(CERPEN) MATA PANAS TOTO


Riuh suara orang-orang di kantor desa tak terbendung, menunggu sosok pemimpin baru
untuk lima tahun ke depan. Antusias masyarakat menyaksikan proses penghitungan suara begitu luar biasa, membeludak hingga keluar ruangan. Jendela yang terbuka dipenuhi kepala-kepala yang penasaran dengan pemenang. Sengatan matahari tak menyurutkan rasa penasaran. Bahkan ada yang rela untuk menunda salat Zuhurnya demi menyaksikan acara penghitungan ini. 
Empat calon kepala desa berjejer duduk satu meja, menampakan ketegangan luar biasa di masing-masing wajahnya. Pak Giman sudah beberapa kali mengelap peluh di dahi, bibirnya pucat, jemari tanganya di atas meja tak bisa berhenti barang sekejap. Ia telah dua kali mencalonkan diri, namun belum pernah merasakan kemenangan. Ini merupakan kali ketiga buat Pak Giman, jika kalah lagi ia akan membuat sejarah di kampung ini dengan hattrick kekalahan.
Sementara orang yang berada di sebelah kanan Pak Giman begitu tenang sambil melipat tangan di dada. Pak Adi seorang petahana, perolehan suaranya mengalahkan suara Pak Giman, selisih enam angka pada pemilihan lima tahun lalu. Ia dinilai kanditat terberat pemilihan kali ini, bagaimana tidak keluarga dan sanak saudaranya menyebar di tiap RT. Pak Giman pun gusar menanti hasil perhitungan.
Dua kandidat lainnya juga tak kalah tegang, mereka merupakan kontestan baru dalam pemilihan tahun ini. Mereka mencalonkan diri karena menilai kinerja pemimpin sebelumya tak memuaskan. Pak Jo dan Pak Mul memiliki visi dan misi yang sama yaitu,
keterbukaan terhadap anggaran dana desa yang jumlahnya fantastis. Siapa pun yang menang di antara mereka harus menjalankan visi-misi yang telah disepakati berdua. Namun, kemungkinan kemenangan sangatlah tipis, bahkan masyarakat menilai mereka pengacau pertarungan Pak Giman dan Pak Adi.
Pak Giman semakin gusar, ketika perolehan angka untuk dirinya dan Pak Adi saling kejar. “Nomor satu,” seorang pertugas meneriakan dan melihatkan kepada saksi dan masyarakat. Nomor satu adalah nomor urut Pak Giman yang saat ini ketinggalan lima suara dari nomor urut dua, Pak Adi.
Pendukung Pak Giman berteriak keras saat mendengar beberapa kali nomor uru satu disebutkan. Hanya tinggal tiga kertas yang belum dibuka dan Pak Giman masih ketinggalan dua suara.
“Nomor urut satu,” suasana semakin riuh oleh suara masyarakat, Pak Giman sampai berdiri dan berteriak “Hoooo...” kini hanya tinggal dua kertas suara yang belum dibuka. Badan Pak Giman bergeretak, terlihat geram dengan emosi yang meledak-ledak. Tak lagi ia pedulikan peluh membasahi wajahnya. Pak Adi menatap tajam ke papan penghitungan tanpa suara, ada ketegangan luar biasa yang ditahan, rahangnya goyang, gigi bergemeletuk dan matanya merah menyala.
“Nomor urut dua,” petugas berdiri memperlihatkan kertas suara, antusias orang-orang semakin parah, seseorang berteriak dari belakang kerumunan di luar “Woy, setan!” entah apa maksudnya.
“Yes...” emosi Pak Adi akhirnya meledak sambil mengepal genggam ke atas dan berdiri. Suasana semakin panas, matahari semakin menyengat, dan emosi orang-orang kian terbakar. Wajah Pak Giman seperti membusuk ketika Pak Adi berteriak dan berdiri di sebelahnya. Pak Adi tak pernah sekeras dan seemosi itu sebelumnya.
Pak Giman dan Pak Adi berdiri berdampingan dengan muka cemas campur emosi, menunggu petugas membuka kertas suara yang tinggal satu satunya. Kertas penentu kemenangan. Perolehan suara imbang, seketika seluruh ruangan sunyi senyap. Wajah-wajah penasaran terpampang. Tak bersuara, senyap, hening, mematung menatap pada satu orang yaitu petugas pembuka kertas. “Nomor urut satu,” petugas berdiri dan mengangkat surat suara terakhir, menunjukannya pada saksi. Seketika Pak Giman berteriak histersis sambil melompat-lompatkan badannya yang gemuk “Hooo...” seisi ruangan gaduh oleh para pendukung. Beberapa orang di luar terlihat membagikan uang hasil taruhan mereka.
Pak Adi kembali duduk di tempat, menyulut rokok yang sudah terjepit di bibirnya. Sedangkan Pak Giman masih berbahagia dengan para pendukung, memeluk beberapa sanak keluarganya yang turut hadir. Salah satu orang tua menghamburkan beras kuning di atas kepala Pak Giman sambil membaca doa tanda syukur.
Wajah Toto memerah melihat Pak Giman dengan tingkahnya. Sejak tadi batinnya berontak, mengetahui suara Pak Giman dan Pak Adi saling kejar. Kakinya gemetar hebat, hatinya geram. Ia muak melihat semua. Seketika ia mengangkat tangan. Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung

***
Sehari sebelum pencoblosan, jam delapan malam Pak Udin berjalan menuju warung kopi tempat biasa santai. Dia salah satu tim sukses Pak Adi, berbadan tinggi tegap dan salah satu anggota pemuda Pancasona. Dalam perjalanan, ia mendapati Ris—anggota tim sukses Pak Giman—mendatangi beberapa rumah warga. Tak banyak yang dilakukan Pak Udin, ia hanya mengawasi dari jarak jauh. Ris hanya lima menit singgah di rumah warga. Pak Udin menghampiri rumah terakhir yang dikunjung Ris. Itu rumah Toto, seorang pendatang yang baru tiga tahun menikah dengan perawan tua kampung. Usianya genap empat puluh tahun, begitu pun istrinya.
“Assalamualaikum,” masih tergeletak uang seratus ribuan dekat gelas kopi di lantai. Pak Udin sangat yakin itu uang pemberian dari Ris untuk memenagkan Pak Giman pada pemilihan esok hari.
“Wa‘alaikumussallam,” Toto masih bersila menikmati rokoknya. “Eh, Din masuk, Din,” Toto langsung menuang kopi ke dalam gelas untuk Pak Udin. “Minum, Din!” perintah Toto, lalu mengambil uang merah di lantai tersebut dan memasukannya ke dalam kantong baju.
“Iya-iya makasih, To,” Pak Udin langsung menyesap kopi pemberian Toto,“Uang apa itu, To?” lanjut Pak Udin. Tatapannya tajam ke arah uang yang baru Toto masukan ke kantong bajunya.
Seketika wajah Toto berubah, memperlihatkan kepanikan, lama ia tak menjawab. Kembali ia sesap kopi berusaha menutupi panik. “Bukan uang apa-apa, Din, hee,” Toto menampilkan senyum terpaksanya, namun Pak Udin masih menatap tajam wajah Toto.
Toto hanya menatap kosong gelas kopi di depannya sambil menggaruk ibu jari kaki kanannya yang tak gatal sama sekali.
“Jika diproses hukum, bukan cuma yang memberi yang jadi tersangka, yang menerima pun bisa kena penjara,” Pak Udin terhenti sejenak, menyesap kopi dan kembali menyulut ujung rokoknya. “Aku sudah tanya yang lain tadi, dan mereka semua mengakui uang pemberian itu harus diganti dengan memilih nomor satu besok,” Pak Udin berbohong telah menanyai yang lain, itu hanya triknya supaya Toto mengakui yang sebenarnya.
Toto menarik napas dalam “Dia sih tidak mewajibkan untuk pilih nomor satu, Din, dia hanya bilang minta bantu satu suara dari aku, itupun kalau aku mau, kalau aku mau pilih yang lainya tidak apa-apa,” Toto menghisap kuat rokoknya, lalu perlahan melepas asap dari dalam mulutnya. Pak Udin mendengarkan kata demi kata yang disampaikan Toto. “Dan masalah uang ini,” Toto mengeluarkan uang dari saku baju, memperlihatkan kepada Pak Udin. “Dia bilang hanya sedekah saja, bukan untuk membayar agar memilih nomor satu. Dia pun tidak memaksaku harus memilih nomor satu,” katanya sambil menggeletakkan uang tersebut ke lantai.
Pak Udin menarik asbak membuang puntung rokoknya. “Kau ini jangan pura-pura bodoh, To. Kau pasti tahu tujuan dia kasih kau uang itu untuk apa.”
“Iya Din, sebenarnya aku pun tahu tujuannya, tapi jika aku menolak mengambil uang ini...” Toto kembali mengambil uangnya.
“Aku tidak enak untuk menolaknya, Din. Aku takut dia tersinggung. Jadi mau tidak mau aku hanya mengiyakan apa yang dikatakannya. Masalah memilih besok aku pun belum menentukan siapa pilihanku,” Sedikit lama Toto tercenung. Pak Udin mendengarkan dengan tenang.
“Menurutku siapa pun yang menang sama saja, Din, mereka hanya ingin memperkaya diri mereka dengan anggaran dana desa satu milyar lebih itu, makanya mereka berani habis-habisan menyogok orang kampung ini, bukan hanya calon kepala desa yang habis-habisan tapi tim suksesnya pun turut mengeluarkan banyak dana untuk menyogok orang kampung. Beberapa hari lalu aku mendengar Ris menggadaikan tanahnya ke bank. Apalagi tujuan mereka kalau bukan untuk memakan dana desa, Din. Mereka tahu akan ada tumpukan uang di depan sana yang siap untuk dibagikan kalau mereka menang. Pak Adi pun sama, dua malam yang lalu dia juga memberiku uang.” Toto jauh lebih tenang kali ini, ia tumpahkan segala yang ada di pikirannya. Pak Udin hanya diam.
“Sebenarnya aku prihatin dengan kampung kita ini, Din. Semua orang tak mau ambil peduli dengan penyelewengan yang jelas-jelas dilakukan kepala desa. Kepala desa begitu bebas mengisi tabungannya dengan uang kita, Din,” kali ini giliran Pak Udin yang menatap kosong gelas kopi yang tinggal ampas itu.
“Aku sangat berharap besok yang menang Pak Jo ataupun Pak Mul, mereka adalah dua orang yang kunilai paling jujur di kampung ini, kita harus memenangkan salah satu di antara mereka berdua, Din.” Pak Udin hanya mengganguk pelan.
“Benar, apa yang kau bilang, To. Selama ini kita hanya dibodohi mereka saja, aku akan mengajak keluargaku untuk memilih Pak Jo ataupun Pak Mul besok, semoga saja salah satu dari mereka yang menang.”
“Kau lihat saja besok, Din. Akan ada sejarah besar terjadi di kampung kita dan akan ada korban-korban yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Warung kopi tempatmu biasa nongkrong akan jauh lebih ramai dikunjungi orang kampung setelah pemilihan besok,” Pak Udin menatap mata Toto, sungguh Pak Udin sama sekali tidak paham apa yang dimaksud oleh Toto dengan kalimatnya itu. Pak Udin memutuskan pulang membawa tanda tanya yang dimasukan Toto di kepalanya. Baca Juga: Djancuk bin Asu

***

“Maaf, Pak, kami menolak hasil pemilihan kali ini!” Toto menyampaikan keberatan kepada petugas dari kabupaten yang memantau jalannya pemilihan. Balai desa tiba-tiba senyap, orang yang hendak pulang kembali merapat. Suara lantang Toto mengalihkan perhatian. “Ada pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa calon, pemilihan kali ini tidak sehat, sampai kapan orang yang punya uang yang akan berkuasa, jika mengejar suatu jabatan dengan cara yang kotor, akan ada tujuan yang lebih kotor jika ia memimpin kelak.” Wajah Pak Giman memerah mendengar kalimat yang disampaikan Toto. “Ada permainan uang dalam pemilihan kali ini dan saya siap jadi saksi,” suara tegas Toto semakin membuat mata-mata tertuju ke arahnya.
Kerumunan orang di luar memecah, memberi jalan beberapa orang yang hendak masuk. Kira-kira delapan orang kepala keluarga masuk ke ruangan. “Kami akan jadi saksi, ini barang bukti yang kami terima dari beberapa calon,” salah seorang dari delapan kepala keluarga tersebut menyatakan siap menjadi saksi dan menunjukan uang pemberian calon tersebut kepada petugas dari kabupaten. Suasana dalam ruangan semakin tegang. “Baiklah, jika memang benar bapak-bapak siap untuk jadi saksi, tolong dibuat surat pelaporan agar kami dapat menindaklanjuti kasus ini,” jawaban seorang petugas dari kabupaten membuat wajah Pak Giman semakin memerah, rasa bahagia itu sirna seketika dari hatinya.
Pukul enam belas lewat tiga puluh enam menit, warung kopi dekat kantor desa membeludak, tak pernah seramai ini sebelumnya. Tampak wajah-wajah penasaran di muka mereka, membicarakan kasus yang terjadi tadi siang. Beberapa orang yang juga menerima uang dari calon tampak menyelidik mendengarkan obrolan. Pak Udin baru saja tiba, matanya liar mencari kursi kosong, namun tak ia temui sama sekali. Seketika ia teringat dengan apa yang dikatakan Toto malam tadi. ‘Warung kopi tempatmu biasa akan jauh lebih ramai dikunjungi orang kampung setelah pemilihan besok,’ masih begitu hangat kalimat itu di kepala Pak Udin. Baca Juga: Sajak Sejak Kepergianmu

***

Di teras rumah (Kampong halaman) 2019
Karikatur: Dororejo-doro.sideka.id

Posting Komentar

0 Komentar