Cerpen Romantis 21+

Belasan Kemaluan Meringkuk Kedinginan

Pukul lima pagi, hujan begitu deras mengguyur kota. Santo terbangun sebab tubuhnya menggigil hebat. Ia taksir semua benda di sekelilingnya. Boneka beruang berwarna kuning sebesar tubuhnya terkulai lemah di pojok kamar, saling himpit dengan pakaian dalam keranjang berwarna merah muda. Di pojok dekat pintu, beberapa botol bekas obat berwarna putih dan sampah obat-obatan lainnya berserakan di lantai. Cermin kecil berdiri di atas lemari kayu setinggi dadanya. Handuk berwarna biru tua tergantung di pintu kamar. Lampu kamar kuning temaram. Namun, tak ia temukan apa yang biasa diliihatnya ketika membuka mata. Semuanya, semua benda itu benar-benar asing baginya.

Beberapa detik kemudian tatapannya tertuju pada tubuhnya sendiri. Dan, betapa tertegunnya ia ketika menyadari kemaluannya meringkuk kedinginan tanpa mengenakan apa-apa. Baca Juga: Cerpen Penungguan Tiada Ujung

“Hey, kau memperkosaku?” katanya sambil menendang pelan sosok tubuh yang nyenyak tertidur di sampingnya.

“Setan, bangun woy. Kau memperkosaku?” setengah meradang ia mengguncang tubuh wanita yang tergolek tanpa busana itu.

Wanita itu tak juga membuka mata. Beberapa kali Santo mengguncang tubuhnya, wanita itu tetap tak acuh, bahkan tak bergerak sama sekali, damai dan tenang. Napasnya telah lenyap entah kemana. Beku. Bingung. Takut. Segala kecemasan bercampur-baur dalam diri Santo ketika ia periksa urat nadi dan detak jantung wanita itu. Wanita itu tak lagi bernyawa. Terlelap dalam, menuju keabadian. Baca Juga: Di Bawah Pohon Beringin

***

“Kalau yang mulia hakim tak percaya silakan tanya sendiri kemaluan saya,” katanya putus asa setelah divonis hukuman seumur hidup, sambil membuka celana di depan hakim.

Semua yang berada di ruang persidangan terkejut oleh kejadian itu. Seumur hidup, baru kali ini seorang hakim disuruh berbicara dengan kemaluan terdakwa. Mungkin dalam sejarah peradaban manusia, inilah salah satu kejadian yang patut dicatat sejarah. Mungkin tak akan pernah ada kejadian serupa di masa depan dan tak pernah pula terjadi di masa silam.

Beberapa wartawan berebut memotret kemaluan Santo, tak terkecuali hakim dan orang-orang yang hadir dalam persidangan hari itu. Para aktivis yang turut mengawal kasus tersebut hingga persidangan mengutuk keras ulah Santo. Segala pernyataan Santo dinilai tak masuk akal dan tak mungkin seorang perempuan berbuat demikian.

“Dia, benar-benar gila. Mana mungkin perempuan mau memperkosanya.”

“Kalau dia gila tak mungkin hukum bisa menyentuhnya. Lebih baik dia waras, sebab bagaimanapun dia harus dihukum atas perbuatannya. Aku sungguh tak terima jika dia gila.”

“Benar, dia tidak gila. Atau mungkin dia pura-pura jadi gila?”

“Jika dia berpura-pura tentu akan terbongkar.”

“Akhir-akhir ini memang banyak kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila. Beberapa ulama ditusuk, dibunuh. Apa mungkin pelakunya benar-benar gila. Apa orang gila juga punya organisasi dan bermufakat untuk membunuh ulama-ulama itu, ya?” kata salah seorang yang mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaannya.

“Kalau yang itu memang orang gila asli.”

Perbincangan bernada pelan itu berlangsung ketika kemaluan Santo terkulai lemah di depan hakim. Kemaluan itu tampak tertunduk malu sebab jadi pusat perhatian. Seumur hidupnya, tak pernah diperlihatkan kepada orang-orang asing, apalagi dalam keadaan ramai seperti ini. Sebisa yang ia ingat, hanya kedua orangtua Santo yang sering ia lihat, itupun sudah belasan tahun lalu. Ia bahkan sudah lupa seperti apa wajah kedua orangtua itu. Selain kedua orangtua Santo, ia tak pernah dihadapkan dengan siapapun. Bahkan, ketika Santo buang air kecil atau besar yang ia lihat hanyalah dinding-dinding kasar toilet dan seperangkat alat mandi milik Santo atau entah milik kedua orangtuanya.

Tak tahu kenapa melihat orang ramai-ramai memandanginya membuat ia menjadi kikuk. Ia sungguh bingung dengan kejadian itu, mengapa dirinya dipamerkan di depan orang-orang ini. Siapa pula orang-orang yang duduk berbaris itu. Dan apa pula kepentingan mereka dengannya. Ia benar-benar malu dan bingung.

***

“Kenapa kau tidak mau bersaksi atas apa yang terjadi, dasar burung terkutuk. Gara-gara kamu aku harus menghabiskan hidupku di dalam penjara. Kenapa kau tidak mau bersaksi, hah,” Santo memelintir kemaluannya kuat-kuat.

Satu tahun di penjara, Santo bahkan telah dinilai gila oleh beberapa tahanan maupun sipir penjara. Sebab, hari-hari dihabiskannya hanya memelintir kemaluannya sendiri. Siang-malam, pagi-petang, panas maupun dingin selalu dihabiskan dengan memelintir kemaluannya sendiri. Sementara itu, diskusi-diskusi bertemakan kesetaraan gender, kekerasan seksual terhadap perempuan dan sejenisnya semakin marak diadakan. Semakin gencar disosialisasikan. Orang-orang seperti Santo dikutuki habis-habisan.

Sampai hari ini, sehari setelah Santo dipindahkan ke RSJ, kejadian malam itu sama sekali tak dapat diingatnya. Bahkan, Santo belum tahu apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya dan wanita itu. Beberapa potongan kejadian saja yang masih melekat di kepalanya, dan tentu tak masuk akal jika kejadian seperti itu dijadikan alasan untuk menyampakkannya ke dalam kehidupan kelam penjara.

Malam itu, hal yang paling lekat di kepalanya adalah sosok tubuh wanita yang terkulai lemah di sudut gang-yang kemudian diketahuinya wanita itu adalah mahasiswi yang tinggal di indekos dekat perempatan gang. Santo tentu tahu, sebab setiap hari ia melewati gang itu saat berangkat kuliah dan melihat wanita itu pula dengan seragam kampusnya yang serba putih, Santo tahu itu baju mahasiswa kesehatan. Kejadian yang juga diingat Santo tentang wanita itu ialah ketika sore hari Santo melewati gang, dan mendapati wanita itu bermain bulu tangkis bersama teman-temannya di badan jalan. Saat itu, Santo yang mengendarai motor harus bersabar menunggu bola jatuh ke tanah agar ia bisa leluasa melewati rombongan wanita itu dan teman satu indekosnya.

Hanya dua kejadian itulah yang masih lekat di kepala Santo tentang wanita itu, selebihnya Santo tak ingat sama sekali. Lantas apa yang membuat ia dipenjara. Ia sendiri tidak tahu, yang ia tahu bahwa dirinya dinyatakan sebagai pemerkosa sekaligus pembunuh wanita itu. Cuma itu yang ia tahu. Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek

***

Aku tidak tahu harus seperti apa menjelaskannya, atau kalaupun kujelaskan tentu aku tidak tahu caranya. Apakah mereka yang duduk berbaris itu akan mengerti maksudku, andaikata kujelaskan dengan cara tegak dan mengeras atau sesekali mengangguk? Tentu mereka tidak akan mengerti. Dan, apa pentingnya kau memamerkanku lagi di depan mereka ini. Apakah mereka tidak punya benda sepertiku di dalam celana mereka. Siapa lagi orang-orang ini, kumal dan bau. Kenapa mereka semua menatapku begini. Mereka bukan hakim seperti yang tahun lalu, kan? Kenapa kau menuntutku untuk menjelaskan semuanya di depan mereka? Kalaupun mereka tahu, tentu tak akan merubah apa-apa.

Ada-ada saja kau Santo, bukankah kau tahu sendiri, bahwa selama ini aku tak pernah dikenalkan dengan siapapun. Bagaimana mungkin sekarang aku harus menjelaskan kejadian malam itu. Kenapa harus aku dilibatkan tentang perkara yang aku sendiri tidak ikut berperan di dalamnya. Bukankah segala kegiatan yang kulakukan atas dasar keinginanmu sendiri. Kenapa aku yang harus menjelaskannya. Apa kau tidak ingat, malam itu kau dan wanita itu secara sadar menenggak air dalam botol-yang tak lama menjadikanmu terbaring tak berdaya. Itu dugaanku, sebab ada bekas botol masih tergeletak di kasur. Bahkan ketika aku pertama kali melihat wanita itu, tubuhmu sudah tak berdaya. Seperti mayat terbaring kaku. Apa kau tidak ingat semua itu? Oh, iya, tentu saja kau tak ingat semuanya, sebab kau sudah tak sadarkan diri ketika wanita itu menelanjangimu.

Biar kuceritakan sedikit padamu. Tapi, dengan cara apa aku harus mengatakannya. Kau sendiri tak akan paham andaikata kuterangkan. Biarlah kuceritakan dengan caraku sendiri, paham ataupun tidak itu urusun belakang. Malam itu, aku tidak tahu seperti apa pertemuanmu dengannya hingga membawa kalian berdua di kamar sempit itu. Yang aku tahu, kau sudah tergolek di atas kasur tanpa bergerak sedikitpun. Ketika wanita itu mendapatiku malam itu, ia sudah bertelanjang dada. Matanya sendu. Tangannya halus. Tubuhnya putih bersih dengan rambut yang terurai di buah dadanya. Tak lama ia mengambil satu botol air, memasukkan beberapa tablet obat yang telah ia remukkan menggunakan jari-jari halusnya. Beberapa bungkus obat serbuk juga ia campur dalam botol, lalu ia meminumnya sampai habis. Dua menit kemudian ia membuka celananya dan menindihmu dengan ganas. Saat itu pula aku merasa tubuhku begitu hangat dalam ruang yang teramat gelap dan sempit. Sekadar itu yang aku tahu, aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya sampai kau terbangun dan mendapatiku meringkuk kedinginan. Dalam kehangatan dan kegelapan aku masih bisa mendengar isak tangis wanita itu, tangisan penyesalan, tangisan keputusasaan.

***

Sore itu, hujan baru saja reda. Langit masih muram kelabu. Taman-taman di luar basah. Teralis dan dinding serta lantai keramik dingin menyengat. Di pojok ruangan, belasan orang berkumpul, saling himpit satu sama lain. Tak ada yang bersuara kecuali Santo yang sesekali bersuara pelan, kadang mengangguk sambil lekat menatap kemaluannya yang menghadap orang-orang. Semuanya khidmat mendengarkan perbincangan Santo tanpa suara. Sesekali, yang lain mendekatkan telingannya, namun tak ia dengar apapun dari kemaluan Santo. Semuanya turut mengangguk saat melihat Santo mengangguk, tertawa ketika Santo tertawa. Semuanya bergerak sesuai gerakan tubuh Santo yang bersila membungkuk. Tiba-tiba Santo tertawa keras dan puas-berdiri di antara yang lain-yang masih duduk bengong menatap kemaluannya.

“Kalian dengar sendiri, kan. Wanita itu yang memperkosaku,” katanya menjulur-julurkan kemaluannya ke wajah yang lain sambil tertawa keras.

Semua yang duduk turut berdiri dan membuka celananya, meniru apa yang dilakukan Santo. Suasana menjadi kalut oleh tawa-tawa lepas. Teriak histeris penuh kemenangan. Di pojok ruangan belasan kemaluan meringkuk kedinginan.

 Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek Part 2

 Edri Ed

Pontianak, 22-2-2021

Posting Komentar

0 Komentar