Cerpen Romantis (Meldy Saputra)

JINGGA UNTUK MOCHIE

     Kisah ini kumulai dari sepucuk puisi yang aku tulis melalui Instagram, menyapa seorang gadis yang kupanggil Nona Mochie. ”Kurakit kata sembari menarikan jemari, menyapa nona yang tersenyum melihat sebuah kata, kuharap ada balasan, panjang atau pendek memulai cerita, berbisik kata ketika pagi menyambut hangat hingga malam memanggilmu terlelap, jangan tertegun melihat petikan kata ini, karena ku hanya ingin menyapa, siapakah Nona?” Ini sajak pertamaku untuknya, mungkin baru pertama kali aku mencoba memberanikan diri menyapa seorang gadis melalui pesan Instagram.

     Tak membutuhkan waktu lama pesan yang aku tunggu pun dibalas olehnya. “Berkelana sendirian menghampiri senja berayun pada gelapnya malam, terselimut embun pagi yang memanggil untuk bangun, lalu seketika terhangatkan oleh sinaran mentari yang mulai terbit malu-malu menunjukan siapa dirinya.” Tidak aku sangka puisiku terbalas, seketika aku tersenyum tipis membaca puisi itu. Terus kulontarkan segala rayuan dalam pesan itu, mencoba membuat percakapan ini terasa nyaman.

      Hariku dan harinya dimulai ketika aku mendapatkan nomer whatsAppnya. Bentang waktu menjadi saksi dimana kala waktu senggangku, kucurahkan untuk membuatnya tersenyum. Walaupun hanya dengan sebatas tulisan, aku dan dia tak pernah lelah untuk berbagi cerita. Menanyakan tentang kepribadian masing-masing. Berbalas puisi yang kadang membuat kami mungkin tersenyum sendiri di hadapan ponsel masing-masing, embusan rasa kecocokan itu terasa nyata menerpaku.

     Singkat cerita hari itu aku memberanikan diri untuk mengajaknya keluar, dan dia pun menyetujuinya. Aku mempunyai tempat favorit di sudut kota Khatulistiwa ini, menghabiskan waktu senja bersama teman-temanku. Menikmati hamparan sungai dan bias mentari sore memecah cakrawala. Baca Juga: Cerpen Romantis 21+

     Waktu menunjukan pukul 19:15. Aku berangkat menjemputnya. Waktu di perjalanan rasanya detak jantungku memompa sangat cepat, sepertinya grogi menyapaku. Banyak tanya di benakku, apakah ini akan menjadi awal atau akhir dari perjumpaan. Kurang lebih 15 menit berlalu, aku sampai di rumahnya. Dia telah menungguku tepat di depan rumah. Ketika aku melihat senyum tipis di sudut bibirnya, seperti aku telah menemukan rasa yang telah lama aku simpan rapat yang terkubur jauh di dasar hatiku.

      Kami memulai perjalanan menuju suatu tempat yang telah aku janjikan untuknya. Di perjalanan aku dan dia terus bercanda. Entah apa yang aku rasakan dan apa yang juga dia rasakan semua mengalir begitu nyata. Seperti tiada penyekat antara pembicaraan kami. Padahal ini perjumpaan yang pertama. Kami begitu akrab, kecanggungan itu seperti telah tiada, kami bagaikan telah mengenal begitu lama.

     Sampailah kami di tempat tujuan. Aku memarkirkan motor tepat di tepi pagar pembatas sungai, dan memulai cerita dimalam itu. Bercanda, memotret senyumnya dan menatap wajahnya begitu dalam. Angin, lampu taman, sampan yang lalu lalang di sungai mungkin menjadi saksi bisu dari keberadaan kami.

     Malam itu aku merasakan kehangatan berada di sampingnya, mungkin juga dia merasakan hal yang serupa dengan apa yang aku rasa. Larut dalam suasana malam itu, tak aku sangka ternyata bahuku menjadi tempat bersandar dikala dia bercerita tentang dirinya yang lebih dalam. Tanganku tak terkendali. Sambil ku elus rambut hitam kepirangannya membuat dia merasa nyaman berada di sampingku. Kehangatan itu nyata, aku mencoba menggenggam jemarinya merasakan getaran-getaran yang mengalir yang tak dapat terbendung. Matanya menjadi senjata ampuh melemahkan ratapku, terbias senyum tipis di sudut bibirnya meratah sukmaku, sepertinya aku terjebak oleh segala tentangnya.

    Waktupun sepertinya enggan bersahabat. Memaksa kami untuk mengakhiri perjumpaan ini. Kulihat jam tanganku menunjukan pukul 22:40 waktu menjadi penyekat pertemuan kami, dan aku pun harus mengantarnya pulang. Di perjalanan, aku merasakan ada aku di hatinya. Tampak jelas segala rasa yang begitu nyata menerpaku. Tapi aku juga tidak ingin terlalu terburu-buru untuk menilai apa yang aku rasakan. Biarlah aku pendam rasa ini terlebih dahulu. Membiarkan semunya menepi terbawa arus kisah sederhana, yang akan mengantarkannya di tepian dermaga rasa ini. Dan mungkin hanya Tuhan yang tahu seberapa dalam getaran yang aku rasakan saat ini.

     Waktu berjalan begitu cepat, kami berdua semakin akrab aku dan dia sama-sama penyuka senja, penyuka lagu-lagu indie bertemakan rayuan semesta dan aksara cinta. Kecocokan pun kian mulai menguat antara kami. Dimana hari-hari kami lewati dengan saling berbalas puisi menanyakan kesibukan masing-masing dari terbitnya fajar hingga kantuk menjadi jeda cerita kami.

     Tidak terasa hari ulang tahunnya pun akan segera tiba. Aku yang juga sibuk dengan pekerjaanku mencoba membagi waktu untuk sekadar memberikan surprise yang mungkin tidak ia sangka-sangka.  Aku mencari tahu teman terdekatnya, dan sekali lagi Instagram menjadi penolong rencanaku kali ini.

Hay, Tuti. Temannya mochie?”

Iya, siapa ya?“

Oh iya, ada rencana enggak buat memberikan surprise ke Mochie?“

Oh, mungkin besok mau ngasi dia surprise dengan teman yang lain, mau ikut?“

Pas dong, yaudah kita lanjut di whatapp aja ya, biar lebih fast respons aja.

Aku memberikan nomor WhatAppku, dan mengatur janji, dan rencana. Aku yang sibuk dengan pekerjaanku berpikir keras untuk memberikan kesan yang terbaik, dan semua hal yang akan aku lakukan sudah tersusun dengan matang di otakku. Siang itu Tuti menanyakan kembali keseriusanku dalam rencana ini.  Jauh sebelum hari ulang tahunnya aku sudah mengajak Mochie untuk menonton film di bioskop. Baru aku sadari ternyata harinya bertepatan dengan hari memberikan surprise kepadanya. “Duh mana aku masih di luar kota mungkin udah sore baru sampai.

Gimana, Bang, entar malam rencana kita? Semuanya udah sip nih entar ketemu di cafe ya."

Aman, Ti. Cuma abang masih di luar kota nih. Sore mungkin baru sampai.

“Waduh gimana, ya. Kirain Abang gak kemana-kemana mau nitip beli kue ultah ya sih. Soalnya Tuti hari ini gak sempat, teman Tuti juga ada yang ulang tahun.”

Yaudah entar Abang usahain cepat pulang.

Oke, Bang. Entar kabarin aja ya.”

Siap, Ti.”

Aku menjadi bingung. Aku tidak tahu apakah aku bisa tepat waktu? Untuk sekadar membelikannya kue, dan memberikan sesuatu untuk Mochie. Aku diam sesaat dan memikirkan cara yang efisien dari jauh. Kado udah aku pesan, kuenya tinggal aku ambil, karena Tuti sudah memesan kue itu. Matahari telah meredup, malam pun sudah menunggu, aku masih dalam perjalanan pulang. Dengan cepat aku memacu mobil mengambil alih kemudi agar semuanya tepat waktu.

Sesampainya di kota, aku singgah ke toko untuk mengambil pesanan kue yang telah dipesan Tuti sebelumnya. Dan pergi mengambil kado yang sudah aku pesan online. Kudapati pesan singkat dari Mochie.

“Jingga hari ini mungkin kita nggak bisa nonton, soalnya aku ada acara sama teman juga hari ini. Lain kali aja ya. Maaf .“

“Aduh aku udah mesan tiket untuk jam setengah sepuluh loh, Mochie.”

Hehe padahal aku udah mengatur jadwal dengan Tuti tentang jadwal ke cafe, dan selesai memberikan surprise ke Mochie, aku akan membawanya ke bioskop.

“Gimana ya, Jingga. Gak bisa hari ini, maaf ya. Aku mau pergi dengan temanku dulu udah janji juga.

“Iya deh, seterah kamu aja.” Aku membuat seolah ia menjadi bete, agar semua rencana ini berjalan lancar.

Tidak terasa waktu telah menunjukan pukul setengah delapan. Aku udah siap-siap untuk pergi ke cafe menuggu kabar dari Tuti. Tidak lama kemudian, Tuti menelpon dan memberi-tahukan posisi keberadaannya. Segera aku berangkat menuju cafe tersebut. Kurang lebih sepuluh menit di perjalanan aku sampai di depan kafe. Mochie ada di atas kafe tersebut bersama teman-temannya yang lain. Aku menelepon Tuti, itu adalah pertemuan pertamaku dengannya. Karena selama aku dekat dengan Mochie tidak ada yang mengetahui kedekatan kami termasuk sahabatnya Mochie. Tuti datang menghampiriku.

“Jingga ya?”

“Iya, Ti. Ini kuenya. Mochie di mana?”

Kamu aja bawa kuenya, Jingga. Mochie nya di atas, dia menghadap ke belakang. Jadi kalau kita datang, dia pasti gak sadar.”

Oke sip deh, hehe.”

Aku menghampiri Mochie pelan-pelan dan menghidupkan lilin, dia benar-benar tidak sadar kalau aku ada di belakangnya. Sontak semuanya bernyanyi “happy  birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday happy birthday Mochie.Tampak dia kaget setengah tidak percaya kalau aku akan ada di tengah-tengah temannya. Terlihat di wajahnya, dia merasa bahagia. Mata itu tidak bisa berbohong menandakan kebahagian itu tak terbendung. Setelah dia meniupkan lilin aku memberikannya bunga mawar yang sengaja aku pilih bunga mati, agar dapat selalu ia ingat dan simpan. Berharap tak akan layu seperti rasa ini. Suasana menjadi terasa hangat di malam itu.  Teman-teman Mochie tampak senang atas hadirnya aku untuk Mochie.

Cie cie, udah enggak jomblo berkarat lagi, nih,” kelakar salah satu teman Mochie

“Apaan sih, belum jadian aja coba.”

“Tuh. Kode tuh, Bang, hehe.”

Teman-temannya mengisyaratkan kami untuk bersama

“Hehe, enggak cuma teman.”

Aku hanya tersenyum mendengar candaan teman-teman Mochie, sambil menatap wajahnya.

Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, kurang lebih lima belas menit lagi film di bioskop itu akan dimulai. Aku meminta izin untuk pergi membawa Mochie kepada teman-temannya. Sebelumnya, Mochie sudah tahu kalau aku akan mengajaknya pergi, karena Tuti menasihatinya untuk menepati janjinya denganku. Mochie pun mengambil helmnya di dalam mobil Tuti, yang memang sudah dibawanya untuk pergi berdua denganku. Malam ini terlihat semuanya sangat bahagia, walaupun tanpa bintang dan bulan tapi setidaknya binaran cahaya itu ada di depanku.

Aku masuk ke studio bioskop dengan terburu-buru. Dikarenakan sepuluh menit yang lalu film itu sudah dimulai. Tidak apa deh setidaknya kami jadi nonton berdua. Kali ini film bergenre horor. Kebetulan malam ini malam jum’at, sepertinya seru untuk menjahili Mochie. Detik demi detik berlalu. Ya, mungkin kalian tahu seramnya nonton film horror kalau di malam jum’at, dengan adegan yang kadang membuat kita terkejut karna efek sound studio bioskop membuat tangan menjadi dingin dan jantung sedikit cenat-cenut. Aku meraih tangan Mochie dan menggenggamnya, menyandarkan sedikit kepalanya di bahuku agar dia tidak ketakutan. Dia meraih jaketku untuk menutupi matanya, karena filmnya menurutku juga seram. Aku juga sampat kaget.

    Film pun berakhir, tidak terasa udah pukul sebelas malam, aku harus mengantarkannya pulang. Kami memilih melewati jalan baseman, dikarenakan lift sangat padat malam itu. Tapi bagus deh jadi aku bisa sedikit lama dan ngobrol  di perjalanan pulang.  Tenang! iya itu yang aku rasakan saat berada di samping Mochie wanita yang sangat sederhana, yang hampir memiliki hobby yang sama denganku. Di perjalanan pulang, perasaanku hampir meletus bagaikan merapi yang mau memuntahkan laharnya, tetapi aku hanya ingin memuntahkan perasaanku kepada Mochie.

 Apakah akan ada Jingga yang lebih indah Mochie?

Pertanyaanku dimulai, karena memang kami sering mengunakan bahasa isyarat

 “Mungkin, karna akan selalu ada jingga-jingga yang lain, di sore itu.”

 “Apakah aku bisa menjadi Jingga yang terakhir, yang membekas di hati nona penyuka senja?”

 “Aku tidak tahu, aku bukan nona senja yang terbaik untuk menemani jingga yang terindah, aku takut semuanya menjadi fana.

 “Apakah semesta akan murka jika kita tidak bersama? Aku menyukaimu sabab hanya kau yang tahu caranya menyembuhkan hatiku.”

  “Aku tidak bisa menjawabnya Jingga, beri aku waktu memutuskan semua ini.”

  “Jangan membuat sayapku patah lagi.”

  “Semoga saja.”

   Aku sampai di depan rumah Mochie, sekali lagi aku memandang wajahnya, dia juga menatap wajahku.

  Terima kasih ya buat hari ini, nggak nyangka banget.

  Iya sama-sama, aku juga ikut senang. Selamat ulang tahun ya nona Mochie nona penyuka senja.

  Iya makasih ya Jingga, hati-hati di jalan, kalau udah sampai kabarin.

  Iya Mochie hehe.

Aku merasakan ada aku di hatinya, tampak jelas binaran matanya menembus hatiku.

    Aku masih belum menemukan jawaban darinya. semenjak dari itu Mochie sangat sibuk. Karena dia bekerja di salah satu PT untuk menganalisa dan menentukan hasil kadar dan kualitas yang baik. Hari-hari yang aku lewati dengan kesibukan pekerjaan masing-masing. Mochie berubah. Pesanku sering tidak dibalas. Ada apa? apakah aku salah dengan kejujuran perasaan ini? Semakin lama, aku merasa senjaku pergi. Aku menanyakan kepastian tentang ini semua. Sore itu aku membrondonginya dengan banyak pertanyaan.

  Mengapa semua ini berubah setelah malam itu?"

  Apakah aku harus jujur sekarang?

  Tidak ada alasan untuk kita tidak saling jujur sekarang!

  Aku tidak bisa bersamamu Jingga, aku takut semua ini terlalu dalam dan membuatmu kecewa.

  Aku tahu, kau tidak seperti ini, pasti ada sesuatu yang membuatmu seperti ini.

  “Iya ada, karna aku tidak mencintaimu, aku takut rasa ini semakin  dalam dan akhirnya melukaimu lebih kejam, lebih baik kita akhiri saja rasa ini.”

  “Sekarang kau menjadi aneh, jadi selama ini yang aku rasakan dan juga yang kau tunjukan itu hanya kepalsuan?”

  Aku tidak sedang pura-pura Jingga, aku berusaha untuk mencintaimu tapi aku gagal, aku masih ingin sendiri.”

     Setelah hari itu, aku hanya menahan kekecewaan yang teramat dalam untuk kesekian kalinya. Aku benar-benar tidak percaya apa yang Mochie katakan, setiap katanya mengiris kewarasanku. Jadi selama ini apa yang aku rasakan itu hanya kefanaan, atau hanya aku yang mendamba? Entahlah aku yang sudah lama terluka hari ini kembali terluka, aku yang sulit jatuh cinta kepada seseorang akhirnya menelan kembali kisah pahit. Dia yang menolongku dia juga yang membunuhku, aku kira dia rumah tempat aku merebahkan asa ternyata dia mengusirku di saat senja itu ikut meredup ditelan semesta.Hanya kau yang tahu caranya membuat diriku terluka, dan hanya kau tahu caranya menyembuhkan hatiku.” Bung Fiersa Besari.

 Baca Juga: Cerpen Kemerdekaan

Kefanaan ini terus berlanjut, musim pun telah berganti, senja pun telah berlalu seketika kabut lara ini membuatku lemah tak bernyali ~

Penulis: Jinggaempat

Tentang Penulis dapat dipantau di instagramnya @Jinggaempat atau @Meldy Saputra

Posting Komentar

0 Komentar