua belas hingga tiga belas jam. Itu
sebabnya aku tak pernah pulang kampung.
Sebenarnya aku sering sekali merindukan
orangtuaku. Mengingat masa-masa dulu ketika kami berkumpul satu keluarga. Entah
kenapa pagi ini tanganku terasa tergerak sendiri untuk menelepon tetangga di
kampung. Menanyakan kabar kedua orangtuaku yang sudah sangat lama tak pernah
kuketahui kabarnya. Sungguh aku merasa sangat berdosa pada mereka. Pagi hari
ini hatiku mendadak begitu pilu ketika mendengar suara Bapak yang sudah
bertahun-tahun tak pernah kudengar. Suara berat itu seperti ratusan anak panah
yang menembus ulu hati, seperti belati yang mencincang-cincang jantungku.
Sesaat samar-samar kudengar isak tangis di seberang handphone sebelum panggilan terputus. Aku sempat berkali-kali
mengulang menelepon nomor tersebut namun panggilanku tak lagi masuk.
Pagi ini adalah pagi paling lenggang.
Aku bisa menikmati kopi di teras rumah tanpa dikejar-kejar waktu. Jarang sekali
saat-saat seperti ini kudapatkan. Kuajak Arwana menemaniku duduk di teras.
Arwana tidak suka kopi, istriku melarangnya minum kopi dengan alasan tidak baik
untuk tulang anak-anak. Kuceritakan semua sakitnya bekerja jadi karyawan
sepertiku, harus menuruti aturan perusahaan. Kukeluhkan padanya rendahnya gaji,
walaupun UMR namun tak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukan. Kubilang
padanya agar sekolah yang rajin supaya tidak jadi karyawan perusahaan
sepertiku. Air mataku tumpah saat mengelus kepala Arwana, sesaat ia tak
menanggapi namun ia mengangguk saat melihatku bercucuran air mata. Kupeluk erat
tubuhnya “Arwana janji. Arwana akan belajar dengan giat, Yah.”
Handphone di atas meja bergetar. Nomor yang kutelepon berkali-kali
tadi memanggil balik. Di seberang handphone,
kabar kematian bapak disampaikan. Terdengar seseorang merebutnya di sana. Ia
memberitahuku agar mengirimi uang untuk membeli perlengkapan mayit juga uang upah
penggali kubur dan uang-uang lainnya.
“Harga karet hanya sebelas ribu. Karet
timbunan almarhum bapakmu masih kurang, ibumu juga tidak punya uang lagi. Kalau kau tidak bisa pulang kirimkan saja uang.”
17 Desember 2019

0 Komentar