Novel Romantis Sejarah

Misteri Nafsu Berahi di Kampung Tetek (Part 4)

Matanya masih berat ketika tangannya memastikan, menaksir pakaian dari badan hingga selangkangan. Hatinya lega menyadari apa yang ia kenakan masih berada di tempat seperti sebelum ia memejamkan mata malam hari. Perlahan-lahan ia bangkit dari rebah agar derit pangkeng yang terbuat dari susunan papan dialasi belungkor itu tak membangunkan istrinya. Namun, usaha Sukri gagal. Sumi, istrinya terbangun ketika bahu Sukri baru saja lepas dari susunan papan beralas anyaman daun pudak itu.

Aroma kopi menyengat hingga ke luar rumah, tercium oleh Sukri yang tengah memeriksa pohon asam samping rumahnya. Batang pohon sedikit basah bekas hujan malam tadi. Berbekal pengalaman yang telah belasan tahun menyadap karet, Sukri tahu bahwa hujan malam tadi tidak deras dan masih bisa untuk menyadap. Jika hujan deras, tentu batang pohon karet akan basah dan dialiri air. Dengan demikian ia tidak bisa menyadap, sebab, aliran getah karet yang telah disadap akan sulit untuk masuk ke dalam tempurung kelapa. Kalaupun masuk, tempurung hanya akan dipenuhi air dan tak bagus diolah menjadi getah, getah tidak akan mengeras jika dicetak sekalipun dicampur cuka.

Melihat Sukri di bawah, beberapa ayam yang telah bangun tampak waspada. Si rotek, ayam jantan Sukri mengepak-ngepakkan sayap mengusir embun di bulunya. Sementara, Sukri mulai mengasah lading pat (begitu orang kampung Sukri menamai alat penyadap pohon karet). Sebetulnya nama alat tersebut fahart, karena dianggap terlalu sulit penyebutannya, orang kampung menamainya lading pat. Tak ada yang tahu siapa orang pertama menyebutkannya. Hingga berapa keturunan, lading pat menjadi satu-satunya untuk menyebut benda yang tampak berlipat bagian ujungnya itu. Dan, sekarang Sukri tengah mengasah lading  pat miliknya dan milik istrinya. Tak membutuhkan waktu lama untuk Sukri mengasah dua buah lading pat karena cahaya mulai merangkak naik.

Capat dah, Ngah. Dah tinggi ari yo.”

Sumi telah selesai berkemas menggunakan celana dan baju panjang yang beberapa bagiannya, terutama pergelangan baju dilekati getah karet. Ia duduk sambil menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng buatannya, beberapa ia masukan dalam plastik hitam untuk bekal.

Nolok dah gih!” kata Sukri setelah memasukan lading pat ke dalam ember Sumi.

Lading kubawak duak igek.”

Sumi telah ke luar rumah dan mendongak ke langit. “Usah lamak gilak, Ngah! Bukan agek rammang yo!”

Sumi berjalan menuju kebun. Sementara, Sukri duduk di kursi dapur mengisi perut dengan kopi dan pisang goreng. Kumis dan janggut tipisnya bergoyang seirama, matanya membulat lebar menatap kosong. Kaki sebelah kanan ia tengkuk dan bertemu ke dadanya. Ia tersadar, pandangannya teralih ketika tangannya tak lagi menemukan pisang goreng di dalam piring. Lalu, ia seruput habis kopinya dan segera mengganti pakaian.

Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 2

Sukri tergesa mengganti celana, sebab dari luar rumahnya terdengar seseorang beberapa kali membunyikan lonceng dan berteriak memanggil namanya. Ia mendapati Mat Kontan di depan bersama keranjang yang terkulai di belakang sepeda tuanya.

Ari itok nimbang, sore kalak dah ngantar ke Kartiase!” Katanya pada Sukri yang baru saja membuka pintu.

“Jam berape nimbang, Mat?”

“Jam sembilan ke jam sepuloh ke kalak be.”

Aog-aog. Ngeluarkannye lok lah pagi tok.”

Aoglah. Keluarkan dah be! Aku nimbang nak urang lok.”

Mat Kontan menaiki sepeda tuanya yang membawa keranjang anyaman bambu. Satu timbangan ia letakkan di sebelah kanan, dan sebelah kiri ia isi batu agar beratnya seimbang.

Hanya Mat Kontan pengepul karet di kampung ini yang membayar langsung ketika selesai ditimbang. Itu sebabnya orang-orang senang menjual karet mereka padanya. Biasanya, pengepul lain membawa hasil karet warga dan menjual terlebih dulu ke pasar Kartiasa, setelah itu baru ia bagikan uang karet warga yang dibawa. Pun orang-orang tak tahu pasti berapa berat hasil karet mereka sesungguhnya, semuanya dipercayakan kepada pengepul, beda sekali dengan Mat Kontan yang menimbang dan membayar di tempat. Agaknya, itulah yang membuat orang manamainya Mat Kontan. Tubuhnya kurus kering, rambut putihnya hanya tersisa di belakang serta janggutnya yang selalu ia pelintir menjadikan Mat Kontan mudah untuk dikenali.

Sukri menutup pintu dan segera ke luar lewat pintu belakang menuju kebun. Ada tiga keping karet hasil tiga hari berturut-turut yang disimpanya di kebun, uang hasil timbangan tiga hari lalu juga mulai menipis. Beruntung beras tidak beli karena ia dan Sumi juga bertani padi di dekat tanah Wan Timah dan sekalian mengurus tanah milik Wan Timah.

Di samping tanah mereka tepat tanah Wan Timah beserta hamparan padinya yang hijau, di tengah hamparan hijau batang padi terdapat satu dangau papan beratap daun kuning kecoklatan. Dangau itu milik Wan Timah dulunya, di sanalah ia istirahat ketika lelah bertani. Sekarang dangau itulah jadi rumah kedua buat Sukri dan istrinya. Dan, merekalah yang menggelola tanah Wan Timah. Mereka juga yang selalu memberi Wan Timah makan siang dan malam. Beruntung Wan Timah masih bisa mandi sendiri, buang air sendiri sehingga mereka hanya perlu mengantar makanan kepada Wan Timah, membagi hasil kebun dari tanah milik Wan timah yang mereka kebuni.

Jika tidak ada kegiatan atau sedang capai kerja, biasanya Sumi membantu-bantu merapikan rumah Wan Timah. Seminggu yang lalu Sukri baru saja mengganti beberapa lantai papan rumah Wan Timah. Lantai tempat Wan Timah mandi juga ia ganti agar tak jebol ketika Wan Timah berada di sana. Beberapa penyangga rumah yang mulai goyang juga ia tambah penyangga menggunakan aor (Bambu besar).

            Matahari sudah begitu terik ketika Sukri dan Sumi selesai menyadap dan mencetak hasil karet ke dalam bak persegi panjang. Air karet dicampur dengan sedikit cuka khusus getah karet agar keras dan membeku sempurna. Sukri mengeluarkan kepingan karet yang dijejali pakis-pakis kering dan ranting, ia timbun di dalam parit. Tiga keping karet timbunan telah dikeluarkan. Kepingan pertama ia masukkan ke dalam ember Sumi, yang dua ia pikul meggunakan kayu. Karet bergelatung di depan dan belakang kayu yang ia pikul. Sumi masih meggemasi barang bawaannya. Getah karet hasil sadapannya telah ia cetak dan ia tutup menggunakan terpal.

Bile Mat Kontan nak marrang, Ngah?” Katanya sambil menjangkau ranting kayu untuk ia letakkan di atas terpal. Baca Juga: Cerpen Penungguan Tiada Ujung

Tangah ari toklah nimbang. Kalak die nak marrang.”

“Oo, nolok dah be, Angah! Kalak dah berangkat die.”

Sukri memikul dua karet dan berjalan meninggalkan Sumi. Sementara itu, Sumi masih duduk dan menenggak air dan mengunyah pisang goreng bekalannya yang telah dingin dan lunglai. Tak lama ia bangkit, ia junjung ember yang telah berisi sekeping karet tergulung di dalamnya. Sumi melenguh ketika menaikkan ember ke kepalanya, wajah putihnya basah oleh keringat yang mengucur bagai embun di dedaunan. Seketika langkah Sumi tanpa ragu meninggalkan kebun, menyisakan jejak sepatu di tanah basah.

***

Matahari telah tinggi ketika Sukri membawa tiga keping karet ke warung Mat Kontan. Di samping warung terhampar beberapa keping karet yang dijemur, parit di dekatnya hampir penuh oleh karet warga yang direndam agar tak menyusut. Karet yang dijemur Mat Kontan merupakan karet dengan kualitas bagus menurutnya dan telah beberapa hari dijemur. Setelah dikeringkan, harga karet akan tinggi dari karet yang masih basah.

Suasana di penimbangan ramai membuat Mat Kontan kewalahan. Orang-orang mengantre, berbaris sambil membawa hasil karet mereka. Ia lihat Sukri baru saja tiba dan meletakkan karetnya di tanah. “Suk,” teriaknya sambil melambai Sukri.

Setengah berlari Sukri menghampiri Mat Kontan yang langsung mencatat dan membayar hasil karet milik salah seorang warga. “Tulongek lok aku, kau timbang-timbang lok ye, aku nyatatnye,” katanya menunjuk-nunjuk menggunakan pena di tangannya.

Karet warga yang tergeletak di samping pemiliknya segera ditimbang oleh Sukri, setengah berteriak memberitahu hasil timbangan kepada Mat Kontan. Mat Kontan cekatan mencatat dan membayar karet yang telah ditimbang.

Orang-orang yang telah selesai menimbang karetnya langsung memenuhi warung Mat Kontan. Istri Mat Kontan, Ngah Dare kewalahan melayani pembeli. Sesak, kalut, panas dan bau-bau karet dan bau tubuh orang-orang menguar, menguap di dalam warung yang sesak. Ditambah panas yang terik semakin membuat bau menyengat. Pertanyaan-pertanyaan tentang harga barang tak hentinya dilempar, membuat Ngah Dare tak kuasa menjawab satu-satu.

Di penimbangan, Sukri semakin tangkas menaik-turunkan karet yang ia timbang sebab panas semakin menyengat. Pepohonan di dekat penimbangan sengaja ditebangi Mat Kontan agar matahari langsung membakar karet yang ia susun. Tempat inilah yang paling panas di kampung Sungai Nyulung, tempat Mat Kontan menghampar karet-karetnya.

Timbangan yang bergelantung tak sempat berhenti bergoyang barang sesaat. Beberapa perempuan masih mengantre membawa keret yang terkulai di sepedanya. Beberapa tampak gelisah karena terlalu lama mengantre membuat karetnya menyusut, jika semakin lama tentu beratnya akan berkurang. Sebagian perempuan telah membuang tanggoi (topi yang terbuat dari anyaman bambu atau pelepah, berbentuk kerucut) dan mengipaskan ke wajah mereka sendiri.

Lanjot!” teriak Sukri membuat beberapa orang mendekat.

Mat Kontan duduk di kursi di bawah pohon mangga setinggi empat meter, daun dan ranting yang jarang hanya melindungi Mat Kontan sendiri dari terik matahari. Ia amati karet yang terkumpul cukup banyak, perahunya tidak cukup besar untuk membawa semuanya sekali jalan. Ia tak ingin mrngambil risiko, lebih baik kerja dua kali daripada karet hanyut dan perahu tenggelam pikirnya. “Duak puloh duak setangah.”  Mat Kontan terperanjat oleh suara Sukri.

Berape, Suk?”

Duak duak setangah.”

Duak duak setangah,” ulang Mat Kontan pelan sambil mencatat.

Iye masokkan ke parik langsong dah, Suk! Daan muat perau,” perintahnya pada Sukri. “Isok dah barok bawak. Banyak gilak.”

Baca Juga: Cerpen Belasan Kemaluan Meringkuk Kedinginan

Beberapa karet langsung Sukri lempar ke dalam parit tempat timbunan karet Mat Kontan, termasuk karet miliknya yang baru saja selesai ia timbang. “Duak puloh annam” katanya memberitahu hasil karetnya sendiri sambil duduk di samping Mat Kontan; menunggu Mat Kontan membayar tiga keping karet miliknya.

Suara Azan berkumandang dari surau yang tak jauh dari rumah Mat Kontan. Sukri tengah memasukkan uang ke dalam kantong hitam miliknya ketika Mat Kontan mengajaknya. Selesai salat mereka akan memasukkan karet ke dalam perahu untuk dibawa.

Mandek, makan lok be,” kata Mat Kontan.

Jak jam tige kalu pasar barok tutup?”

“Jam ampat pun maseh bukak.”

“Oh, jak lamak ke. Jam satu be kalak bemuat. Paling mak balas manit dah lakak muatkannye ye be. Aoglah, balik lok lah mun gaye, mandek makan ape.”

Aog-aog.”

Di jalan menuju rumahnya Sukri berpapasan dengan Muslimin. Langkahnya laju.

Nak ke mane, Min? Kan rupe nuntutek.”

Juhor lah. Kau dari mane, kan rupe ngancangek inyan ke kabon,” katanya melihat Sukri masih memakai baju kebun dan memikul kayu bekas ia membawa karet.

“Dari nimbang siye.”

Maseh rage lamak ke?”

Gayye dibe maseh, Min.”

Payah inyan juak nak naik be i.”

“Kau daan nimbang tadek.”

Alang-alang nak ditimbang. Sean inyan aek gatah duak tige ari tok be. Kuat inyan panasnye.”

Sukri melihat Sumi berjalan ke arah mereka, membawa bakul berisi lauk dan nasi buat Wan Timah. Beberapa bulan terakhir kegiatan mengantar makanan ke rumah Wan Timah dilakukan Sumi dua hari sekali; tengah hari dan petang. Rumah Wan Timah berada di ujung kampung. Di depan rumahnya berdiri kokoh lima batang pohon mangis yang rimbun. Jika sedang musim mangis tiba, pohon mangis itulah yang paling lebat buahnya. Orang-orang bebas mengambil buahnya. Anak-anak kecil selalu ramai berkumpul, memanjat buah dan bermain di bawahnya.

Lamaknye be, Ngah, nimbang. Sampai dah tangah ari,” kata Sumi menghampiri suaminya dan Muslimin.

Muslimin tampak kikuk ketika Sumi berada di antara mereka. Rambut Sumi yang masih basah, tubuh putih, leher jangkung membuat ingatannya kembali pada malam beberapa bulan yang lalu. Tatapannya langsung ia alihkan ke bakul ketika mata Sumi menoleh wajahnya.

Bawak balik kapak kalak, untok nampang kayu,” kata Sukri pada Sumi yang telah berjalan membelakangi mereka. Kapak itu ketinggalan di rumah Wan Timah bekas ia menebang pohon untuk penyangga rumah Wan Timah beberapa bulan lalu.

Suara Iqomah dari surau yang tak jauh dari mereka terdengar jelas. Muslimin bergegas pamit. Di depannya Sumi berjalan pelan. Sebelum masuk di halaman surau, mata Muslimin mengamati langkah Sumi hingga menghilang terhalang pepohonan. Ada perasaan yang sulit dijelaskan oleh Muslimin. Di umurnya yang baru empat puluh, tentu keinginan untuk mempunyai istri masih sangat didambakannya. Beberapa bulan semenjak kejadian malam itu, pikirannya selalu saja tertuju kepada Sumi, tak bisa ia lupakan. Semakin hari perasaan itu semakin kuat berdentum di dadanya. Hasrat untuk memiliki Sumi semakin tumbuh di dada Muslimin.

Baca Juga: Peristiwa Telaga Tua

Pict: @angesvdl

***

Posting Komentar

0 Komentar