VIDEO CALL
Pagi hari pukul 06:30 wib di rumah
kontrakan Kiran tiba-tiba terdengar pertengkaran hebat antara dua lelaki,
saling sahut menyahut makian, saling lempar melempar hinaan, sesekali terdengar
kata keparat, disahut anjing, dibalas babi, dijawab jahanam, dilempar lagi
setan, diteriaki mati kau anjing, dibalas lagi sampah hingga meludah, dan
segala jenis kotoran keluar dari mulut keduanya. Muka Ikbal memerah dengan
rambut rapinya yang kembali berantakan dan sesekali disisirnya menggunakan lima
jari kanannya. Baju kemeja yang rencana ia kenakan pun dilemparnya ke pojok
kamar. Sedangkan Rega terlihat masih acak-acakan, rambut berantakan seperti
ilalang dibinasakan angin topan, muka kusam dan masih memikul handuk di
pundaknya terlihat sedang menunggu waktu yang tepat untuk membasahi tubuhnya.
Kiran yang dari tadi menyaksikan caci maki berterbangan tidak banyak berbuat
apa-apa untuk menghentikannya. Kiran hanya panik dan matanya mulai berkaca-kaca
sambil berusaha mengambil Hp-nya di tangan Ikbal.
“Berikan pada Kiran anjing, aku mau bicara
dengannya,” ucap Rega dengan melototkan mata tajamnya pada Ikbal. Ia begitu
kesal karena Ikbal merampas paksa Hp Kiran. Baca Juga: Cerpen Apakah Ini Takdir
“Emangnya, kamu siapa setan?” balas
Ikbal yang juga memaksakan membuka matanya yang sipit.
“Tak ada untungnya kuberi tahu siapa aku.”
“Tak ada untungnya juga buatku
memberikannya pada Kiran,” jawab Ikbal.
“Dasar bancong, cuihh,” ujar Rega
sambil meludah kesebelah kiri.
“Kamu yang bencong, pagi-pagi buta udah video
call.”
“Apa urusannya denganmu?” ucap Rega.
“Ganggu orang kerja setan!” jawab Ikbal.
“Kiran bukan babumu keparat, banci, jangan
kurang ajar kamu,” balas Rega semakin tambah emosi dan membanting gelas yang
ada di atas meja makan. Panggilan video pun terputus karena Kiran merampas
Hp-nya yang tadi dirampas oleh Ikbal ketika dia sedang video call
bersama Rega. Hp Kiran terlempar hingga menyebabkan panggilan video tersebut
terputus. Saat itu juga Ikbal langsung masuk kamar tanpa memperdulikan Hp
Kiran yang menggelinding di bawah kakinya.
Kiran hanya menangis terduduk di kursi
meja makan sambil berusaha menghidupkan kembali Hp-nya untuk segera menenagkan
Rega. Dia takut Rega nekat mendatanginya, karena dia tahu betul dengan sifat
Rega jika sudah emosi begini. Dia takut Rega bertemu dengan Ikbal, akan jadi
pertempuran yang luar biasa jika Rega sampai mendatanginya dan bertemu dengan
Ikbal, bisa-bisa rahang Ikbal lepas jika dipukuli Rega pikir Kiran.
Tidak ada yang mampu benar-benar
menenagkan Rega jika sudah emosi kecuali orang yang dicintainya seperti Kiran
dan Ibunya sendiri, selain dari mereka tak ada yang mampu membuat Rega berpikir
normal jika sedang kena angin panas itu. Maklumlah, Rega dulu mantan bajingan,
pemabuk, pejudi, yang cukup dikenal di pasar dan di tempat hiburan-hiburan
malam. Dia juga sering berkelahi dengan preman-preman pasar yang cukup orang
takuti namun dia tak sedikit pun gentar jika urusan bertarung. Kalau hanya
sekadar memar di muka, pecah pelipis tak lagi terasa baginya itu menunjukan dia
memang sudah jadi raja tarung. Jadi wajar emosi yang meledak-ledak itu sulit
untuk dikendalikannya.
Kiran kembali menelepon Rega ketika Ikbal
sedang menyiapkan diri untuk berangkat kerja di dalam kamar. “Tuttt, tuttt,
tuttt,” mohon maaf nomor tujuan anda tidak menjawab, begitulah kira-kira
kalimat yang didengar Kiran. Kiran semakin panik dan air mata yang berantakan
di pipinya semakin menyebar, deras air matanya tak dapat lagi dibendungnya.
Kiran mencoba menelepon sekali lagi dan hasilnya pun sama, tak ada jawaban dari
Rega. Hingga untuk yang ketiga kali Kiran mendengar suara Rega namun hanya dua
kata yang didengar oleh Kiran setelah itu panggilan terputus lebih tepatnya
diputus oleh Rega.
“Jangan menangis,” begitulah kata yang
disampaikan Rega sebelum dia memutus panggilannya. Kiran kembali menelpon Rega
namun tak ada jawaban yang dia dapat. “Jangan menangis nanti tambah jelek,”
pesan masuk yang diterima Kiran setelah beberapa kali tak ada jawaban dari
Rega. Ya, itu pesan masuk dari Rega dan langsung memekarkan bibir Kiran
seketika. Pesan singkat itu sangat ampuh menenangkan hati Kiran dan mengeringkan
air matanya seketika.
“Kau selalu bisa membuatku tenang,”balas
Kiran melalui whatsapp.
“Itu tugasku,” balas Rega.
“Kau tadi membuatku panik.”
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Tak perlu minta maaf, bukan sepenuhnya salahmu.”
“Baik kutarik lagi maafku,” Rega menghapus
chat-nya di bagian maaf tadi.
“Hahahaa dasar.”
“Dasar apa?”
“Gila.”
“Kenapa mau sama orang gila?”
“Karena cinta, bukankah cinta itu gila?”
“Kata siapa?”
“Kata orang-orang.”
“Mereka bohong.”
“Alasannya?”
“Cinta itu waras.”
“Jelaskan.”
“Aku tidak terlalu paham, yang jelas aku
tidak setuju kalau cinta itu gila.”
“Kenapa tidak setuju?”
“Karena tak sepaham.”
“Kenapa tidak sepaham?”
“Entahlah, jangan buat aku gila dengan
pertanyaan gila, aku tak mau kau mencintai orang gila.”
“Kalau aku mau?”
“Cintamu tak akan terbalas jika mencintai
orang gila, apa kau tahu sakitnya mencintai tanpa dicintai?”
“Rasanya pasti sakit sekali.”
“Aku tak mau kau sakit, makanya aku mau
tetap waras mencintaimu.”
“Semoga cinta kita tetap dalam jalur
kewarasan dan kewajaran.!”
“Aku selalu mendoakan hal itu.”
“Sungguh?”
“Kadang-kadang, kalau ingat.”
“Itu sudah sangat baik, lalu apalagi
doamu?”
“Banyak.”
“Sebutkan.”
“Ibuku, ibuku, ibuku, ayahku, ayahku,
ayahku, keluargaku, keluargaku, keluargaku, kamu, kamu, kamu.”
“Kenapa ada aku di sana?”
“Karena kau juga orang yang kucinta.”
“Lalu, kau tak mendokan umat muslim yang
lain?”
“Aku selalu meg-aminkan imam yang
mendoakan umat muslim lainnya ketika sholat.”
“Kau tak mendoakannya secara pribadi?”
“Bukankah dengan meng-aminkan sama dengan
aku mendoakan?”
“Iya sama, tapi baiknya kau juga harus
biasakan diri mendokan mereka secara pribadi, agar jikalau tak ada imam dan kau
sholat sendiri doamu selalu hadir untuk mereka.”
“Baiklah, dari hari ini aku akan
memulainya.”
Pesan mereka terputus karena handphone Kiran
tiba-tiba mati karena habis daya (lowbat). Kiran beranjak dari tempat
duduknya dan mencolokkan pengecas di dalam kamarnya.
Kiran mulai mengumpulkan pakaian kotor
miliknya ke dalam keranjang baju lipat berwarna biru polos, keranjang ini
banyak dijual di toko online seperti Lazada, Blibli.com, Elevenia,
Shopee dan toko online lainnya. Kiran juga memesan di salah satu toko online
tersebut sebulan yang lalu. Baca Juga: Cerpen di Bawah Pohon Beringin
Kiran juga mengumpulkan pakaian-pakaian
kotor Ikbal yang berserakan di pojok-pojok kamar Ikbal. Saat Kiran memasuki
kamar Ikbal, Kiran telah melihat Ikbal keluar dari kamarnya menuju wc, makanya
Kiran berani memasuki kamar Ikbal. Sebenarnya Kiran sudah sering memasuki kamar
Ikbal untuk mengambil pakaian kotor Ikbal. Namun, hal itu dilakukannya saat ada
teman-temannya ada di rumah, tidak seperti sekarang hanya berduaan. Itu
sebabnya Kiran merasa tak enak jika harus memasuki kamar Ikbal jika Ikbal masih
di dalam kamarnya.
Kiran tidak berduaan menempati rumah
tersebut, ada dua temannya Weni dan Novela yang juga tinggal bersama mereka.
Namun, lantaran Weni dan Novela ada kegiatan kampus yang mengharuskan mereka
untuk tidak di rumah selama tiga hari tiga malam menyebabkan Kiran hanya berdua
di rumah tersebut. Sebetulnya tak ada masalah buat Kiran, karena dia begitu
kenal dengan Ikbal, Ikbal tidak mungkin melakukan hal-hal di luar batas. Kiran
sudah begitu dekat dengan Ikbal hingga hampir semua sifat Ikbal sudah diketahui
Kiran.
Kiran
mengisi air ke dalam bak. Tangannya dengan sigap menarik ember-ember di
dekatnya. Menaburi deterjen dengan takaran yang pas menyesuaikan banyaknya
pakaian yang akan dicuci ke dalam bak yang telah terisi air. Aroma-aroma
deterjen menyengat saat Kiran mengucek pakaian. Busa-busa berserakan di
tangan-tangannya, kadang memercik ke wajah dan tubuhnya. Kiran begitu telaten
jika urusan beginian, tak jarang juga dia mencuci pakaian Weni dan Novela,
bukan karena dia disuruh atau dipaksa namun itu memang kemauannya sendiri. Matanya
selalu gatal jika melihat pakaian kotor berserakan. Tangannya seolah ingin
membinasakan pakaian kotor itu secepatnya.
“Melihat tawamu, mendengar senandungmu,
terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu,” semangat Kiran mengucek sambil
memainkan nada-nada suaranya. Ya, itu adalah potongan lirik lagu yang berjudul
anugerah terindah yang pernah kumiliki, lagu dari band tua asal Jogja Sheila on
7. Beberapa bulan ini Kiran mulai menyukai lagu-lagu dari band ini. Kiran mulai
hafal lagu-lagunya baik lagu lama maupun lagu barunya. Sebelumnya Kiran tak
tahu dengan lagu-lagu dari band ini. Namun sejak beberapa bulan dia mengenal
Rega dan dekat dengan Rega, dia dikenalkan lagu-lagu tersebut oleh Rega dan dia
menyukai lagu-lagu itu. Rega memang ngefans sama band asal Jogja itu, hampir
semua karya dari band tersebut dihafalnya. Baca Juga: Cerpen Naga
Sebelum menggenal Kiran dia juga sering
menyanyikan lagu band ini bersama Rani pada saat ngumpul bersama. Lagu berjudul
anugerah terindah yang pernah kumiliki adalah lagu yang paling disukai dan
paling sering dinyanyikan oleh Rega. Dan lagu ini juga yang pertama kali
dinyanyikannya untuk Kiran, sehingga membuat Kiran penasaran hingga mencari
lagu-lagu band tersebut dan akhirnya juga menyukai band tua asal Jogja itu.
“Menatap langkahmu, meratapi kisah
hidupmu, terlihat jelas bahwa hatimu, anugerah terindah yang pernah kumiliki,”
sambung Kiran dengan suara merdunya. Sedangkan Ikbal yang baru keluar dari wc
tak memperdulikan Kiran sedikitpun. Ikbal berjalan dengan tergesa-gesa seolah
tak ada Kiran di depannya. Kiran juga tak memperdulikan Ikbal. Kiran tahu Ikbal
harus berangkat kerja secepatnya karena matahari mulai menyengat, sedangkan
tempat Ikbal bekerja cukup jauh dari kontrakan mereka.
“Ki, mana baju kemejaku tadi?” ucap Ikbal
setelah masuk ke kamar dan kembali keluar untuk menanyakan bajunya. Saat itu
Ikbal berbaju kaos berwarna hitam polos, ikat pinggang berwarna coklat, dan
celana kain hitam rapi seperti pegawai kantoran.
“Kemeja yang mana, Bal?” jawab Kiran tanpa
menoleh ke hadapan Ikbal dan masih asyik dengan kegiatannya.
“Yang di pojok kamar tadi, warna biru,”
ucap Ikbal
“Yang ini?” jawab Kiran sambil berdiri
mengangkat sehelai baju kemeja biru yang masih diselimuti busa dan berbalik
menoleh Ikbal.
Tanpa berkata-kata Ikbal langsung masuk ke
kamar setelah melihat baju yang diperlihatkan Kiran. Dengan wajah datar Kiran
kembali duduk di Kursi plastik kecil berwarna merah muda dan kembali
menenggelamkan kemeja biru tersebut. Masih sambil memainkan nada lagunya dengan
merdu, namun kali ini tak lagi berlirik. Sementara, Ikbal bergegas membuka
lemari mencari baju yang serupa. Ikbal memang memiliki dua buah baju kemeja
biru itu, namun yang dalam lemari ini belum pernah digunakannya untuk bekerja.
Dengan cepat Ikbal mengenakan baju, dia
buat buat dirinya serapi mungkin dengan dasi hitam yang sudah bergantung di
lehernya lalu keluar dari kamar dan mengenakan sepatu pentofel hitam
mengkilap. Ia kenakan helm dan bergegas keluar rumah menggunakan motornya.
Tak lama setelah Ikbal meninggalkan rumah
datang Weni dan Novela membawa muka lemas dan gestur lunglai. Mereka
tampak kehabisan stamina saat ingin turun dari motor. Pakaian yang dikenakan
remuk bagai jalan-jalan di perkampungan. Dengan cepat Novela turun dari motor
dan secepatnya melepas sepatu putihnya yang telah berubah warna jadi abu-abu.
Weni segera memasukan motor ke garasi.
“Assalamualaikum,” ujar Novela menyeret tas besar yang dibawanya
ketika kegiatan. Sementara Weni langsung masuk dan menyambar handuk yang
bergantung di depan pintu kamarnya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Kiran
sambil merapikan ember, bak, dan deterjen bekas dia mencuci. Baca Juga: Kekerasan Seksual Non Fisik Terhadap Perempuan
Tanpa menunggu-nunggu Novela langsung
membuka jaket hitamnya dan memanjakan tubuhnya terlantar di kursi. Sungguh ini
adalah hari yang melelahkan bagi Novela. Tiga hari tiga malam kegiatan kampus
membuatnya kehabisan tenaga. Untung saja hari ini hari kampus libur karena ada
seminar untuk dosen sehingga tidak ada jadwal kuliah. Tiba-tiba Kiran datang
membawakan dua gelas teh hangat dan menyajikannya di atas meja. Lalu duduk
dekat Novela yang sudah memejamkan matanya.
“Bagaimana kegiatannya Vel, seru?” ucap
Kiran.
“Seru Ki, kalau saja ada kegiatan itu lagi
aku orang pertama yang mengundurkan diri,” jawab Novela tanpa membuka matanya.
“Emangnya kenapa, Vel,? bukannya kegiatan
seperti itu yang selalu kamu tanyakan dulu sebelum masuk kuliah.?”
Novela memang suka jalan-jalan, dia suka
ke pantai, gunung, air terjun. Dia selalu suka melihat pemandangan alam.
Baginya tidak ada yang lebih menenangkan dibanding menikmati alam sambil
bersantai dengan segelas teh es manis. Bahkan Novela sering dimarahi orang
tuanya karena pergi sendiri ke pantai. Semenjak masuk kuliah Novela jarang
menikmati alam, tak seperti dulu waktu sekolah yang setiap hari minggu hanya
dihabiskannya bersantai di pantai, kadang di gunung, kadang di air terjun jika
ada temannya. Yang pasti dia selalu pergi ke pantai setiap minggu karena jika
ke pantai sendiripun tak masalah baginya.
“Tapi yang ini lain, Ki, jangankan mau
menikmati suasana alam, mau mandipun kami harus mengantri satu sampai dua jam,
setelah itu makan lalu lanjut kegiatan lagi jam 1 hingga jam 5 sore,” ujar
Novela yang masih enggan membuka matanya.
“Memangnya apa kegiatan yang kalian
lakukan selama tiga hari itu?” balas Kiran yang juga tampak lelah, ia sandarkan
belakangnya ke badan kursi.
“Banyak, Ki.”
“Udah, minum dulu teh panas itu.”
Novela membangkitkan tubuhnya, mematahkan
pinggang dan lehernya ke kiri dan kanan. Sambil menyeruput teh panas Novela
melihat mata Kiran yang merah bekas menangis. Walaupun perasaan Kiran sudah
dibuat tenang oleh Rega secepat kilat, namun Rega tak dapat membuat sembab mata
Kiran hilang secepat itu.
“Kamu nangis, Ki?” tanya Novela dan teh
panasnya yang masih enggan untuk dilepaskannya.
“Iya Vel, tadi.”
“Masalahnya?” langsung disambar Novela
yang penasaran.
“Tadi Rega dan Ikbal bertengkar.”
“Di mana, Rega datang ke sini?” Novela
semakin memfokuskan matanya pada wajah Kiran dan menaruh teh panasnya.
“Di hp,” jawab Kiran singkat.
“Bagaimana ceritanya, kok bisa,
Ki?”
“Tadi pagi Rega Video call.”
“Terus,” Novela semakin penasaran.
“Tiba-tiba Ikbal merampas hp di tanganku,
dan bicara sama Rega,” Kiran menarik nafas panjang dan sejenak memejamkan
matanya sambil tersandar nyaman di kursi.
“Terus, terus Ikbal ngomong apa sama
Rega?”
“Entahlah, yang pasti Rega sangat marah sama
Ikbal, begitu juga Ikbal terdengar marah-marah pada Rega, aku tahu Rega tak
suka dengan kelakuan Ikbal yang tiba-tiba merampas hp di tanganku, namun aku
tak tahu maksud Ikbal yang tiba-tiba marah pada Rega dengan alasan menggangu,”
jawab Kiran sambil memutar-mutar ujung jilbabnya dengan jari.
“Terus, kamu kenapa sampai bisa nangis,
Ki?”
“Aku takut Vel, kau tahu sendirikan kalau
Rega udah marah itu seperti apa.”
“Iya Ki aku ngerti, ngomong-ngomong Ikbal
udah ke bandara, Ki?” tanya Novela sambil menggerakan lincah matanya
menyelusuri ruang-ruang rumah.
“Udah, Vel,” jawab Kiran tanpa mengangkat
pandangannya pada ujung jilbab yang dimainkannya.
“Yang aku heran ni, Ki, kenapa
Ikbal jadi emosi gitu ya sama Rega?” ujar Novela dengan sedikit memelankan
volume suaranya.
“Entahlah Vel, aku juga heran kenapa Ikbal
selalu sensi pada Rega,” jawab Kiran santai seolah tak mau tahu apa yang
menyebabkan Ikbal begitu sensi kepada Rega.
“Jangan-jangan Ikbal cemburu Ki, soalnya
setiap kali kamu bicara sama Rega saat itu juga raut muka Ikbal berubah, kadang
kelakuannya pun aneh seolah ingin membuat Rega cemburu,” ujar Novela menetapkan
tatapannya pada wajah Kiran.
“Apaan sih, Vel, mana mungkin Ikbal
cemburu,” balas Kiran menatap wajah Novela dan seketika menghentikan jemarinya.
“Siapa tahu kan, Ki, soalnya aku sering
memerhatikan tingkahnya berubah setiap kali Rega menelponmu,” ujar Novela.
“Mana mungkin Vel, aku itu sudah lama
kenal Ikbal, dia memang suka menasihatiku,” meyakinkan Novela.
“Ya, kita kan tak tahu hati orang
bagaimana, Ki,” sambung Weni dari dalam kamar yang dari tadi mendengarkan
mereka. Weni langsung keluar menghampiri Kiran dan Novela dengan handuk yang
masih tergulung di kepalanya, sambil mengusap-usap tangan kiri dan kanannya
bergantian meratakan handbody yang ditaburnya di kedua tangannya.
“Tapi aku sudah lama kenal Ikbal, Wen,
menurutku dia biasa-biasa saja, aku tak pernah merasa dia memperlakukan aku
lebih dari sahabat yang sudah lama dekat. Lagian, kalaupun dia suka kenapa tak
pernah bilang kalau dia memang suka,” jawab Kiran yakin bahwa Ikbal tak pernah
menyukainya, kalaupun Ikbal meperlakukannya lebih Kiran hanya menganggap itu
biasa saja sebab mereka memang sudah begitu akrab dari sekolah dulu.
“Iya juga sih, Ki,” balas Weni lalu
mengambil segelas teh hangat di atas meja dan menyeruputnya sedikit lalu
kembali menempatkannya ke tempat semula.
“Udah lah, pusing,” ucap Kiran lalu
beranjak dari kursi dan kembali melanjutkan kegiatannya menjemur pakaian yang
belum selesai dijemurnya. Lalu, disusul Novela dengan cepat mendarat di kamar
mandi. Sementara Weni memanjakan dirinya tersandar di kursi sambil menikmati
teh hangat buatan Kiran.
Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek
***

2 Komentar
Mantap wak ha
BalasHapussepp, akun sape tok,.
Hapus