Diskusi Sastra milenial dan Kabar Perbukuan Kalbar
Sastra Milenial Dalam Perspektif Kearifan Lokal.
Tema itulah yang diangkat dalam diskusi beberapa hari lalu. Diskusi tersebut
dilaksanakan di salah satu warung kopi di Pontianak, tepatnya di jalan Ampera.
Acara yang sebagian besar dihadiri oleh orang-orang hebat itu berjalan dengan
baik serta kondusif. Pikiranku sebelum menghadiri acara tersebut akan banyak
anak-anak muda yang ikut serta dalam diskusi. Namun, apa yang kupikirkan
berbanding terbalik. Acara itu dihadiri sebagian besar orang-orang tua, orang-orang
hebat yang sudah aku anggap master dalam dunia sastra maupun dunia tulis
menulis di Kalimantan Barat. Hanya ada beberapa anak muda yang ikut andil dalam
diskusi itu.
Cukup lama
aku coba memaknai tema yang disorotkan ke dinding menggunakan proyektor
itu. Namun, tidak juga kupahami apa yang dimaksud dengan sastra milenial, bagaimana
bentuknya hingga tetek bengeknya. Dan sampai catatan ini ditulis, aku belum juga paham seperti apa
sastra milenial itu. Ah, memang payah, untuk memaknai kalimat sederhana itu pun
aku tak mampu. Pikiranku selalu tertuju kepada anak-anak muda jika sudah
menyinggung milenial.
Tanpa menunggu terlalu lama akhirnya acara
dimulai dengan pembacaan satu cerpen. Lalu langsung dilanjutkan dengan acara
inti, yaitu; pernyataan/pandangan dari kedua pemantik diskusi. Pertama dimulai
dari Pak Musfeptial Musa (tak disebutkan gelarnya, takut salah) memberikan
pandangannya. Ia mulai memaparkan, membahas soal lokalitas lalu merangkak ke masalah multikultural. Ia juga memberikan
beberapa contoh tentang apa yang sebelumnya dijelaskan. Kalau tidak salah ia
berikan contoh salah satu pengarang tua dari Ketapang dengan cerpennya yang
berjudul (Antu Bangke) dan salah satu pengarang dari Sambas, Yusakh Ananda. Selain
itu, Pak Mus juga menyinggung tentang antologi puisi Bayang Tembawang, Yosep
(Kunang-kunang).
Seiring waktu berjalan, aku tak menemukan apa
hubungannya dengan sastra milenial yang dipaparkan oleh Pak Mus. Tak lama ia
mulai menyebut salah satu cerpen karya Kakanda Redi yang berjudul (Geger di
Dukuh Alas Sengon), ia mengatakan bahwa Diksi/Kata Dukuh sendiri kurang
familiar bagi masyarakat Kalimantan Barat. Seperti ulasannya di media
insidepontianak.com tentang cerpen tersebut. Ada yang mempengaruhi Kakanda Redi
dalam menulis. Cerpen tersebut harus dimaknai dengan resepsi penulis terhadap
karya sastra yang ada sebelumnya. Pak Mus berpendapat bahwa cerpen Geger di Dukuh
Alas Sengon karya Kakanda Redi hampir memiliki kesamaan motif dan polanya
dengan Novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Thohari. Dalam kedua karya
tersebut memang sangat dominan akan budaya Jawa, contohnya dapat diambil dari
kata Dukuh juga beberapa nama tokoh yang terkesan lebih familiar untuk orang
Jawa.
Setelah panjang lebar, Pak Mus mulai
memberikan percikan semangat kepada semua yang hadir dalam diskusi. Ia juga
menyebutkan beberapa media online maupun cetak yang dapat dimanfaatkan untuk
mengirimkan tulisan (karya sastra). Beberapa media ia sebutkan seperti Pontianak
Post, Inside Pontianak hingga Suara Pemred. Walaupun ia tahu bahwa Suara Pemred
saat ini hampir tenggelam dan hilang. Kendati demikian, Pak Mus tidak hilang
harap. Ia tetap berharap media-media seperti Sayap Imaji yang dulu pernah ada harus
diperbanyak dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Intinya sastra juga harus
dimanfaatkan dalam media kekinian dan berbaur di dalamnya dengan tidak menghilangkan
nilai-nilai sastra itu sendiri sedikitpun. Seperti itulah kira-kira Pak mus
mengakhiri harapannya sebelum Pak Achmad Sofian (Bang Sofi) melanjutkan.
Baca Juga: Cerpen Di Bawah Pohon Beringin
Dalam diskusi itu, tak banyak yang disampaikan
Bang Sofi. Ia memulai dengan terminologi milenial dan kearifan lokal
(lokalitas). Memang benar apa yang dianalogikan Bang Sofi tentang milenial hari
ini, bahwa terminologi milenial sama seperti kampung kecil. Anak muda tidak
benar-benar hidup di masyarakat yang nyata melainkan memiliki dunia
masing-masing. Ia bisa menciptakan kampung sendiri dengan satu benda yang
selalu lekat digengamannya. Ia bisa berkomunikasi dan tahu informasi di negeri manapun
dengan benda kecil itu. Dampak dari kampung kecil itu menjadikan anak muda
kehilangan ketajaman dalam meresapi, melihat maupun merasakan realitas sosial
yang terjadi di dunia nyata (kampung mereka sendiri. Tanah leluhur sendiri).
Mereka lebih paham negeri antah berantah ketimbang tanah kelahiran sendiri. Sungguh
memprihatinkan jika anak muda tidak ambil peduli terhadap apa yang terjadi di
dunia nyata tempat ia tinggal.
Selain itu, ada hal yang sangat menarik disampaikan
Bang Sofi tentang terbitan buku akhir-akhir ini, khususnya dari tahun dua
ribuan ke atas. Ia mengatakan penilaian itu secara subjektif, tetapi aku yakin
sebagian besar orang-orang yang konsen di dunia perbukuan sependapat dengannya.
Bang Sofi membandingkan karya terbitan pra dua ribuan dengan karya terbitan dua
ribuan ke atas. Dari segi kuantitas tentu pada tahun pra dua ribuan sangat
sedikit karya-karya sastra yang terbit dan dibukukan. Beda halnya dengan tahun
dua ribu ke atas, buku-buku terutama karya sastra perlahan mulai menjamur di
tengah masyarakat. Namun, banyaknya buku-buku karya sastra yang terbit di tahun
dua ribuan ke atas tidak mampu menyaingi bahkan menyeimbangi karya sebelumnya. Dalam
artian karya tahun dua ribuan ke atas kalah dari segi kualitas.
Apa yang disampaikan Bang Sofi juga menjadi
perhatian khusus pada diskusi yang dilaksanakan satu hari sebelumnya dengan
tema “Apa Kabar Perbukuan Kalbar” yang bertempat di Sarang (Perpustakaan dan
toko buku Enggang Media, Kalbar Membaca, Buku Enggang). Acara yang dihadir oleh
beberapa komunitas literasi, penerbit, penulis hingga anggota media-media cetak
maupun digital di Pontianak itu berlangsung begitu serius. Sama halnya dengan
apa yang diresahkan oleh Bang Sofi bahwa semakin mudahnya menerbitkan buku
justru menjadi bumerang yang sulit untuk dibendung. Penulis-penulis pemula seperti
mengabaikan kualitas tulisannya, tanpa mengoreksi, mendalami atau
mengesampingkan estetika tulisan. Itulah salah satu yang juga menjadi perhatian
khusus dalam diskusi yang dilaksanakan di Sarang. Tentunya penulis dan penerbit
juga harus saling mengoreksi isi tulisan yang hendak diterbitkan dan
memutuskan layak atau belum naskah tersebut untuk dibukukan. Diskusi yang
rencananya berkelanjutan ini disepakati untuk mendiskusikan hal-hal serupa di
hari-hari berikutnya. Baik itu penerbitan, penulis, pembaca, komunitas-komunitas
dan tentunya orang-orang yang merasakan kekhawatiran sama seperti Bang Sofi
menyambut antusia diskusi lanjutan ini.
Sebagai orang yang baru belajar, harapan
saya diskusi-diskusi semacam ini patut untuk terus dilakukan agar memberikan
perncerahan/koreksi diri baik buat para penulis maupun penerbit di Kalimantan
Barat. Mohon maaf jika ada salah kata dalam tulisan singkat ini. Salam hormat.
Baca Juga: Diskusi Buku Raya Aksara
Diskusi
dengan tema Sastra Milenial Dalam Perspektif Kearifan Lokal dilaksanakan pada
tanggal, 15 Februari 2020 di kafe V'note. Dihadiri pegiat literasi (FLP, Pustaka Rumah Aloy, Enggang Media, Kalbar Membaca, dll. Pemateri dalam acara tersebut, Pak Musfeptial Musa, S.S., M.Hum. (Peneliti Ahli Madya Bidang Sastra) dan Pak Ahmad Sofian DZ. (Penulis dan Pegiat Literasi)
-Moderator: Nurhayaningsih (aya)
-Pembacaan Cerpen "Tetes Hujan di Bulan April" dalam antologi cerpen "Kesaksian Palsu" terbit Januari 2017; Pustaka Rumah Aloy karya E. Widiantoro.
Diskusi dengan tema Apa Kabar Perbukuan Kalbar? Dilaksanakan pada tanggal, 14 Februari 2020 di Sarang. Dihadiri Pegiat Literasi dan Media Pustaka Rumah Aloy, Enggang Media, Kalbar Membaca, Inside Pontianak dll. Juga dihadiri Penulis, Pembaca, Komunitas-Komunitas Literasi, dll.
-Pembacaan Cerpen "Tetes Hujan di Bulan April" dalam antologi cerpen "Kesaksian Palsu" terbit Januari 2017; Pustaka Rumah Aloy karya E. Widiantoro.
Diskusi dengan tema Apa Kabar Perbukuan Kalbar? Dilaksanakan pada tanggal, 14 Februari 2020 di Sarang. Dihadiri Pegiat Literasi dan Media Pustaka Rumah Aloy, Enggang Media, Kalbar Membaca, Inside Pontianak dll. Juga dihadiri Penulis, Pembaca, Komunitas-Komunitas Literasi, dll.
Pontianak, 17 Februari
2020
0 Komentar