Cerita Fiksi Roman Remaja (1)




VIDEO CALL


       Pagi hari pukul 06:30 wib di rumah kontrakan Kiran tiba-tiba terdengar pertengkaran hebat antara dua lelaki, saling sahut menyahut makian, saling lempar melempar hinaan, sesekali terdengar kata keparat, disahut anjing, dibalas babi, dijawab jahanam, dilempar lagi setan, diteriaki mati kau anjing, dibalas lagi sampah hingga meludah, dan segala jenis kotoran keluar dari mulut keduanya. Muka Ikbal memerah dengan rambut rapinya yang kembali berantakan dan sesekali disisirnya menggunakan lima jari kanannya. Baju kemeja yang rencana ia kenakan pun dilemparnya ke pojok kamar. Sedangkan Rega terlihat masih acak-acakan, rambut berantakan seperti ilalang dibinasakan angin topan, muka kusam dan masih memikul handuk di pundaknya terlihat sedang menunggu waktu yang tepat untuk membasahi tubuhnya. Kiran yang dari tadi menyaksikan caci maki berterbangan tidak banyak berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Kiran hanya panik dan matanya mulai berkaca-kaca sambil berusaha mengambil Hp-nya di tangan Ikbal.
“Berikan pada Kiran anjing, aku mau bicara dengannya,” ucap Rega dengan melototkan mata tajamnya pada Ikbal. Ia begitu kesal karena Ikbal merampas paksa Hp Kiran. Baca Juga: Cerpen Apakah Ini Takdir
Emangnya, kamu siapa setan?” balas Ikbal yang juga memaksakan membuka matanya yang sipit.
“Tak ada untungnya kuberi tahu siapa aku.”
“Tak ada untungnya juga buatku memberikannya pada Kiran,” jawab Ikbal.
“Dasar bancong, cuihh,” ujar Rega sambil meludah kesebelah kiri.
“Kamu yang bencong, pagi-pagi buta udah video call.”
“Apa urusannya denganmu?” ucap Rega.
“Ganggu orang kerja setan!” jawab Ikbal.
“Kiran bukan babumu keparat, banci, jangan kurang ajar kamu,” balas Rega semakin tambah emosi dan membanting gelas yang ada di atas meja makan. Panggilan video pun terputus karena Kiran merampas Hp-nya yang tadi dirampas oleh Ikbal ketika dia sedang video call bersama Rega. Hp Kiran terlempar hingga menyebabkan panggilan video tersebut terputus. Saat itu juga Ikbal langsung masuk kamar tanpa memperdulikan Hp Kiran yang menggelinding di bawah kakinya.
Kiran hanya menangis terduduk di kursi meja makan sambil berusaha menghidupkan kembali Hp-nya untuk segera menenagkan Rega. Dia takut Rega nekat mendatanginya, karena dia tahu betul dengan sifat Rega jika sudah emosi begini. Dia takut Rega bertemu dengan Ikbal, akan jadi pertempuran yang luar biasa jika Rega sampai mendatanginya dan bertemu dengan Ikbal, bisa-bisa rahang Ikbal lepas jika dipukuli Rega pikir Kiran.
Tidak ada yang mampu benar-benar menenagkan Rega jika sudah emosi kecuali orang yang dicintainya seperti Kiran dan Ibunya sendiri, selain dari mereka tak ada yang mampu membuat Rega berpikir normal jika sedang kena angin panas itu. Maklumlah, Rega dulu mantan bajingan, pemabuk, pejudi, yang cukup dikenal di pasar dan di tempat hiburan-hiburan malam. Dia juga sering berkelahi dengan preman-preman pasar yang cukup orang takuti namun dia tak sedikit pun gentar jika urusan bertarung. Kalau hanya sekadar memar di muka, pecah pelipis tak lagi terasa baginya itu menunjukan dia memang sudah jadi raja tarung. Jadi wajar emosi yang meledak-ledak itu sulit untuk dikendalikannya.
Kiran kembali menelepon Rega ketika Ikbal sedang menyiapkan diri untuk berangkat kerja di dalam kamar. “Tuttt, tuttt, tuttt,” mohon maaf nomor tujuan anda tidak menjawab, begitulah kira-kira kalimat yang didengar Kiran. Kiran semakin panik dan air mata yang berantakan di pipinya semakin menyebar, deras air matanya tak dapat lagi dibendungnya. Kiran mencoba menelepon sekali lagi dan hasilnya pun sama, tak ada jawaban dari Rega. Hingga untuk yang ketiga kali Kiran mendengar suara Rega namun hanya dua kata yang didengar oleh Kiran setelah itu panggilan terputus lebih tepatnya diputus oleh Rega.
“Jangan menangis,” begitulah kata yang disampaikan Rega sebelum dia memutus panggilannya. Kiran kembali menelpon Rega namun tak ada jawaban yang dia dapat. “Jangan menangis nanti tambah jelek,” pesan masuk yang diterima Kiran setelah beberapa kali tak ada jawaban dari Rega. Ya, itu pesan masuk dari Rega dan langsung memekarkan bibir Kiran seketika. Pesan singkat itu sangat ampuh menenangkan hati Kiran dan mengeringkan air matanya seketika.
“Kau selalu bisa membuatku tenang,”balas Kiran melalui whatsapp.
“Itu tugasku,” balas Rega.
“Kau tadi membuatku panik.”
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Tak perlu minta maaf, bukan sepenuhnya salahmu.”
“Baik kutarik lagi maafku,” Rega menghapus chat-nya di bagian maaf tadi.
“Hahahaa dasar.”
“Dasar apa?”
“Gila.”
“Kenapa mau sama orang gila?”
“Karena cinta, bukankah cinta itu gila?”
“Kata siapa?”
“Kata orang-orang.”
“Mereka bohong.”
“Alasannya?”
“Cinta itu waras.”
“Jelaskan.”
“Aku tidak terlalu paham, yang jelas aku tidak setuju kalau cinta itu gila.”
“Kenapa tidak setuju?”
“Karena tak sepaham.”
“Kenapa tidak sepaham?”
“Entahlah, jangan buat aku gila dengan pertanyaan gila, aku tak mau kau mencintai orang gila.”
“Kalau aku mau?”
“Cintamu tak akan terbalas jika mencintai orang gila, apa kau tahu sakitnya mencintai tanpa dicintai?”
“Rasanya pasti sakit sekali.”
“Aku tak mau kau sakit, makanya aku mau tetap waras mencintaimu.”
“Semoga cinta kita tetap dalam jalur kewarasan dan kewajaran.!”
“Aku selalu mendoakan hal itu.”
“Sungguh?”
“Kadang-kadang, kalau ingat.”
“Itu sudah sangat baik, lalu apalagi doamu?”
“Banyak.”
“Sebutkan.”
“Ibuku, ibuku, ibuku, ayahku, ayahku, ayahku, keluargaku, keluargaku, keluargaku, kamu, kamu, kamu.”
“Kenapa ada aku di sana?”
“Karena kau juga orang yang kucinta.”
“Lalu, kau tak mendokan umat muslim yang lain?”
“Aku selalu meg-aminkan imam yang mendoakan umat muslim lainnya ketika sholat.”
“Kau tak mendoakannya secara pribadi?”
“Bukankah dengan meng-aminkan sama dengan aku mendoakan?”
“Iya sama, tapi baiknya kau juga harus biasakan diri mendokan mereka secara pribadi, agar jikalau tak ada imam dan kau sholat sendiri doamu selalu hadir untuk mereka.”
“Baiklah, dari hari ini aku akan memulainya.”
Pesan mereka terputus karena handphone Kiran tiba-tiba mati karena habis daya (lowbat). Kiran beranjak dari tempat duduknya dan mencolokkan pengecas di dalam kamarnya.
Kiran mulai mengumpulkan pakaian kotor miliknya ke dalam keranjang baju lipat berwarna biru polos, keranjang ini banyak dijual di toko online seperti Lazada, Blibli.com, Elevenia, Shopee dan toko online lainnya. Kiran juga memesan di salah satu toko online tersebut sebulan yang lalu. Baca Juga: Cerpen di Bawah Pohon Beringin
Kiran juga mengumpulkan pakaian-pakaian kotor Ikbal yang berserakan di pojok-pojok kamar Ikbal. Saat Kiran memasuki kamar Ikbal, Kiran telah melihat Ikbal keluar dari kamarnya menuju wc, makanya Kiran berani memasuki kamar Ikbal. Sebenarnya Kiran sudah sering memasuki kamar Ikbal untuk mengambil pakaian kotor Ikbal. Namun, hal itu dilakukannya saat ada teman-temannya ada di rumah, tidak seperti sekarang hanya berduaan. Itu sebabnya Kiran merasa tak enak jika harus memasuki kamar Ikbal jika Ikbal masih di dalam kamarnya.
Kiran tidak berduaan menempati rumah tersebut, ada dua temannya Weni dan Novela yang juga tinggal bersama mereka. Namun, lantaran Weni dan Novela ada kegiatan kampus yang mengharuskan mereka untuk tidak di rumah selama tiga hari tiga malam menyebabkan Kiran hanya berdua di rumah tersebut. Sebetulnya tak ada masalah buat Kiran, karena dia begitu kenal dengan Ikbal, Ikbal tidak mungkin melakukan hal-hal di luar batas. Kiran sudah begitu dekat dengan Ikbal hingga hampir semua sifat Ikbal sudah diketahui Kiran.
            Kiran mengisi air ke dalam bak. Tangannya dengan sigap menarik ember-ember di dekatnya. Menaburi deterjen dengan takaran yang pas menyesuaikan banyaknya pakaian yang akan dicuci ke dalam bak yang telah terisi air. Aroma-aroma deterjen menyengat saat Kiran mengucek pakaian. Busa-busa berserakan di tangan-tangannya, kadang memercik ke wajah dan tubuhnya. Kiran begitu telaten jika urusan beginian, tak jarang juga dia mencuci pakaian Weni dan Novela, bukan karena dia disuruh atau dipaksa namun itu memang kemauannya sendiri. Matanya selalu gatal jika melihat pakaian kotor berserakan. Tangannya seolah ingin membinasakan pakaian kotor itu secepatnya.
“Melihat tawamu, mendengar senandungmu, terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu,” semangat Kiran mengucek sambil memainkan nada-nada suaranya. Ya, itu adalah potongan lirik lagu yang berjudul anugerah terindah yang pernah kumiliki, lagu dari band tua asal Jogja Sheila on 7. Beberapa bulan ini Kiran mulai menyukai lagu-lagu dari band ini. Kiran mulai hafal lagu-lagunya baik lagu lama maupun lagu barunya. Sebelumnya Kiran tak tahu dengan lagu-lagu dari band ini. Namun sejak beberapa bulan dia mengenal Rega dan dekat dengan Rega, dia dikenalkan lagu-lagu tersebut oleh Rega dan dia menyukai lagu-lagu itu. Rega memang ngefans sama band asal Jogja itu, hampir semua karya dari band tersebut dihafalnya. Baca Juga: Cerpen Naga
Sebelum menggenal Kiran dia juga sering menyanyikan lagu band ini bersama Rani pada saat ngumpul bersama. Lagu berjudul anugerah terindah yang pernah kumiliki adalah lagu yang paling disukai dan paling sering dinyanyikan oleh Rega. Dan lagu ini juga yang pertama kali dinyanyikannya untuk Kiran, sehingga membuat Kiran penasaran hingga mencari lagu-lagu band tersebut dan akhirnya juga menyukai band tua asal Jogja itu.
“Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu, terlihat jelas bahwa hatimu, anugerah terindah yang pernah kumiliki,” sambung Kiran dengan suara merdunya. Sedangkan Ikbal yang baru keluar dari wc tak memperdulikan Kiran sedikitpun. Ikbal berjalan dengan tergesa-gesa seolah tak ada Kiran di depannya. Kiran juga tak memperdulikan Ikbal. Kiran tahu Ikbal harus berangkat kerja secepatnya karena matahari mulai menyengat, sedangkan tempat Ikbal bekerja cukup jauh dari kontrakan mereka.
“Ki, mana baju kemejaku tadi?” ucap Ikbal setelah masuk ke kamar dan kembali keluar untuk menanyakan bajunya. Saat itu Ikbal berbaju kaos berwarna hitam polos, ikat pinggang berwarna coklat, dan celana kain hitam rapi seperti pegawai kantoran.
“Kemeja yang mana, Bal?” jawab Kiran tanpa menoleh ke hadapan Ikbal dan masih asyik dengan kegiatannya.
“Yang di pojok kamar tadi, warna biru,” ucap Ikbal
“Yang ini?” jawab Kiran sambil berdiri mengangkat sehelai baju kemeja biru yang masih diselimuti busa dan berbalik menoleh Ikbal.
Tanpa berkata-kata Ikbal langsung masuk ke kamar setelah melihat baju yang diperlihatkan Kiran. Dengan wajah datar Kiran kembali duduk di Kursi plastik kecil berwarna merah muda dan kembali menenggelamkan kemeja biru tersebut. Masih sambil memainkan nada lagunya dengan merdu, namun kali ini tak lagi berlirik. Sementara, Ikbal bergegas membuka lemari mencari baju yang serupa. Ikbal memang memiliki dua buah baju kemeja biru itu, namun yang dalam lemari ini belum pernah digunakannya untuk bekerja.
Dengan cepat Ikbal mengenakan baju, dia buat buat dirinya serapi mungkin dengan dasi hitam yang sudah bergantung di lehernya lalu keluar dari kamar dan mengenakan sepatu pentofel hitam mengkilap. Ia kenakan helm dan bergegas keluar rumah menggunakan motornya.
Tak lama setelah Ikbal meninggalkan rumah datang Weni dan Novela membawa muka lemas dan gestur lunglai. Mereka tampak kehabisan stamina saat ingin turun dari motor. Pakaian yang dikenakan remuk bagai jalan-jalan di perkampungan. Dengan cepat Novela turun dari motor dan secepatnya melepas sepatu putihnya yang telah berubah warna jadi abu-abu. Weni segera memasukan motor ke garasi.
Assalamualaikum,  ujar Novela menyeret tas besar yang dibawanya ketika kegiatan. Sementara Weni langsung masuk dan menyambar handuk yang bergantung di depan pintu kamarnya.
Wa’alaikumussalam,” jawab Kiran sambil merapikan ember, bak, dan deterjen bekas dia mencuci. Baca Juga: Kekerasan Seksual Non Fisik Terhadap Perempuan
Tanpa menunggu-nunggu Novela langsung membuka jaket hitamnya dan memanjakan tubuhnya terlantar di kursi. Sungguh ini adalah hari yang melelahkan bagi Novela. Tiga hari tiga malam kegiatan kampus membuatnya kehabisan tenaga. Untung saja hari ini hari kampus libur karena ada seminar untuk dosen sehingga tidak ada jadwal kuliah. Tiba-tiba Kiran datang membawakan dua gelas teh hangat dan menyajikannya di atas meja. Lalu duduk dekat Novela yang sudah memejamkan matanya.
“Bagaimana kegiatannya Vel, seru?” ucap Kiran.
“Seru Ki, kalau saja ada kegiatan itu lagi aku orang pertama yang mengundurkan diri,” jawab Novela tanpa membuka matanya.
“Emangnya kenapa, Vel,? bukannya kegiatan seperti itu yang selalu kamu tanyakan dulu sebelum masuk kuliah.?”
Novela memang suka jalan-jalan, dia suka ke pantai, gunung, air terjun. Dia selalu suka melihat pemandangan alam. Baginya tidak ada yang lebih menenangkan dibanding menikmati alam sambil bersantai dengan segelas teh es manis. Bahkan Novela sering dimarahi orang tuanya karena pergi sendiri ke pantai. Semenjak masuk kuliah Novela jarang menikmati alam, tak seperti dulu waktu sekolah yang setiap hari minggu hanya dihabiskannya bersantai di pantai, kadang di gunung, kadang di air terjun jika ada temannya. Yang pasti dia selalu pergi ke pantai setiap minggu karena jika ke pantai sendiripun tak masalah baginya.
“Tapi yang ini lain, Ki, jangankan mau menikmati suasana alam, mau mandipun kami harus mengantri satu sampai dua jam, setelah itu makan lalu lanjut kegiatan lagi jam 1 hingga jam 5 sore,” ujar Novela yang masih enggan membuka matanya.
“Memangnya apa kegiatan yang kalian lakukan selama tiga hari itu?” balas Kiran yang juga tampak lelah, ia sandarkan belakangnya ke badan kursi.
“Banyak, Ki.”
“Udah, minum dulu teh panas itu.”
Novela membangkitkan tubuhnya, mematahkan pinggang dan lehernya ke kiri dan kanan. Sambil menyeruput teh panas Novela melihat mata Kiran yang merah bekas menangis. Walaupun perasaan Kiran sudah dibuat tenang oleh Rega secepat kilat, namun Rega tak dapat membuat sembab mata Kiran hilang secepat itu.
“Kamu nangis, Ki?” tanya Novela dan teh panasnya yang masih enggan untuk dilepaskannya.
“Iya Vel, tadi.”
“Masalahnya?” langsung disambar Novela yang penasaran.
“Tadi Rega dan Ikbal bertengkar.”
“Di mana, Rega datang ke sini?” Novela semakin memfokuskan matanya pada wajah Kiran dan menaruh teh panasnya.
“Di hp,” jawab Kiran singkat.
“Bagaimana ceritanya, kok bisa, Ki?”
“Tadi pagi Rega Video call.”
“Terus,” Novela semakin penasaran.
“Tiba-tiba Ikbal merampas hp di tanganku, dan bicara sama Rega,” Kiran menarik nafas panjang dan sejenak memejamkan matanya sambil tersandar nyaman di kursi.
“Terus, terus Ikbal ngomong apa sama Rega?”
“Entahlah, yang pasti Rega sangat marah sama Ikbal, begitu juga Ikbal terdengar marah-marah pada Rega, aku tahu Rega tak suka dengan kelakuan Ikbal yang tiba-tiba merampas hp di tanganku, namun aku tak tahu maksud Ikbal yang tiba-tiba marah pada Rega dengan alasan menggangu,” jawab Kiran sambil memutar-mutar ujung jilbabnya dengan jari.
“Terus, kamu kenapa sampai bisa nangis, Ki?”
“Aku takut Vel, kau tahu sendirikan kalau Rega udah marah itu seperti apa.”
“Iya Ki aku ngerti, ngomong-ngomong Ikbal udah ke bandara, Ki?” tanya Novela sambil menggerakan lincah matanya menyelusuri ruang-ruang rumah.
“Udah, Vel,” jawab Kiran tanpa mengangkat pandangannya pada ujung jilbab yang dimainkannya.
“Yang aku heran ni, Ki, kenapa Ikbal jadi emosi gitu ya sama Rega?” ujar Novela dengan sedikit memelankan volume suaranya.
“Entahlah Vel, aku juga heran kenapa Ikbal selalu sensi pada Rega,” jawab Kiran santai seolah tak mau tahu apa yang menyebabkan Ikbal begitu sensi kepada Rega.
“Jangan-jangan Ikbal cemburu Ki, soalnya setiap kali kamu bicara sama Rega saat itu juga raut muka Ikbal berubah, kadang kelakuannya pun aneh seolah ingin membuat Rega cemburu,” ujar Novela menetapkan tatapannya pada wajah Kiran.
“Apaan sih, Vel, mana mungkin Ikbal cemburu,” balas Kiran menatap wajah Novela dan seketika menghentikan jemarinya.
“Siapa tahu kan, Ki, soalnya aku sering memerhatikan tingkahnya berubah setiap kali Rega menelponmu,” ujar Novela.
“Mana mungkin Vel, aku itu sudah lama kenal Ikbal, dia memang suka menasihatiku,” meyakinkan Novela.
“Ya, kita kan tak tahu hati orang bagaimana, Ki,” sambung Weni dari dalam kamar yang dari tadi mendengarkan mereka. Weni langsung keluar menghampiri Kiran dan Novela dengan handuk yang masih tergulung di kepalanya, sambil mengusap-usap tangan kiri dan kanannya bergantian meratakan handbody yang ditaburnya di kedua tangannya.
“Tapi aku sudah lama kenal Ikbal, Wen, menurutku dia biasa-biasa saja, aku tak pernah merasa dia memperlakukan aku lebih dari sahabat yang sudah lama dekat. Lagian, kalaupun dia suka kenapa tak pernah bilang kalau dia memang suka,” jawab Kiran yakin bahwa Ikbal tak pernah menyukainya, kalaupun Ikbal meperlakukannya lebih Kiran hanya menganggap itu biasa saja sebab mereka memang sudah begitu akrab dari sekolah dulu.
“Iya juga sih, Ki,” balas Weni lalu mengambil segelas teh hangat di atas meja dan menyeruputnya sedikit lalu kembali menempatkannya ke tempat semula.
“Udah lah, pusing,” ucap Kiran lalu beranjak dari kursi dan kembali melanjutkan kegiatannya menjemur pakaian yang belum selesai dijemurnya. Lalu, disusul Novela dengan cepat mendarat di kamar mandi. Sementara Weni memanjakan dirinya tersandar di kursi sambil menikmati teh hangat buatan Kiran. 
***

Posting Komentar

2 Komentar