
3#Rancu
Agustus, hari ke 40 menggenal Hanifa, di sekolah tahun 2012. Tiga hari
yang lalu pagiku dikagetkan dengan rentetan tanya, tiba-tiba saja temanku
bertanya hal yang tidak aku ketahui masalahnya.
“Kau apekan die, Dib?” Hino tampak begitu penasaran, ia mengikutiku
hingga ruang kelas, tanpa melepaskan tasnya langsung duduk di sebelah kiriku.
“Sape?” aku duduk seperti biasa dan tidak terlalu menanggapi karena
memang aku tidak tahu apa yang Hino maksud.
“Cewekmu,” menarik sedikit kursinya mendekat ke arahku.
Tanpa sadar aku terperanjat mendengar apa yang disampaikan Hino.
“Cewekku? Memangnye cewekku sape, Sok?”
Sok, adalah panggilan
kasih sayang. Sama halnya dengan, njing, njir, njay, su, dan lain-lainnya.
Aku sudah menerka dalam hati, pasti yang dimaksud Hino adalah Hanifa.
Kukira teman-teman Hanifa saja yang menganggap aku pacaran sama Hanifa,
ternyata berita sesat ini sudah menyebar ke teman-temanku juga. Ini tidak bisa
dibiarkan, pikirku sejenak. Semakin lama dibiarkan malah akan lebih rumit
nantinya.
“Hanifa.” Baca Juga: Cerita Roman Fiksi Remaja Part 2
“Die bukan cewekku, wak. Dapat informasi sassat dari mane be kau?” aku
sedikit mendesak. Ruang kelas tidak terlalu ramai, hanya ada belasan orang.
“Inyan ke, Dib?” sedikit mengerutkan
dahi dan semakin memfokuskan wajahnya.
“Sumpah, demi Tuhan.”
“Nye Nika kitak dah jadian, biak sumenye dah tau, Wak.”
“Matilah,” aku menggeleng heran.
“Jadi, yang buat die nangis ye ape?”
Hino mengernyitkan dahi, ia bingung. Sama seperti aku yang juga bingung
dengan semuanya. Kata Hino Hanifa menangis karena aku, berita itu ia dapat dari
Nika di kantin sebelum ia masuk kelas.
Aku semakin tidak mengerti dengan ini, bagaimana bisa dia menganggap aku
sebagai pacarnya, sementara kami tidak pernah membicarakan ini sebelumnya.
Jangankan untuk pacaran, membahas soal percintaan saja tidak pernah, bahkan
tidak pernah terlintas di pikiranku soal itu.
Aku melihatnya sedang melewati ruang
kelasku, ia bersama Nika. Sempat ia menolehku lalu melanjutkan jalan ke
kelasnya. Aku sungguh tak percaya, ia benar-benar menangis. Matanya sembab dan
merah, tampak bekas tangis yang tidak sebentar hingga membuat kantong matanya
terlihat bengkak. Aku tidak tahu apa masalahnya, sungguh aku benar-benar tidak
tahu. Kenapa semuanya menolehku dan seolah aku yang bersalah. Tatapan para
siswa di dalam kelas maupun di luar kelas sungguh membuat aku tidak nyaman.
“Dib, Ngape Hanifa nun?” Isma
langsung duduk di sampingku sambil senyum-senyum seperti biasanya. Ia memang
suka bergurau, ia adalah teman gilaku di dalam kelas. Gadis putih berambut
lurus ini memang dekat sekali denganku, sejak masuk sekolah beberapa tahun yang
lalu kami sudah berteman dekat.
“Ntah, ngape aku yang kau tanyak.”
“Kau kan kumbangnye, Dib. Nak nanyak
ke sape agek aku?” Isma menatap ke arahku, aku tahu ia ingin bercanda aku hafal
nada bicaranya jika ingin bersenda gurau, sama dengan nada bicaranya ketika
mengejekku. Namun, aku memilih melekatkan pandanganku ke ponsel di tangan. Nika
turut masuk kelas setelah dari tadi beriringan bersama Hanifa.
“Yo, tanyakkan sie,” aku
memonyongkan bibir ke arah Nika yang baru duduk di kursinya setelah tersenyum
berat ke arah kami.
“Malas,” mendekatkan wajahnya ke telingaku
dengan nada berbisik. Aku tergelitik mendengarnya, aku tahu beberapa hari ini
hubungan keduanya sedang tidak baik, entah apa masalahnya.
“Ngape dek?” aku tertawa melihat
Isma.
“Daan ape-ape, cume malas jak,” Isma
tampak malas memperpanjang.
“Yang masalah kumbangnye tadek ape
maksudnye, Ma?” aku sedikit mengeraskan nada bicara dengan harapan dapat
didengar Nika yang berjarak empat meja dari tempat kami. Isma kembali
menatapku.
“Bodo,” sambil tertawa, aku juga
ikut tertawa begitupun Hino yang juga mendengar turut merespon jawaban Isma
dengan tawa.
“Sial. Jangan-jangan kaupun ngire
aku tok cowoknye kalu i?” aku kembali sedikit mengeraskan suara. Nika sempat
menoleh ke arah kami setelah mendengar kalimatku.
“Maksudnye?” tawa Isma seketika lenyap
mendengar jawaban itu.
Kulihat Nika sedang tidak menoleh,
namun aku yakin ia menyimak dengan baik percakapanku dengan Isma. Memang
tatapannya ke depan tapi telinga tetap saja di samping, bisa fokus merekam
perbincangan walau mata ke mana-mana. Aku sangat yakin Hanifa juga
melebih-lebihkan cerita hubunganku dengan dia. Dan aku yakin orang pertama
tempat ia bercerita adalah Nika, teman dekatnya. Mungkin Nika adalah orang
pertama yang mengetahui cerita tidak jelas ini.
“Kitak dpat kabar dari mane bahwe
die ye cewekku?” aku sedikit menertawakan. “Kacau-kacau,” sambungku semakin
mengeraskan. Nika sedikit menggerakan lehernya menoleh ke atas, sepertinya ia
ingin mendengar lebih jelas.
“Kitak balom jadian?” Isma
benar-benar penasaran, kuketahui nada bicaranya terdengar memaksa aku mejawab.
“Jadian ape be. Daan boleh becinte,
maseh kacik nye umakku,” menegaskan dengan nada bercanda menertawakan raut muka
Isma yang penasaran. Aku yakin Nika mendengarnya dengan jelas.
“Nye Hanifa waktu iye kitak udah jadian,”
gadis putih berambut sebahu ini seperti ingin mengorek cerita lebih jauh, ia
semakin bersemangat.
“Bile be kamek jadian, Ma. Kanak
bulaek tolen kau ye be.”
“Inyan ke?”
Aku tidak menjawab lagi.
***
Tidak ada pesan masuk dari Hanifa
tiga hari ini, setelah ia dikabarkan menangis olehku. Aku juga tidak melihatnya
lagi menjambangi Nika di kelas kami seperti biasanya. Aku berpikiran bahwa ini
adalah akhir dari ceritaku dan Hanifa. Aku yakin Nika sudah cerita semua
tentang apa yang ia dengar tiga hari lalu. Aku tahu keputusanku berbicara
demikian akan menambah sakit perasaan Hanifa jika ia tahu. Namun, itu adalah
bentuk pelajaran gratis untuknya agar dikemudian hari tidak lagi bermain-main
dengan perasaan dan tidak menyebar cerita bohong kepada semua orang. Kalaupun
ia memang benar-benar suka, bukankah masih banyak cara yang lebih baik dari
mengakui sesuatu yang belum tentu dimiliki.
Dan hari ini aku sempat berbincang
dengan Nika sebelum siswa lain masuk kelas. Ia mengatakan bahwa Hanifa memang
bilang bahwa aku sudah jadian dengannya. Dan Nika juga bilang, hal yang
menyebabkan Hanifa menangis tiga hari lalu adalah karena cemburu melihat aku
bersama Isma terlalu dekat. Nika juga bilang bahwa Hanifa cerita semua
kepadanya tentang ia yang menyukaiku. Hingga pada suatu waktu Hanifa mengatakan
ia sudah jadian denganku dan Nika percaya dengan itu.
Aku semakin bingung dengan masalah
ini. Hanifa memang sangat baik dan aku menghargai itu, ia gadis ceria dan baik
hati. Aku tidak ingin masalah ini berakhir tidak baik. Bagaimanapun aku juga
perlu memahaminya. Jika ditelaah dengan sudut pandangnya mungkin saja ia punya
alasan lain di balik maksudnya itu. Kami saja yang selalu melimpahkan salah
padanya, terutama aku yang pertama beranggapan bahwa keputusannya itu salah,
padahal aku belum mengetahui alasan Hanifa melakukan itu. Bisa saja dia
memiliki alasan yang kuat hingga berbuat demikian. Memang jika dilihat sekilas
hal itu tak harus ia lakukan. Namun, bukankah sesuatu yang kita anggap salah
bisa berbalik benar dengan alasan yang kuat. Seperti yang kita ketahui bahwa
menghabisi nyawa seseorang itu adalah hal yang dilarang oleh agama dan
merupakan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan. Namun, membunuh atau menghabisi
nyawa seseorang juga dianjurkan jika punya alasan kuat dan dalam situasi dan
kondisi tertentu.
Mungkin terlalu jauh untuk
mangaitkannya ke arah sana, namun ada benarnya juga aku mencari tahu alasan
Hanifa melakukan itu agar aku tahu semuanya. Pagi ini begitu sendu, mentari
tampak enggan membuka mata, awan hitam lebih ramai di atas sana. Setelah
panjang lebar aku berbincang dengan Nika aku memutuskan untuk menanyakan
langsung pada Hanifa apa sebenarnya yang terjadi padanya, tentu saja tak secara
tatap mata, aku berniat meneleponnya malam ini. Aku juga ingin mengatakan
padanya bahwa aku tak menganggap hubungan kami sejauh yang ia beritakan. Semoga
saja ia memahami dan tentu aku akan meminta maaf padanya.
Tiga puluh menit sehabis salat isya,
ada panggilan masuk di layar teleponku, kudapati nama Hanifa di sana. Tiga hari
setelah tidak ada kabar, akhirnya ia meneleponku lagi malam ini. Aku penasaran
dengan apa yang akan dibicarakannya setelah kejadian tiga hari lalu. Aku masih
menunggu panggilan kedua darinya, kugenggam ponsel di tangan kanan sambil
menyeruput kopi hitamku di beranda rumah seperti malam-malam biasanya. Tidak
ada irama ayat suci kali ini, ibuku sudah membacanya selepas maghrib tadi,
begitupun bapakku. Gelap perlahan memekat, ponsel di tanganku tetap saja sunyi.
Ada keraguan di dalam diriku untuk menanyakannya terlebih dahulu, entah
mengapa. Padahal tadi siang tekatku sudah kuat sekali. Tiba-tiba saja sekarang
terasa runtuh tak beralasan.
Tanpa aku sadari kopi dalam gelas
sudah mengering ketika aku hendak menyesapnya. Tersisa serbuk hitam di dalam
sana. Aku tergerak saat teleponku kembali bergetar, dengan sigap kulihat dan
kutemui nama Nika sedang memanggil. Tanpa berpikir jauh langsung kujawab
panggilannya. Sekitar lima menit ia beicara dan aku hanya mengiyakan perintah
Nika. Katanya ia ingin bicara padaku besok di sekolah, ia baru saja mendengar
semua cerita dari Hanifa. Ia sudah mengetahui alasan Hanifa melakukan itu dan
hal yang membuat ia menangis hebat bukanlah karena cemburu. Aku hanya mengiyakan
dan penasaran dengan ceritanya. Berkali-kali aku memaksa Nika untuk bicara
namun ia bersikeras untuk bicara langsung saja besok di sekolah. Sungguh, aku
semakin penasaran dengan cerita itu. Aku memutuskan untuk tidak menelepon
Hanifa malam ini setelah berbicara dengan Nika.
***
Sungguh penjelasan Nika tentang
semuanya membuat aku hampir tak percaya. Ada bagian-bagian yang juga membuat
aku geli mendengarnya. Aku tak menyangka Isma berbuat seperti itu. Gadis putih
berambut lurus itu memang sulit ditebak. Ia senang melakukan hal di luar
perkiraanku. Sudah sering aku ia permainkan dengan kelakuan jahilnya. Walaupun
aku tahu ia memang temanku bergurau namun ada hal lain yang tak aku ketahui
darinya semenjak dulu yaitu, perasaan. Ya, dari dulu aku tidak mengetahui
perasaannya padaku seperti apa, ia memang membingungkan. Kadang ia orang yang
sangat peduli padaku tapi tak jarang pula ia menjadi orang yang tak peduli sama
sekali denganku.
Aku masih ingat saat itu, ketika aku
sakit dan tidak masuk sekolah selama tiga hari. Dan orang pertama yang datang
menjenguk ke rumah adalah Isma. Pulang sekolah hujan-hujanan ia datang ke rumah
membawa sebungkus buah-buahan dan buku catatan yang sudah penuh ia tulis selama
mata pelajaranku yang ketinggalan. Isma bilang dia membeli buku itu dengan uang
yang pernah ia pinjam dariku, dan ia meminta hutangnya lunas saat itu juga. Aku
tertawa mendengarnya, begitupun dia yang selalu setia dengan kelakarnya ketika
di dekatku. Satu hal paling kuingat dari permintaannya yaitu aku harus sekolah
esok harinya, ia bilang capek mau buatkan catatan untukku lagi. Haha sial
memang, ia selalu bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Selama tiga hari ternyata ia juga yang rela membuatkan aku surat sakit
dengan meniru tanda tanganku yang pernah kutulis di sampul bukunya. Dan untuk
tanda tangan orang tuaku sungguh tak sama sekali mirip ia buat. Namun, tetap
saja guru percaya dengan itu, guru pun tak tahu tanda tangan orang tuaku
seperti apa. Aku berterima kasih sekali padanya saat itu namun ia tak merespon
dan hanya bilang “santai”.
Saat itu sungguh aku tak sama sekali berpikiran tentang perasaannya
padaku. Banyak sekali kepedulian yang ia berikan padaku selama hampir tiga
tahun kami bersama. Sementara, aku tidak sama sekali berpikir kelewat dari
sekadar teman. Karena banyak pula hal yang tak ia ambil peduli. Terutama ketika
aku dihukum setiap senin, dan beberapa kali orang tuaku dipanggil ke sekolah
karena ulahku. Jujur ia tak sama sekali peduli. Bahkan ia hanya menertawakanku
ketika aku beberapa kali harus berpanas-panasan hormat pada tiang bendera.
Susah ditebak memang. Itu sebabnya aku tak sama sekali berpikiran bahwa ia
menyukaiku. Kalau boleh aku jujur ia adalah wanita yang cantik dan energik,
cukup baik jika dijadikan pasangan. Namun, perlakuannya pada Hanifa memudarkan
semuanya.
***
Ada waktu kira-kira dua puluh menit
untuk aku dan Nika bicara di perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat yang
sepi, hanya ada tiga sampai lima orang saja biasanya. Itu sebabnya Nika meminta
untuk bicara di sana. Kebetulan jam pertama kami kosong, Pak Kasim tidak bisa
masuk, entah apa alasannya. Nika langsung membuka obrolan dengan nama Isma. Aku
menyimak dengan seksama. Sebetulnya aku ingin bertanya balik pada Nika, kenapa
dengan Isma? Apa hubungannya dengan dia? Aku mengurungkan niat untuk memotong
obrolan dan lebih fokus menyimak. Nika berkata bahwa dua hari sebelum Hanifa
menangis hebat Isma telah bertengkar dengan Hanifa. Isma bahkan mengolok-olok
Hanifa yang telah mengaku pacaran denganku. Isma memberitahu Hanifa bahwa aku
adalah pacarnya. Kejadian itu terjadi di mushola ketika Isma dan Hanifa selesai
salat dan tinggal berdua di dalam. Aku sempat mengingat pertanyaan Hanifa
tentang hubunganku dengan Isma, saat itu aku menjawab kami hanya teman, kurasa
aku jujur menjawab itu. Tak ada yang salah denganku.
Aku menggeser kursiku semakin
mendekat pada Nika, karena ada dua siswi juga masuk ke perpustakaan. Nika
semakin mengatur nada bicaranya. Aku semakin fokus menyimak. Ia melanjutkan
cerita dengan tenang, kutatap muka meja sembari memasang telinga. Keesokan
harinya Hanifa dan Isma kembali bertemu di mushola dan Hanifa membalas
perkataan Isma. Nika bilang Hanifa terpaksa melakukannya karena Isma mengejek
ia di depan teman-temannya. Lalu dengan terpaksa Hanifa juga bilang bahwa Isma
juga mengaku-ngaku pacaran denganku sembari melihatkan pesanku di teleponnya.
Saat itu juga Isma merampas telepon Hanifa dan menghapus kontakku. Isma berang
dan mengancam Hanifa dengan ancaman pengeroyokan. Hal itu juga disetujui oleh
teman-teman Isma saat itu.
Malam hari setelah kejadian
tersebut, Isma ditemani Aurel dan Diska serentak meneror Hanifa lewat pesan.
Bahkan diantara ketiganya ada yang berkata tidak akan segan berbuat apa saja
untuk membuat Hanifa malu dan menderita. Entah Aurel atau Diska ia tak tahu
orangnya. Hanifa bingung untuk berbuat apa, saat itu ia hanya memendam tanpa
memberitahu siapapun termasuk Nika. Ia sangat takut. Pagi hari ketika ia
berangkat sekolah, ia dicegat oleh Isma dan kedua temannya. Ia dibentak-bentak
dan diancam oleh Isma, Aurel dan Diska.
Sungguh aku sama sekali tidak
menyangka Isma melakukan hal sekeji itu, padahal pagi itu ia sendiri yang
bertanya kepadaku ada apa dengan Hanifa, ia sama sekali tidak terlihat bersalah
ketika itu. Memang aku juga tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Hanifa
namun aku jauh lebih tidak setuju lagi dengan perbuatan yang dilakukan Isma dan
temannya. Ini sudah kelewat batas. Pantas saja Hanifa menangis hebat pagi itu,
rupanya ada masalah besar yang sedang menghantuinya. Sedikit saja ia salah
melangkah akan berakibat buruk pada dirinya.
Apakah mencintai harus jadi sebodoh
itu. Hanifa dan Isma menurutku tak jauh beda, sama-sama hilang kendali
menyikapi hati. Hanifa dengan kelancangannya mengaku-ngaku hingga membuat malu dirinya
sendiri. Isma dengan tindakan buruknya melakukan hal yang tak seharusnya
dilakukan. Cinta memang biadab, menguras kewarasan seseorang dalam mengambil
sikap.
Aku masih terdiam, mencoba berpikir
tentang masalah ini. Aku bingung apa yang harus aku lakukan untuk membuat
semuanya kembali normal. Jika diteruskan ini akan membahayakan bagi Hanifa dan
tak menutup kemungkinan juga membahayakan bagi Isma. Nika pun sepertinya geram
dan dendam kepada Isma, Aurel dan Diska. Aku dapat melihat raut wajahnya memerah
ketika bercerita. Ia tampak marah dengan kelakuan Isma dan temannya. Bagaimana
tidak, Nika adalah teman dekat Hanifa, jelas ada dendam menyusup ke diri Nika.
***
Jantungku seketika berdegup saat
Nika hendak melanjutkan obrolan. Aku tak dapat menyimak dengan baik lagi,
mataku sesekali liar melirik ke sebelah kiri. Pendengaranku sedikit berkurang
dan beberapa kali meminta Nika mengulang. Sebenarnya bukan pendengaranku yang
berkurang, lebih tepatnya aku tak lagi fokus menyimak suara Nika yang cenderung
pelan. Konsentrasiku buyar. Aku melihat binar keteduhan di sana, di meja
sebelah kiriku. Ya, binar. Gadis berambut keemasan yang belum lama ini tanpa
sadar menyelinapi kepalaku. Kuamati ia begitu tenang membaca buku. Aku tahu
buku apa yang sedang ia baca, antologi puisi DukaMu Abadi, itu adalah buku
kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono. Aku baru saja membacanya beberapa
minggu yang lalu, walaupun belum hatam, hanya beberapa puisi saja yang
kubaca.
Nika memutuskan keluar, mungkin
telah habis cerita. Gadis berambut keemasan itu melirik ke arahku sewaktu Nika
pamit. Sungguh jantungku sedang tidak stabil detakannya, Wajah oval putih
berseri dengan bibir tipis merah muda itu lamat-lamat kutatap. Namun, ia lebih
senang menatap buku di tangannya. Rambut keemasan terbelah, berurai lurus
panjang begitu serasi dengan kelopak mata sayu di wajahnya. menggemaskan
sekali, tak kalah dari gadis-gadis Jepang yang sering kulihat di televisi.
Hanya ada aku dan dia sekarang di dalam perpus ini. Oh iya, bertiga dengan Bu
Julaiha penjaga perpus yang selalu sibuk dengan gawainya. Sepuluh menit lagi
jam pelajaran berganti. Tak banyak yang dapat kulakukan selain menetap dan
menatap keindahan di sebelahku. Aku tidak tahu untuk memulai percakapan
dengannya. Padahal sekarang hanya berjarak dua meja kosong saja antara aku dan
dia. Ini seperti beberapa minggu yang lalu ketika aku berdua saja di sini
dengannya, ketika waktu terasa begitu cepat memutarkan jari-jarinya kala itu
dan sekarangpun sama.
Bel pergantian jam pelajaran
berbunyi, kulihat kembali tubuh mungil itu keluar setelah menaruh kembali buku
ke barisannya. Ini kedua kalinya aku gagal bicara dengan dia, hanya bicara saja
cukup untukku sebenarnya. Entah angin dari mana melintas di benakku
mengingatkan tentang daftar hadir di meja dekat pintu masuk. Bukankah setiap
siswa wajib mengisi itu sebelum masuk perpus, sama seperti yang kulakukan
beberapa kali ke sini. Aku dapat mengetahui namanya dari sana.
Thanisa, nama itu terletak paling bawah di daftar hadir, ia adalah orang
terakhir yang masuk ruangan. Perasaanku mendadak bahagia, bibirku spontan
tersenyum. Aku segera keluar setelah mengucapkan terima kasih pada Bu Julaiha.
Bu Julaiha mengerutkan dahinya membuat kacamata yang ia kenakan sedikit
bergeser melihatku keluar dengan muka girang. Tidak masalah pertemuan kedua ini
gagal lagi, setidaknya aku sudah tahu namanya kali ini.
Baca Juga: Cerita Roman Fiksi Remaja Part 1
***
0 Komentar