Diguk-guk dan Ditipu
Dua
hari lalu Otong mendengar bahwa ia dicari-cari oleh guru. Karena sudah sekitar
seminggu ia tak masuk sekolah. Mengingat minggu depan akan dilaksanakan ujian,
para guru mencari Otong untuk mengetahui keadaannya. Di kampung yang kecil ini
tak sulit guru mencari jejak Otong. Bahkan guru-guru tahu rumah dan Orang tua
Otong, bahkan dengan pekerjaan orang tua Otong pun mereka ketahui. Sebagian
besar guru-guru di sekolah adalah warga desa setempat, tentu mereka tahu sekali
dengan keberadaan Otong.
“Tong,
Pak Parman tadek nyarek kau.” (Tong,
Pak Parman tadi mencari kau.)
Kembali
kalimat itu didengar Otong. Sambil mencedok pasir ke dalam mobil pick up Otong melihat teman-temannya
pulang sekolah, menenteng tas dengan seragam putih merahnya yang berantakan.
“Jige kau kanak ukkum,” (Awas kau kena hukum,) teman yang lain turut
nimbrung menakuti Otong.
“Eee, kaatinye. Malas nak sekolah,” (Eee, biarkan. Malas mau
sekolah,) jawab Otong sambil mencedok pasir. Bajunya ia ikatkan ke kepalanya
untuk menghindari sengatan matahari. Tubuhnya kurus dan mulai mengkilat oleh
keringat.
Sudah
seminggu Otong dan dua orang temannya bekerja. Mereka mengisi pasir ke dalam
mobil-mobil yang datang ke penampungan di kampungnya. Dua orang teman Otong
juga tidak melanjutkan sekolah. Setiap pagi mereka menunggu mobil-mobil pembeli
pasir. Biasanya mereka mendapat seratus ribu jika mengisi mobil Dump Truck. Jika mobil Pick Up mereka hanya akan dapat lima
puluh ribu dari sopir. Jika sopir itu berbaik hati mereka juga dapat menikmati
rokok gratis sambil bekerja, dan itu merupakan semangat mereka. Jika tidak ada
rokok bekerja pun tampak lesu, para sopir tahu dengan itu. Biasanya mereka bertiga
patungan untuk membeli, biar bisa menghemat biaya dari hasil kerja mereka. Kadang
juga membeli ketengan jika mobil tak banyak yang datang.
Sudah
semingguan Otong tak lagi meminta uang dengan bapaknya. Ia sangat puas dengan
hasil kerjanya sendiri. Dalam sehari dia bisa mendapatkan lima puluh sampai
delapan puluh ribu. Sungguh jarang sekali dia memegang uang sebanyak itu. Jajan
sekolah yang biasa bapaknya beri hanya tiga sampai empat ribu saja. Jika mobil
banyak yang datang, penghasilan Otong dan dua temannya tentu akan lebih banyak.
Dua hari lalu mereka bahkan mengisi lima mobil Dump Truck. Dari pagi hingga sore mereka bekerja dan mendapat lima
ratus ribu, berarti sekitar seratus enam puluh enam ribu hasil mereka
satu-satu. Tawa mereka pecah saat membagikan hasil kerja. Hari itu Otong membeli
satu bungkus rokok menggunakan uangnya sendiri, begitupun dua temannya.
Dua
teman Otong itu Koles dan Solot, mereka adalah abang adik yang umurnya tak terpaut
jauh dengan Otong. Koles berumur lima belas tahun, sedangkan Solot adiknya
berumur sama dengan Otong. Koles tidak melanjutkan sekolah setelah tamat dari
sekolah dasar. Sedangkan Solot memilih berhenti satu bulan yang lalu, ia
membantu ibunya menyadap karet, kadang juga bertiga dengan Koles, abangnya. Koles
berbadan kurus tinggi, sementara adiknya bertubuh hitam gempal berambut
keriting.
Otong
yang awalnya hanya melihat Koles dan Solot bekerja akhirnya ikut membantu. Sebetulnya
niat Otong membantu hanya untuk meminta rokok. Namun, setelah beberapa kali
diberi jatah uang oleh temannya Otong jadi ketagihan. Hingga sampai sekarang
hasilnya mereka bagi rata. Bahkan penghasilan Otong seminggu ini bisa
mengalahkan penghasilan bapaknya sebagai penyadap karet yang hanya memperoleh
tiga kilo setiap harinya. Apalagi harga karet hanya enam ribu lima ratus satu
kilo, hanya cukup untuk beli beras. Untuk lauk biasanya hanya ikan asin dan
sayur pakis atau midding dalam bahasa
melayu Sambas.
Tiga
hari ini Otong selalu membawa beras dua kilo setiap sore sepulang kerja. Otong
hanya tinggal berdua di rumah dengan bapaknya. Ibunya meninggal saat ia berumur
lima tahun. Kakaknya yang pertama telah tinggal dengan suaminya di kampung
lain. Kakaknya yang kedua berada di pulau Sumatra ikut bersama suaminya, sebab
di sanalah tempat suaminya bekerja dan menetap. Semenjak menikah dua tahun
lalu, sampai sekarang tak pernah pulang kampung.
“Daan agek sekolah ke kau, Tong?” (Kamu tidak lagi sekolah, Tong?) tanya sopir Pick Up yang jongkok meneduh di bawah
pohon sambil menghisap rokoknya.
“Eeee, malas nak sekolah, Bang.” (Eeee, malas mau sekolah, Bang.)
Sopir
hanya tertawa. Juga dua temannya yang ikut tertawa mendengar jawaban Otong. Jawaban-jawaban
Otong kadang jadi lelucon buat sopir dan temannya.
“Sekolah,
Tong. Supaye pintar,” Koles ikut
nimbrung.
“Supaye pintar ape dak, makin bodo naknye.”
Dengan nada yang begitu polos, jawaban itu
mengocok perut sopir, ia semakin keras tertawa. Koles dan Solot juga tak kalah
hebat cekikikan. Memang tak habis-habis bahan untuk dijadikan hiburan bagi
ketiga teman itu. Apalagi Otong yang memang suka berkelakar dengan nada-nada
polos keluar dari mulutnya.
Solot
turut bersuara. “Nak jadi ape kau, Tong?” (Mau jadi apa kamu,
Tong?)
“Nak jadi pak labbay.” (Mau jadi penghulu.)
Mendengar
itu sopir semakin tertawa cekakakan
memegangi perutnya yang buncit. Semuanya turut tertawa termasuk Otong sendiri. Ia
menghampiri sopir, meneguk air dalam botol lalu menyulut sebatang rokok milik
sopir yang tergeletak dekat akar pohon.
“Mantap,”
puji sopir melihat Otong menyulut rokok dan menghembuskannya ke atas.
“Battol-battol keraje woy,” (Betul-betul
kerja woy,) teriak Otong pada dua temannya sambil memegang rokok seperti
bos-bos besar. Ditambah tangan kiri yang ia letakkan di pinggang. Mimik wajahnya
dibuat-buat serius dan menghembuskan rokok ke udara. “Mun kupaccat kitak duak miadek nak makan ape urang tue kitak,” (Kalau aku pecat kalian berdua mau makan apa
orang tua kalian,) sambung Otong dan makin membuat sopir di sampingnya
merah-merah muka karena tertawa.
Dua
bersaudara itu tengah menutup pintu Pick
Up karena sudah penuh muatan. Dan cepat menghampiri Otong dan sopir di
bawah pohon. Keduanya memasang rokok dan bergantian meneguk air di dalam botol.
Otong cepat menyambar uang lima puluh ribu yang disodorkan sopir. Seperti
biasa, tak lupa mengambil sebatang rokok untuk diselipkan di telinganya.
Sudah
dua mobil sejak pagi dan keduanya mobil Pick
Up. Tengah hari begini adalah waktu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Selepas dzuhur kembali lagi menunggu mobil. Begitulah setiap hari mereka
lakukan. Memang sedikit sekali orang tua di kampung ini menyekolahkan anak
mereka hingga perguruan tinggi. Masalahnya selalu pada biaya. Kebanyakan pemuda
hanya tamat sekolah menengah dan memilih bekerja ke Malaysia sebagai buruh.
Orang tua yang menetap di kampung sebagian besar mengandalkan kebun karet untuk
kebutuhan hidup. Sejak beberapa tahun terakhir harga karet anjlok, hal itu
sangat memilukan bagi mereka.
Bapak
Otong, Pak Mail berusia hampir kepala lima. Ia hanya bertahan hidup
mengandalkan kebun karet, karena hanya itu kebun satu-satunya yang dimiliki.
Bahkan sejak lama ia menginginkan Otong untuk berhenti sekolah agar tak
menambah beban hidup mereka. Namun, tak pernah keluar dari mulutnya untuk menyuruh
Otong berhenti. Sejak Otong memutuskan untuk tak masuk sekolah seminguan ini
hati Pak Mail merasakan kelegaan. Bahkan ketika ia sadari bahwa anaknya tak
pernah lagi meminta uang dan membawa beras setiap sore, Pak Mail merasa telah
terlepas dari satu jeratan hidup.
Selepas maghrib salah satu guru Otong bertamu ke rumahnya. Panjang lebar
guru Otong menjelaskan bahwa seminggu lagi akan ujian dan memaksa Otong untuk
kembali sekolah. Namun, sedikitpun tak bergeming buat Otong. Dia tetap dengan
pendiriannya. Apalagi ia tahu bapaknya sama sekali tak melarangnya untuk
berhenti sekolah. Pak mail hanya menyerahkan semuanya kepada Otong. Mendengar
Otong dipaksa untuk masuk sekolah, Pak Mail turut bicara. Dia ceritakan semua
kesulitan hidup mereka. Dia jelaskan pula semenjak Otong tidak sekolah membuat
hidup mereka semingguan ini terasa begitu baik. Bahkan kemarin mereka baru
merasakan lagi nikmatnya daging, setelah sekian lama tak memakannya. Mereka
hampir lupa kapan terakhir makan senikmat itu. Mungkin terkesan berlebihan apa
yang disampaikan oleh Pak Mail, tapi memang begitulah adanya. Baru kali ini Pak
Mail mau bercerita tentang kehidupan pribadi mereka. Guru itu hanya tertegun
mendengarkan.
“Sean
untungnye juak untok urang macam kamek sekolah tok be, Pak. Ujong-ujongnye
pun nanggkal juak,” (Tidak ada untungnya juga untuk orang seperti kami
sekolah, Pak. Ujung-ujungnya pun menyadap,) lirih Pak Mail. “Nak sekolah tinggi pun jak sean juak duitnye.” (Mau sekolah tinggi pun tak ada
uangnya.)
Guru tersebut terdiam. Dia tak tahu
mau bagaimana lagi menyuruh Otong untuk sekolah, dan tak tahu lagi mau bicara
seperti apa. Tidak mungkin sekali untuknya terus-terusan memaksa Otong setelah
mendengar cerita Pak Mail. “Aog di mun
dah gayye ceritenye, Pak Long. Nak dibagaimanekan juak agek.” (Iyalah kalau
sudah seperti itu Pak Long. Mau diapakan lagi.)
“Aoglah,
Pak. Ase susah inyan be, Pak.” (Iyalah, Pak. Susah sekali
rasanya, Pak.)
***
Pak
Parman yang malam tadi datang ke rumah Otong menceritakan kembali pada
guru-guru lain. Waktu istirahat guru-guru berkumpul di ruangan. Mulut mereka
tak henti-henti mengunyah makanan. Ada yang sibuk berkaca memoles bedak dan
bibirnya. Ada pula sibuk menonton film di layar laptop sambil memegang sepiring
nasi goreng. Ada yang menjulurkan kakinya sambil menjepit rokok di jari tangan.
Pak Parman bercerita sembari menyantap mie goreng.
“Gayyelah sumenye alasan urang kampong. Sean duit lah. Susah lah,” (Begitulah semua alasan orang kampung.
Tak ada duit lah. Susah lah,) ujar guru yang tengah memoles mukanya.
“Memang
iyelah malar alasannye. Padahal mun maok sekolah ade tolen jalannye. Bise be
diusahakan,” (Memang itulah selalu alasannya. Padahal kalau mau sekolah selalu
ada jalannya. Bisa diusahakan,) tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop.
“Maklom pikeran urang kampong. Daan maok nak usaha sikit,” (Maklum
pikiran orang kampung. Tidak mau usaha sedikit,) guru yang menjulurkan kakinya
di bawah meja turut bersuara.
Guru
itu menutup cermin lalu menggoyang-goyangkan bibir merah menyala sambil bicara “Bukan-bukannye juak be, anak maseh kaccik dah disuroh keraje.” (bukan-bukannya
juga, anak masih kecil sudah disuruh kerja.)
Ketiga
guru yang berkomentar berumur terbilang masih muda. Belum ada yang berumur tiga
puluh tahun. Bahkan yang sedang memoles muka dan yang menatap laptop itu, baru
tiga tahun lalu selesai kuliah dan mengajar di sekolah ini. Ketiganya berasal
dari keluarga cukup mampu, tahu apa mereka tentang susah. Bahkan mereka tidak tahu
bagaimana rasanya ikan asin. Ikan yang setiap hari jadi lauk wajib untuk Otong
dan bapaknya. Nama-nama makanan eropa jauh lebih mereka kenal ketimbang nama
ikan asin. Nama-nama lipstik dan bedak berkualitas jauh lebih mereka kenal
ketimbang jenis beras paling murah yang dimakan Pak Mail dan Otong. Tahu apa
mereka, sejak kecil sudah hidup enak, tidur nyenyak.
Tampak
di jalan sana Pak Mail mengayuh sepeda tuanya. Jalan ke kebun memang melewati
jalan setapak, satu arah dengan sekolah. Di bagian belakang sepedanya terikat
sekeping karet yang sudah tercetak segi empat, kira-kira tiga kiloan. Pak Mail tersenyum
dan mengangguk menoleh ke arah ruang guru. Beberapa guru hanya memandang, cuma
beberapa yang membalas senyum. Tak lama kemudian Otong berjalan kaki, membawa
satu ember berisi karet yang hampir sama. Itu hasil sadapan Pak Mail dua hari
lalu. Otong melintas tanpa menoleh. Badannya yang kurus tampak kewalahan
membawa beban.
“Yo die nun yo. Yey yak rasekanlah sakitnye
keraje ye.” (Itu dia. Rasakanlah sakitnya kerja tuh,) ujar geram wanita
bergincu merah.
Guru-guru
tertawa mendengar ocehan wanita itu. Rasa sesak dirasakan oleh Otong ketika
mendengar tawa nyaring guru-gurunya. Ia merasakan mata-mata dari ruangan
menghunjam ke punggung dan menembus jantungnya. Otong terengah-engah
mempercepat langkah. Entah kenapa ia merasa matanya berkaca-kaca di bawah terik
matahari. Wajahnya tertunduk dalam saat melintasi teman-temannya di kantin. Ramai
yang memanggil namun tak dihiraukan Otong. Dia percepat langkah mengejar sepeda
bapaknya di depan. Ia juga harus cepat sampai ke rumah, temannya pasti sudah
menunggu mobil-mobil pembeli pasir.
Air mata Otong tumpah, mengalir bersamaan
dengan keringat di wajahnya. tangannya terus mencedok pasir. Hatinya begitu
pilu mengingat kejadian tadi, saat ia melintas dan ditertawakan oleh gurunya
sendiri. Cepat-cepat ia sapu air matanya menggunakan baju di kepala ketika dua
temannya mendekat. Otong terdiam. Ia sambut sekantong es yang dijulurkan Koles
kepadanya. Otong duduk berteduh, menyulut sebatang rokok. Koles dan Solot
melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Sungguh dada Otong sesak ketika ia
terus-menerus ingat kejadian itu. Bagaimana bisa gurunya setega itu. Tubuh
kurus ringkih itu ia sandarkan ke pohon, matanya berkaca. Ia julurkan kedua
belah kakinya yang kurus seperti gagang cangkul. Di seberang jalan, ia lihat
bapaknya menjual hasil sadapan yang mereka ambil dari kebun beberapa jam lalu.
“Cappat,Tong.
Nyantai tolen,” (Cepat, Tong. Santai
terus,) Koles menegur.
Otong
tersadar dan cepat bangkit. Rokoknya masih menempel di bibir. Ia ikat kembali
kepala menggunakan bajunya. Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
***
Pagi
hari pukul enam lewat lima belas Otong baru saja selesai menyantap ubi rebus
buatan bapaknya. Pukul lima tiga puluh bapaknya sudah pergi ke kebun. Mata
Otong masih berat sebab belum cuci muka sejak bangun lima menit lalu. Di depan
rumahnya ia lihat Pak Kamal menghentikan motornya. Pak Kamal adalah wali kelas
Otong. Dengan cepat pria berbaju coklat muda itu masuk rumah Otong. Ia paksa
Otong untuk sekolah dan menyuruh Otong untuk ikut ujian. Guru itu menjelaskan
kepada Otong bahwa ia sudah terdaftar untuk mengikuti ujian. Ia jelaskan pula,
jika Otong tidak ikut ujian, itu akan berdampak kepada sekolah. Banyak penjelasan
dari guru itu yang sama sekali tak dipahami Otong. Bahkan ada nada-nada ancaman
dilontarkan Pak Kamal jika Otong tak mengikuti ujian. Dengan kepolosannya Otong
menuruti dan kembali masuk sekolah untuk ujian.
Pak
Kamal menunggu di depan rumah ketika Otong sedang berkemas. “Cappat, Tong.” (Cepat, Tong.)
Suara
Pak Kamal membuat Otong bergegas keluar. Bajunya kotor dan ronyok sebab tak
pernah dicuci sejak terakhir ia sekolah. Mata Pak Kamal membesar melihat Otong
keluar. “Ya Allah, Tong. Udah berape taon
be daan kau cuci bajumu,” (Ya Allah, Tong. Sudah berapa tahun tidak kau
cuci bajumu,) Pak Kamal menggeleng. “Dah,
dah, cappat,” (Ayo, ayo, cepat,) memegang bahu Otong dan mendorongnya
menuju motor. Otong hanya manut tak bicara sepatahpun. Baca Juga: Rembulan yang Melukis Senyummu
Di
kebun, Pak Mail hampir menyelesaikan sadapan karet. Ia lihat awan hitam
menggumpal. Celaka jika hujan turun kalau getah karet belum dikumpulkan. Jika
getah karet tidak cepat-cepat diangkat dan tercampur air hujan, tentu tak dapat
menghasilkan apa-apa, pekerjaannya akan sia-sia. Biasanya jika hujan hendak
turun pagi hari, Otong akan datang untuk membantu. Tapi hari itu Otong tak juga
tiba. Pak Mail berlari mengumpulkan getah karet dari satu batang ke batang lain,
berkejaran dengan waktu. Rintik mulai turun. Pak Mail semakin mempercepat
gerakannya. Berlari sekuat yang ia bisa. Kalau saja ada Otong, tentu ia tak
akan sepanik itu. Hujan semakin kasar, perlahan-lahan masuk ke potongan batok
kelapa, penadah getah karet. Seketika ember yang dipegang Pak Mail terlempar,
getah di dalamnya tumbah ke tanah. Hujan semakin deras.
***
Otong
baru menyelesaikan tiga buah soal ujian. Atap-atap sekolah ribut oleh pecahan
hujan yang begitu deras, ditambah hembusan angin begitu kencang. Pandangan
Otong tertuju pada pohon-pohon di luar jendela bergoyang kuat. Sungguh gusar
perasaan Otong. Ingin sekali ia menyusul bapaknya di kebun, seperti biasa ia
lakukan jika hujan begini. Tapi, kali ini tubuhnya terpenjara di dalam kelas. Ia
tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya tidak lagi untuk ruang kelas membosankan
itu namun raganya dipaksa menetap.
Pukul
sebelas hujan masih begitu deras. Semua siswa dan guru tidak dapat pulang
menunggu hujan reda. Di depan sekolah orang-orang berbondong pergi ke kebun,
padahal hujan begitu deras. Para guru bertanya-tanya, apa yang terjadi? Ramai
sekali warga bergegas menuju kebun dengan wajah panik.
“Ade
ape, Pak Ngah?” (Ada apa, Pak Ngah?) teriak Pak Parman pada salah satu warga
yang bergegas.
“Long
Mail meninggal di kabon,” (Long Mail
meninggal di kebun,) teriaknya keras. Lalu berlari mengejar orang-orang.
Otong
berada di meja pojok, mengerjakan soal matematika yang diberikan guru. itu
hukuman untuknya karena hampir dua minggu ia tak masuk sekolah. Pak Kamal
berada di meja sebelah kiri Otong, menunggu Otong menyelesaikan hukuman. Di
luar, mayat Pak Mail sedang digotong dari kebun. Baca Juga: Apakah Ini Takdir
***
23
November 2019
Gambar; Hipwee.com

0 Komentar