Cerpen Persahabatan (Selepas Subuh)

Selepas Subuh  

Seusai salat subuh Aslan selalu berlama-lama di mesjid. Ia memang pemuda yang dikenal alim di kampung. Hal itu kuketahui dari omong-omong orang beberapa hari ini. Kebetulan hari ini aku bertemu dengannya setelah hampir lima tahun tak bertatap muka, lebih tepatnya aku telah berencana menemuinya. Aku yang kuliah di kota dan ia yang bekerja di negeri tetangga membuat kami sulit untuk bertemu. Tak ada satu orangpun yang tahu pekerjaan Aslan di sana.

Hari raya seperti inilah menjadi waktu orang-orang membalas kerinduan pada teman, pada keluarga setelah sekian lama tak berjumpa. Hari raya tahun lalu Aslan tak dapat pulang kampung karena pandemi yang meresahkan banyak negara. Dan, tak ia jelaskan alasan ia tak pulang pada lebaran-lebaran sebelumnya.

Selesai melaksanakan salat fardhu subuh tadi aku langsung duduk menyandarkan diri di tiang mesjid sambil berjulur kaki menunggu Aslan menyelesaikan dua rakaat salat sunat. Entah salat sunat apalagi yang ia kerjakan selepas salat fardhu subuh. Setelah selesai ia langsung menyalamiku ditambah senyumnya yang tak pernah berubah, sumringah. Di matanya kulihat kerinduan berbinar jelas. Pertemuan kali ini jadi semakin menyenangkan, Aslan begitu bersemangat menceritakan kegiatan-kegiatannya di negeri tetangga.

Sungguh, ia begitu antusias menceritakan pengalaman yang ia dapat di sana. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang ia lakukan bersama teman-teman majelisnya membuat ia betah di sana. Katanya lagi, ia bahkan telah dikenal banyak orang di sana, ia juga digelari sebagai pelopor hijrah kaum muda oleh jemaahnya. Sebetulnya, tanpa ia beritahu aku sudah sangat tahu tentang itu.

“Aku turut bangga mendengarnya, Lan,” kataku memotong ceritanya.

Tak lama ia juga memintaku untuk bercerita perihal pengalaman kuliahku di kota. Namun, tak kuceritakan pengalaman itu. Sesuai dengan niatku sejak beberapa hari lalu, aku ingin bercerita masalah lain kepada Aslan.

Suasana yang tadinya begitu hangat dan menyenangkan kini menjadi serius, bahkan terasa sangat serius ketika aku menceritakan pengalamanku pergi ke alam mimpi. Iya, alam mimpi yang telah kupelajari dan kupraktikkan selama hampir dua bulan belakangan. Aslan sangat serius menyimak.

“Jujur, aku sendiri tidak tahu pasti alasannya. Aku juga tak tahu harus seperti apa menjelaskan semuanya, Lan. Tapi, apa yang aku alami di mimpi terasa benar-benar terjadi. Aku tak ingin percaya, apalagi meyakini kebenarannya. Berkali-kali aku membantahnya sendiri. Namun, usahaku gagal. Setelah kutemukan sebuah peristiwa di sana pasti kutemukan juga di sini, di dunia nyata. Hal ini sudah beberapa kali terjadi. Dalam beberapa malam ini, mimpi itu bahkan semakin mudah kukendalikan, aku bebas masuk dan ke luar dari sana kapanpun aku mau. Aku bebas pergi ke waktu lampau atau waktu yang belum terjadi sekalipun. Baik dengan tertidur ataupun terjaga aku bisa melakukannya,” kataku menjelaskan pada Aslan yang tertegun diam mendengarkan.

Aku tahu ia berpikir bahwa aku mengada-ada. Tentu saja aku tahu, karena sebelum pertemuan ini, aku sudah melakukan ini di alam mimpiku dan berkeliaran di alam pikirannya.

“Cara menembus alam mimpi ini sudah hampir dua tahun kupelajari. Kau bisa mencarinya di internet lewat hapemu. Ketik saja cara melakukan Lucid Dream, akupun belajar dari sana. Istilah itu dicetuskan oleh seorang psikiater dan penulis Belanda,” kataku dengan yakin sambil coba mengingat namanya “kalau tidak salah namanya Frederik Van Eeden.” Baca Juga: Cerpen Romantis 21+

Aslan hanya mengangguk pelan.

“Malam tadi, kesekian kalinya aku berhasil masuk ke sana dan itu sudah sangat mudah bagiku. Aku juga tak bisa menjelaskan bagaimana caranya aku bisa mengetahui isi kepala orang-orang di sana. Padahal tak ada sedikitpun hal itu kupelajari. Sungguh menyenangkan bisa berkelana di sana, Lan. Berkelana di kepala orang-orang. Di kehidupan kali ini, aku telah bisa memiliki beberapa dunia dengan dimensi yang berbeda-beda. Kau tidak tertarik untuk belajar? Sungguh menyenangkan, Lan.”

Aslan diam saja, lalu kulanjutkan cerita tanpa menunggu jawabannya. Karena sungguh aku telah tahu ia tak akan menanggapi.

“Yang juga membuatku heran, entah bagaimana orang-orang semakin gemar berpura-pura. Apa yang ada di kepala mereka tak sama sekali seperti apa yang mereka ucapkan. Siasat demi siasat mereka mainkan dengan sempurna. Dengan mimik muka dibuat-buat peranan-peranan dimainkan. Semuanya terencana di kepala mereka.”

Aslan masih diam menyimak dengan baik. Sesekali kulihat ia menatap kosong, lalu kembali meyimak saat aku bicara.

“Kau tahu,” kataku meyambung setelah beberapa saat kami saling diam. Mendengar itu Aslan kembali menatapku khidmat.

“Di sana aku melihat calon bupati pidato berapi-api. Di panggung yang dikurumuni banyak orang ia berkata sambil mengepal tangan ke atas ‘Saya bertekad memakmurkan kehidupan masyarakat. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kita miliki belum sama sekali dimaksimalkan selama ini, padahal dua hal tersebut jika dikelola dengan baik tentu akan membuat masyarakat hidup sejahtera. Insya Allah jika bapak ibu memberikan amanah kepada saya, saya akan maksimalkan kekayaan yang kita miliki ini. Akan kita maksimalkan sebaik mungkin bapak ibu,’ seperti itulah yang kuingat. Bicaranya tegas dan sangat meyakinkan. Sungguh, aku meradang melihat pemandangan itu.”

“Entahlah,” kataku sedikit menggeleng, “di kepalanya aku melihat jelas siasat yang ditutup rapat. Beberapa sumber uang dan kekayaan yang hendak ia rampok telah matang terencana, siap dilumat. Dan, tentu sesuai dengan apa yang ia katakan ‘Maksimalkan sebaik mungkin kekayaan sumber daya alam’ kata-kata itu selalu tergiang di kepalaku.”

Aslan terus saja diam. Ia tak bicara sepatah kata pun. Hanya saja, kali ini ia menggulung kain sarungnya, dan membetulkan peci di kepalanya lalu diam lagi dan tatapannya kembali kosong menatap pintu mesjid yang terbuka lebar di belakangku. Tak juga punya banyak waktu untukku masuk ke alam mimpi untuk mengetahui isi kepala Aslan saat itu. Tetapi lewat mimpi beberapa malam lalu, aku sudah tahu apa yang berkecamuk di kepalanya. Itu sebabnya aku ingin sekali menemuinya. Lalu, kulanjutkan saja cerita agar tak semakin gamang. Kuceritakan apapun yang telah kualami di mimpi itu.

“Yang membuatku tak habis pikir, Lan,” kataku memecah lamunan Aslan juga memecah kesunyian antara kami.

“Orang-orang yang berilmu lebih, malah makin mudah terjerumus dan tersesat. Terutama dalam beragama. Banyak sekali kutemui orang-orang seperti itu, tahu segala ilmu agama tetapi memanfaatkannya untuk kepentingan dunia. Lagi-lagi semua tentang uang, Lan. Kau boleh saja tak percaya, tapi aku melihat sendiri salah seorang pendakwah muda di mimbar bicara soal kejujuran, amal saleh, berinfak, berwakaf, dan sedekah-sedekah lainnya. Aku melihat jelas isi kepalanya penuh dengan muslihat. Memanfaatkan hal itu untuk mengayakan diri mereka sendiri dan kelompok mereka.”

“Zaman sekarang, mudah sekali mencari uang jika menjual nama agama, Lan. Tak sulit mencari uang seratus dua ratus juta jika sudah diembel-embeli agama. Orang-orang akan berbondong, memesan kapling-kapling tanah di surga seperti yang dikatakan pendakwah itu. Kau juga pasti sudah mendengar tentang wakaf umat yang heboh beberapa tahun lalu di negeri yang kacau sana. Kau lihat sendiri kan, mudah sekali mengumpulkan uang jika dibumbui agama.” Baca Juga: Cerpen Kisah Cinta Pelacur

Aslan mengangguk pelan

“Ada saja orang-orang gila yang memanfaatkan agama, menjual agama. Itu sebabnya aku lebih suka orang-orang alim di kampung kita ini, Lan. Mereka bersahaja. Ikhlas. Tak menjual agama untuk menumpuk harta.”

Mendengar kalimatku yang terakhir kulihat Aslan sedikit mengangguk kepala. Tatapannya masih tak berpindah. Sunyi kembali. Belum juga Aslan bicara saat aku menerangkan semuanya. Tak lama kulihat juga ia bergerak, kali ini tatapannya tertuju pada keramik yang mengilat terkena pantulan cahaya putih bohlam mesjid. Melihat Aslan tak menanggapi apa yang aku ceritakan membuatku merasa menang dan apa yang kurencanakan berhasil. Aku masih menyusun kalimat di kepala, memilah kata agar tak terkesan menyindirnya.

“Agaknya, tak perlulah kuceritakan terlalu banyak, Lan. Aku tak ingin memberitahumu tentang kepura-puraan yang kau pikir tak mungkin terjadi itu. Tapi begitulah kenyataan sesungguhnya yang kutemui. Aku tak ingin kita berdebat, tak ada untungnya kita berdebat soal itu. Kau tak percaya, tentu itu hakmu. Yang juga perlu kau tahu, akupun telah berkali-kali menyangkal hal yang tak masuk akal itu, tapi aku kalah oleh kebenaran yang telah kutemukan sendiri di kehidupan nyata ini, dan semuanya kuketahui dari sana, dari kepala mereka sendiri.”

“Manusia memang senang berpura-pura, Lan,” kataku memutus dan mengembalikan kesunyian di antara kami.

Cukup lama kesunyian berada di tengah kami. Aku semakin tak sabar ingin mendengar tanggapan Aslan tentang ceritaku yang panjang lebar itu. Melihat tak ada gerak-gerik Aslan untuk bicara, langsung saja kubuka suara.

“Oh iya, aku juga menemukanmu di sana, di mimpiku itu. Tapi, tak perlu kujelaskan kebohongan apa saja yang kutemukan darimu, jelas kau akan sangat tersinggung berat andaikata kujelaskan. Kau sendiri yang lebih tahu. Sebelum kita berjumpa kali ini, aku sudah melakukan ini beberapa malam yang lalu di mimpiku, Lan. Bahkan aku sudah beberapa kali melihatmu,” kataku sambil tersenyum berat.

Suasana semakin senyap, tak ada kata-kata. Suara kipas angin berdegung jelas. Udara dingin pagi itu berdesir masuk. Tiba-tiba ia angkat wajahnya menatap ke arahku. Wajah itu merah. Namun, tak lama bola matanya menjadi liar, tak lagi tetap seperti sebelumnya. Aku dapat merasakan kegugupan dalam dirinya, lewat matanya, lewat air mukanya, lewat gerak-gerik tubuhnya, semuanya sangat jelas. “Kena kau,” kataku dalam hati.

Semburat cahaya mulai terang di luar. Beberapa orangtua mulai berdatangan mengemasi mesjid untuk salat idul fitri. Salah seorang telah menyalakan pengeras suara. Tak lama takbir bersahutan dari orang-orang di dalam mesjid. Aslan telah pulang beberapa saat lalu tanpa berkata apapun kepadaku.

Pagi itu, setelah salat idul fitri, orang-orang bertanya-tanya keberadaan Aslan. Kemana dia, padahal ia sendiri yang meminta untuk menjadi khatib pada salat idul fitri tahun ini. Seseorang setengah berteriak menanyakan keberadaan Aslan, entah kepada siapa, “Kemana Aslan?”

Kepala orang-orang menoleh kiri kanan, depan belakang, mencari keberadaan Aslan. Tak ada yang menjawab. Tak ada yang tahu. Tak ada pula batang hidung Aslan.

“Mana Aslan?” kata salah seorang setengah berbisik, yang kebetulan melihat kami berdua subuh tadi.

***

Tiga tahun sudah selepas kejadian itu aku tak pernah lagi melihat Aslan. Aku sungguh tidak tahu keberadaannya. Hari itu, adalah kali pertama salat idul fitri tanpa khotbah di mesjid kampung kami. Hari itu pula, hari terakhirku bermimpi, baik mimpi yang dapat kukendalikan maupun yang tak dapat kukendalikan sekalipun. Selama tiga tahun ini, tidurku hanya ditemani kekosongan. Namun, sampai cerita ini selesai diketik, kejadian inipun belum juga terjadi. Barangkali idul fitri tahun depan atau tahun depannya lagi? Entahlah.

 Baca Juga: Cerpen Berdamai dengan Maut

 

Pontianak, 20 Oktober 2020

-Edri Ed-

Posting Komentar

0 Komentar