Belasan Kemaluan Meringkuk Kedinginan
Pukul
lima pagi, hujan begitu deras mengguyur kota. Santo terbangun sebab tubuhnya
menggigil hebat. Ia taksir semua benda di sekelilingnya. Boneka beruang
berwarna kuning sebesar tubuhnya terkulai lemah di pojok kamar, saling himpit
dengan pakaian dalam keranjang berwarna merah muda. Di pojok dekat pintu,
beberapa botol bekas obat berwarna putih dan sampah obat-obatan lainnya
berserakan di lantai. Cermin kecil berdiri di atas lemari kayu setinggi
dadanya. Handuk berwarna biru tua tergantung di pintu kamar. Lampu kamar kuning
temaram. Namun, tak ia temukan apa yang biasa diliihatnya ketika membuka mata.
Semuanya, semua benda itu benar-benar asing baginya.
Beberapa
detik kemudian tatapannya tertuju pada tubuhnya sendiri. Dan, betapa tertegunnya
ia ketika menyadari kemaluannya meringkuk kedinginan tanpa mengenakan apa-apa. Baca Juga: Cerpen Penungguan Tiada Ujung
“Hey,
kau memperkosaku?” katanya sambil menendang pelan sosok tubuh yang nyenyak
tertidur di sampingnya.
“Setan,
bangun woy. Kau memperkosaku?” setengah meradang ia mengguncang tubuh wanita yang
tergolek tanpa busana itu.
Wanita
itu tak juga membuka mata. Beberapa kali Santo mengguncang tubuhnya, wanita itu
tetap tak acuh, bahkan tak bergerak sama sekali, damai dan tenang. Napasnya
telah lenyap entah kemana. Beku. Bingung. Takut. Segala kecemasan
bercampur-baur dalam diri Santo ketika ia periksa urat nadi dan detak jantung
wanita itu. Wanita itu tak lagi bernyawa. Terlelap dalam, menuju keabadian. Baca Juga: Di Bawah Pohon Beringin
***
“Kalau
yang mulia hakim tak percaya silakan tanya sendiri kemaluan saya,” katanya
putus asa setelah divonis hukuman seumur hidup, sambil membuka celana di depan
hakim.
Semua
yang berada di ruang persidangan terkejut oleh kejadian itu. Seumur hidup, baru
kali ini seorang hakim disuruh berbicara dengan kemaluan terdakwa. Mungkin
dalam sejarah peradaban manusia, inilah salah satu kejadian yang patut dicatat
sejarah. Mungkin tak akan pernah ada kejadian serupa di masa depan dan tak
pernah pula terjadi di masa silam.
Beberapa
wartawan berebut memotret kemaluan Santo, tak terkecuali hakim dan orang-orang
yang hadir dalam persidangan hari itu. Para aktivis yang turut
mengawal kasus tersebut hingga persidangan mengutuk keras ulah Santo. Segala
pernyataan Santo dinilai tak masuk akal dan tak mungkin seorang perempuan
berbuat demikian.
“Dia,
benar-benar gila. Mana mungkin perempuan mau memperkosanya.”
“Kalau
dia gila tak mungkin hukum bisa menyentuhnya. Lebih baik dia waras, sebab
bagaimanapun dia harus dihukum atas perbuatannya. Aku sungguh tak terima jika
dia gila.”
“Benar,
dia tidak gila. Atau mungkin dia pura-pura jadi gila?”
“Jika
dia berpura-pura tentu akan terbongkar.”
“Akhir-akhir
ini memang banyak kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila. Beberapa
ulama ditusuk, dibunuh. Apa mungkin pelakunya benar-benar gila. Apa orang gila juga
punya organisasi dan bermufakat untuk membunuh ulama-ulama itu, ya?” kata salah
seorang yang mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaannya.
“Kalau
yang itu memang orang gila asli.”
Perbincangan
bernada pelan itu berlangsung ketika kemaluan Santo terkulai lemah di depan
hakim. Kemaluan itu tampak tertunduk malu sebab jadi pusat perhatian. Seumur
hidupnya, tak pernah diperlihatkan kepada orang-orang asing, apalagi dalam
keadaan ramai seperti ini. Sebisa yang ia ingat, hanya kedua orangtua Santo
yang sering ia lihat, itupun sudah belasan tahun lalu. Ia bahkan sudah lupa
seperti apa wajah kedua orangtua itu. Selain kedua orangtua Santo, ia tak
pernah dihadapkan dengan siapapun. Bahkan, ketika Santo buang air kecil atau
besar yang ia lihat hanyalah dinding-dinding kasar toilet dan seperangkat alat
mandi milik Santo atau entah milik kedua orangtuanya.
Tak
tahu kenapa melihat orang ramai-ramai memandanginya membuat ia menjadi kikuk. Ia
sungguh bingung dengan kejadian itu, mengapa dirinya dipamerkan di depan
orang-orang ini. Siapa pula orang-orang yang duduk berbaris itu. Dan apa pula
kepentingan mereka dengannya. Ia benar-benar malu dan bingung.
***
“Kenapa
kau tidak mau bersaksi atas apa yang terjadi, dasar burung terkutuk. Gara-gara
kamu aku harus menghabiskan hidupku di dalam penjara. Kenapa kau tidak mau
bersaksi, hah,” Santo memelintir kemaluannya kuat-kuat.
Satu
tahun di penjara, Santo bahkan telah dinilai gila oleh beberapa tahanan maupun
sipir penjara. Sebab, hari-hari dihabiskannya hanya memelintir kemaluannya
sendiri. Siang-malam, pagi-petang, panas maupun dingin selalu dihabiskan dengan
memelintir kemaluannya sendiri. Sementara itu, diskusi-diskusi bertemakan kesetaraan
gender, kekerasan seksual terhadap perempuan dan sejenisnya semakin marak
diadakan. Semakin gencar disosialisasikan. Orang-orang seperti Santo dikutuki
habis-habisan.
Sampai
hari ini, sehari setelah Santo dipindahkan ke RSJ, kejadian malam itu sama
sekali tak dapat diingatnya. Bahkan, Santo belum tahu apa sebenarnya yang
terjadi pada dirinya dan wanita itu. Beberapa potongan kejadian saja yang masih
melekat di kepalanya, dan tentu tak masuk akal jika kejadian seperti itu
dijadikan alasan untuk menyampakkannya ke dalam kehidupan kelam penjara.
Malam
itu, hal yang paling lekat di kepalanya adalah sosok tubuh wanita yang terkulai
lemah di sudut gang-yang kemudian diketahuinya wanita itu adalah mahasiswi yang
tinggal di indekos dekat perempatan gang. Santo tentu tahu, sebab setiap hari
ia melewati gang itu saat berangkat kuliah dan melihat wanita itu pula dengan
seragam kampusnya yang serba putih, Santo tahu itu baju mahasiswa kesehatan. Kejadian
yang juga diingat Santo tentang wanita itu ialah ketika sore hari Santo
melewati gang, dan mendapati wanita itu bermain bulu tangkis bersama
teman-temannya di badan jalan. Saat itu, Santo yang mengendarai motor harus
bersabar menunggu bola jatuh ke tanah agar ia bisa leluasa melewati rombongan
wanita itu dan teman satu indekosnya.
Hanya
dua kejadian itulah yang masih lekat di kepala Santo tentang wanita itu,
selebihnya Santo tak ingat sama sekali. Lantas apa yang membuat ia dipenjara.
Ia sendiri tidak tahu, yang ia tahu bahwa dirinya dinyatakan sebagai pemerkosa
sekaligus pembunuh wanita itu. Cuma itu yang ia tahu. Baca Juga: Nafsu Berahi di Kampung Tetek
***
Aku
tidak tahu harus seperti apa menjelaskannya, atau kalaupun kujelaskan tentu aku
tidak tahu caranya. Apakah mereka yang duduk berbaris itu akan mengerti
maksudku, andaikata kujelaskan dengan cara tegak dan mengeras atau sesekali mengangguk?
Tentu mereka tidak akan mengerti. Dan, apa pentingnya kau memamerkanku lagi di
depan mereka ini. Apakah mereka tidak punya benda sepertiku di dalam celana
mereka. Siapa lagi orang-orang ini, kumal dan bau. Kenapa mereka semua
menatapku begini. Mereka bukan hakim seperti yang tahun lalu, kan? Kenapa kau
menuntutku untuk menjelaskan semuanya di depan mereka? Kalaupun mereka tahu,
tentu tak akan merubah apa-apa.
Ada-ada
saja kau Santo, bukankah kau tahu sendiri, bahwa selama ini aku tak pernah
dikenalkan dengan siapapun. Bagaimana mungkin sekarang aku harus menjelaskan kejadian
malam itu. Kenapa harus aku dilibatkan tentang perkara yang aku sendiri tidak
ikut berperan di dalamnya. Bukankah segala kegiatan yang kulakukan atas dasar
keinginanmu sendiri. Kenapa aku yang harus menjelaskannya. Apa kau tidak ingat,
malam itu kau dan wanita itu secara sadar menenggak air dalam botol-yang tak
lama menjadikanmu terbaring tak berdaya. Itu dugaanku, sebab ada bekas botol
masih tergeletak di kasur. Bahkan ketika aku pertama kali melihat wanita itu,
tubuhmu sudah tak berdaya. Seperti mayat terbaring kaku. Apa kau tidak ingat
semua itu? Oh, iya, tentu saja kau tak ingat semuanya, sebab kau sudah tak
sadarkan diri ketika wanita itu menelanjangimu.
Biar
kuceritakan sedikit padamu. Tapi, dengan cara apa aku harus mengatakannya. Kau sendiri
tak akan paham andaikata kuterangkan. Biarlah kuceritakan dengan caraku sendiri,
paham ataupun tidak itu urusun belakang. Malam itu, aku tidak tahu seperti apa
pertemuanmu dengannya hingga membawa kalian berdua di kamar sempit itu. Yang
aku tahu, kau sudah tergolek di atas kasur tanpa bergerak sedikitpun. Ketika wanita
itu mendapatiku malam itu, ia sudah bertelanjang dada. Matanya sendu. Tangannya
halus. Tubuhnya putih bersih dengan rambut yang terurai di buah dadanya. Tak lama
ia mengambil satu botol air, memasukkan beberapa tablet obat yang telah ia
remukkan menggunakan jari-jari halusnya. Beberapa bungkus obat serbuk juga ia
campur dalam botol, lalu ia meminumnya sampai habis. Dua menit kemudian ia
membuka celananya dan menindihmu dengan ganas. Saat itu pula aku merasa tubuhku
begitu hangat dalam ruang yang teramat gelap dan sempit. Sekadar itu yang aku
tahu, aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya sampai kau terbangun dan
mendapatiku meringkuk kedinginan. Dalam kehangatan dan kegelapan aku masih bisa
mendengar isak tangis wanita itu, tangisan penyesalan, tangisan keputusasaan.
***
Sore
itu, hujan baru saja reda. Langit masih muram kelabu. Taman-taman di luar
basah. Teralis dan dinding serta lantai keramik dingin menyengat. Di pojok
ruangan, belasan orang berkumpul, saling himpit satu sama lain. Tak ada yang
bersuara kecuali Santo yang sesekali bersuara pelan, kadang mengangguk sambil
lekat menatap kemaluannya yang menghadap orang-orang. Semuanya khidmat
mendengarkan perbincangan Santo tanpa suara. Sesekali, yang lain mendekatkan
telingannya, namun tak ia dengar apapun dari kemaluan Santo. Semuanya turut
mengangguk saat melihat Santo mengangguk, tertawa ketika Santo tertawa. Semuanya
bergerak sesuai gerakan tubuh Santo yang bersila membungkuk. Tiba-tiba Santo
tertawa keras dan puas-berdiri di antara yang lain-yang masih duduk bengong
menatap kemaluannya.
“Kalian
dengar sendiri, kan. Wanita itu yang memperkosaku,” katanya menjulur-julurkan
kemaluannya ke wajah yang lain sambil tertawa keras.
Semua
yang duduk turut berdiri dan membuka celananya, meniru apa yang dilakukan
Santo. Suasana menjadi kalut oleh tawa-tawa lepas. Teriak histeris penuh
kemenangan. Di pojok ruangan belasan kemaluan meringkuk kedinginan.
Pontianak, 22-2-2021
0 Komentar