
Penungguan Tiada Ujung
Aku
benar-benar tidak sadar akan airmataku. Tiba-tiba saja jatuh, mengalir deras
dari sudut yang tak dapat kupastikan. Entah kiri atau kanan. Entah luar entah
dalam. Menetes pada sampul buku di atas meja. Menggenang dan menyatu satu
persatu. Mengeristal. Memantulkan kilatan putih lampu teras.
***
Belum
genap setahun, ketika lebaran kemarin tangannya kuciumi. Ia wanita kuat. Wanita
yang sampai saat ini masih kubanggakan karena ketegarannya, kepasrahannya, kelembutannya,
melebur mengisi ruang-ruang semestinya. Tidak tumpang tindih satu sama lain. Tidak
saling menunjukkan mana yang lebih mendominasi. Semuanya berjalan seimbang. Baca Juga: Cerpen Romantis 21+
Tengah
hari itu, beberapa ucapannya membuatku tersentak. Mungkin seperti itulah
kebanyakan orang-orang lanjut usia. Mereka telah berdamai dengan maut-yang
sejatinya akan dialami oleh semua makhluk hidup. Suatu keniscayaan yang cepat
atau lambat akan melempar seseorang ke alam berikutnya. Alam yang penuh dengan
pertanyaan. Walau di alam dunia ini pertanyaan selalu diproduksi setiap detik dan
tak kalah peliknya.
Sembari melipat beberapa baju di muka pintu kamar, kalimat-kalimat dari mulut Uwan ringan keluar. Bahkan udara begitu pelan menghantarkannya ke gendang telingaku.
“Dari bapakmu belum lahir, Uwan, udah menunggu hari-hari terakhir, Uwan,” katanya pelan. Pelan sekali, menanggapi pernyataanku tentangnya, kenapa ia tak pernah sakit selama ini. Padahal, niatku hanya ingin mengetahui apakah ia pernah sakit atau tidak. Namun, tanggapannya tak kuduga sama sekali.
“Udah
puluhan tahun. Sampai kinitok, Uwan,
masih hidup.
“Sal, pun sampai udah besar,” katanya lagi, sambil melempar senyum dan sorot mata damai. Aku terpaku di hadapannya. Bingung. Tak tahu harus bagaimana.
“Sal, udah punya pacar?”
Kujawab pertanyaannya yang acak itu dengan menggeleng.
Sekali lagi, ia tersenyum. Entah untuk menertawakan atau sekadar pelengkap akhir jawabanku. “Sebelum, Uwan, ninggal, cepat-cepatlah, Sal, menikah!”
“Iya, Wan. Sal, selesaikan sekolah dulu.”
“Masih lama?”
“Tinggal tiga semester, Wan.”
“Tiga tahun?”
“Satu setengah, Wan.”
“Masih lama.”
Hening beberapa saat. Uwan melipat baju begitu pelan, seperti ada garis di bagian baju yang tak boleh melenceng sedikitpun dari radar matanya. Kaki kanannya ia lipat ke belakang.
“Sambil
nyelesaikan sekolah, sambil nyari calon. Biar sama-sama jalan.”
Ada nada mengharuskan dari ucapannya. Walau disampaikan pelan dan tenang, serta ditambahi simpulan senyum. Aku tahu kalimat itu adalah perintah yang Uwan sajikan dengan racikan paling halus.
“Iya, Wan.”
Beberapa baju telah rapi. Tirai kusam di muka pintu, disibak Uwan. Ia memutar pinggang, menaruh baju di lantai dalam kamar. Kulihat tengkuknya dijatuhi uban yang lepas dari simpulnya. Wajah dan lehernya tirus. Keriput. Kendur. Alisnya putih. Kulitnya masih kuning langsat, sangat serasi dengan kebaya hijau lumut yang ia kenakan. Entah sejak tahun berapa Uwan membeli baju itu, warnannya masih terang seperti baru.
“Uwan, sehat-sehat. Biar bisa lihat, Sal,
nikah nanti,” kataku memegang tangan ringkihnya. Meski aku tahu bahwa ia tak
pernah sakit selama ini.
Memang,
sejak aku kecil, atau bahkan sejak dalam kandungan, belum pernah sekalipun
kudengar Uwan sakit. Entah kudengar
dari orang lain atau kulihat dengan mata kepala sendiri. Sampai kini. Sampai
umurnya hampir menginjak kepala sembilan.
“Selain
nunggu mati, kinitok, Uwan, pun mesti
menunggu hari pernikahan, Sal. Entah mana yang lebih dulu.
“Kalaupun
masih ada waktu, Uwan, pun akan nunggu cicit pertama, Uwan, lahir dari perut,
Sal.”
Aku
tak dapat menjawab lagi. Membatu mendengar kalimat Uwan. Sepertinya, setiap detik dan detak jantungnya memang diabdikan
untuk menunggu. Barangkali, ketika dalam perut ibunya, pertanyaan kapan ia
lahir ke dunia sudah berkecamuk di dada dan kepala Uwan. Dan, pertanyaan lain tentu tak habis-habis sampai akhir hayat.
Pertanyaan yang sebetulnya bermuara pada penungguan tiada ujung. Jika hidup,
kapan akan mati. Jika mati, kapan dihidupkan kembali. Andai dihidupkan kembali,
kapan akan mati lagi. Atau yang lebih sederhana, kapan sebetulnya aku akan
menikah? Entahlah. Bukankah hal-hal yang ditunggu Uwan dan dibebankannya padaku juga menjadi pertanyaan pelik di
kepalaku sendiri. Kapan? Ah, hidup dan mati memang diciptakan untuk menunggu.
***
Baca Juga: Cerpen Romantis Tentang Pelacuran
Umur Uwan tentu lebih tua dari umur negara ini berdiri. Dengan umur lebih muda dari Uwan, banyak sekali penyakit yang telah dideritanya. Komplikasi ini dan itu. Dari jantung kota hingga ujung desa. Menular dan menggerogoti begitu ganas. Uwan tidak. Uwan masih saja sehat dan kuat. Masih teduh dan arif. Masih teguh dan punya daya hidup tinggi, meski telah berdamai dengan mati. Atau, memang aku sendiri yang tak tahu bahwa ia memendam luka di dalam tubuhnya. Di dalam kepalanya. Atau di dalam hatinya yang disusun rapi lewat senyuman? Seperti halnya negara ini, yang tetap terlihat baik-baik saja. Aku tidak tahu.
Lebaran kemarin, setelah berbincang bersama Uwan, aku malah sibuk mengamati foto kusam di dinding ruang tamu. Dinding papan yang berlubang sana-sini digerogoti rayap. Mungkin, jika kuhantam dengan tinju, bisa hancur berkeping-keping. Deretan foto dengan bingkai kayu seadanya itu membuatku bangga terlahir sebagai cucunya.
Dari
beberapa foto, tampak sekali wajah jelita Uwan
sewaktu muda. Rambutnya bersanggul rapi. Wajahnya damai dan tenang seperti hutan
perawan di desa Sempadian ini. Tak salah memang almarhum kakekku
mempersuntingnya menjadi istri. Jelas ia bisa menyejukkan dada. Dengan
memandangnya saja aku selalu tersihir oleh kelembutan yang terpancar dari
segala bagian tubuhnya. Dari gerak tangannya. Langkah kakinya. Lembut tuturnya.
Sampai sekarang. Sampai umurnya mendekati kepala sembilan. Semuanya tak berubah
sama sekali.
Uwan
adalah istri seorang tentara pejuang kemerdekaan, sekaligus tentara yang
mempertahankannya. Ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta
tahun 1945, tidak serta merta membebaskan seluruh daerah dari para penjajah.
Begitupula di daerah Sambas, pesisir Kalimantan Barat ini. Long Gading, suami Uwan, masih terus bertaruh nyawa demi
mengusir orang-orang Belanda. Masuk hutan keluar hutan. Bergabung dengan
pasukan Anjang. Mengatur taktik dan strategi. Menyerang tangsi-tangsi militer
milik Belanda di Bengkayang dan Sambas. Dan, pemberontakan lainnya yang tak
semua Uwan tahu. Mesjid di depan
rumah Uwan adalah saksi dari segala
peristiwa perjuangan. Di sana, tempat para pejuang berkumpul, memanjatkan doa
kepada Sang Pencipta sebelum bertaruh nyawa.
***
“Pernah
tengah malam dia datang bersama akimu.
Masuk lewat siok. Lepas subuh mereka
masuk hutan lagi. Cuma kopi dan karrak
Uwan bekalkan untuk mereka,” kenang Uwan
suatu waktu, ketika kutanyai tentang nama jalan Alianyang di desa ini dan tugu
perjuangan di depan mesjid.
“Dulu,
Su Amat, Usu Muin, eh, Ali Anjang,” kata Uwan
menyebutkan beberapa nama dengan orang yang sama. “Dulu Ali Anjang beberapa
makan di rumah ini.” katanya melanjutkan. Setiap kali Ali Anjang datang selalu
menggunakan nama berbeda-beda. Uwan
tahu orang itu adalah orang yang beberapa kali pernah datang sebelumnya.
“Akimu bekawan baik dengan Usu Muin, eh
Usu Muin lagi, Ali Anjang.
“Makenye dia juga diburu tentara
Belanda.”
“Uwan, tidak takut?”
Uwan
hanya tersenyum.
“Beberapa
hari sebelum menikah dengan akimu, Uwan, sudah membeli kain kafan sendiri,
Sal. Mau lihat kainnya?”
Susah
payah Uwan bangkit dari tempatnya,
menuju kamar. Langkahnya berat, setapak demi setapak.
Bau
kapur barus seketika mengisi seluruh ruangan. Uwan meletakkan lipatan kain yang dibungkusnya menggunakan beberapa
kain kuning bermotif bunga-bunga. Ia letakkan tepat di hadapanku.
“Sebelum
nikah, kain ini udah, Uwan, siapkan.
Sampai kinitok masih belum dipakai,” Uwan terkekeh.
“Sal,
kapan mau nikah?”
Pertanyaan
itu selalu tepat ia selipkan. Seperti biasa, aku tak menjawab. Diam, sampai Uwan melanjutkan kalimat yang lain.
“Biar
tidak dimakan rayap,” katanya, mengambil butiran kapur dari dalam lipatan.
Pelan-pelan Uwan membuka kain yang
telah ia siapkan puluhan tahun itu.
Uwan
benar-benar sudah berdamai dengan maut sejak dulu. Puluhan tahun. Sampai
sekarang, ia tak pernah bosan menunggu kematian.
“Tinggal
dua allai. Rupanya akimu lebih dulu memakainya,” ia
terkekeh lagi. Tampak satu-satunya gigi masih melekat di sudut kanan atas
bibirnya.
“Cobe buka, Sal!”
Aku
memegang dua ujung kain dan merentangkannya. Uwan juga memegang ujung yang lain. Tak bisa kujelaskan perasaanku ketika
melihat wajah Uwan. Bola matanya,
bagai embun yang lekat di daun kering. Mata itu, mata yang merekam zaman demi
zaman. Mata yang menyaksikan ribuan nyawa melayang. Mata yang ikhlas melepaskan
suaminya masuk keluar hutan berbulan-bulan, bertahun-tahun. Mata yang tersiksa
melihat nyawa-nyawa melayang. Mata yang rela, jika suatu waktu tak melihat
suaminya lagi, entah mati disengat ular di hutan atau dihujani peluru oleh
tentara Belanda seperti M. Saad Hasan teman seperjuangannya. Mata itu, mata
yang turut membidani lahirnya negara ini.
***
Malam
ini, di teras yang sepi, baru saja kulahap buku kumpulan cerpen Akar Pulenya
Oka Rusmini. Buku yang isinya menyuarakan suara hati perempuan itu berhasil
membawa ingatanku kepada sosok Uwan. Uwan satu-satunya yang masih hidup
setelah ditinggal kakek menuju keabadian tujuh tahun lalu. Entah abadi entah
belum. Sebab, tak ada yang tahu, apakah ia juga masih menunggu di sana. Nenekku
dari pihak ibu telah meninggal sejak aku kelas tiga sekolah menengah.
Sementara, kakek meninggal jauh sebelum aku menulis cerita ini, bahkan jauh sebelum
aku keluar dari perut ibu.
Uwan,
adalah orang yang berhak menerima tumpah-ruah kasih sayang dari kami
sekeluarga. Dari warga desa. Dari orang-orang yang menikmati kemerdekaan hidup
saat ini. Dari siapapun. Tanpa terkecuali. Itu juga yang mungkin membuatku
begitu menyayanginya. Ingin sekali kupeluk erat tubuhnya saat ini juga. Aku
ingin bercerita banyak hal. Ingin mendengar cerita apapun darinya. Apapun.
Meski aku tahu, pertanyaan kapan aku menikah akan selalu terselip di antara
cerita-ceritanya. Dan, itulah yang selalu ditunggunya, selain kapan ia akan
mati.
Aku
benar-benar tidak sadar akan airmataku. Tiba-tiba saja jatuh, mengalir deras
dari sudut yang tak dapat kupastikan. Entah kiri atau kanan. Entah luar entah
dalam. Menetes pada sampul buku di atas meja. Menggenang dan menyatu satu
persatu. Mengeristal. Memantulkan kilatan putih cahaya lampu teras.
Keterangan;
Uwan: Nenek
Cobe: Coba
Allai:
Helai
Aki: Kakek
Kinitok: Sekarang
Makenye: Makanya/Sebabnya Siok:
Belakang rumah
Karrak: Kerak nasi
Sambas, 31 Maret
2021
Penulis: Edri Ed
Pict: tyosetiyono30
0 Komentar