Tradisi Kalimantan


Menunggu Nasib Tradisi Antar Ajong 

Adat dan kebudayaan akhir-akhir ini gencar dibicarakan. Baik oleh pelaku budaya itu sendiri maupun orang-orang yang sadar akan pentingnya pelestarian adat dan budaya. Hal ini terjadi tentu karena kepedulian terhadap adat dan budaya agar tidak punah digerus zaman. Sebab, dengan zaman yang kian hari semakin bergerak membuat adat dan tradisi kebudayaan perlahan dilupakan.

Adat dan budaya merupakan jati diri. Identitas suatu daerah dan suatu suku yang mesti dijunjung tinggi. Karenanya, menjadi suatu keharusan untuk tetap menjaga serta membuat keberadaannya tak tenggelam di tengah masyarakat.

Tak bisa dipungkiri, beberapa tradisi kebudayaan perlahan dilupakan di tengah masyarakat. Bahkan, terdapat sejumlah tradisi yang sampai saat ini punah sama sekali. Berdasarkan pengamatan saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Sambas, yang dulu menyaksikan sendiri dan hidup dalam tradisi-tradisi yang dilupakan, berkesimpulan bahwa ada berbagai faktor kenapa tradisi tersebut lenyap. Lebih tepatnya dilenyapkan. Salah satu faktor yang sering didengar ialah, dibenturkannya suatu agama dengan tradisi-tradisi lama, sehingga tradisi tersebut dinilai bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal tersebut menjadikan keberadaan tradisi kebudayaan dilupakan karena dinilai bertentangan dengan agama yang dianut.

Belasan tahun lalu, saya menyaksikan sendiri bahkan melakukan tradisi-tradisi yang sekarang tak pernah lagi dilakukan. Terutama di Desa Puringan, tempat saya lahir dan dibesarkan. Beberapa tradisi adat sudah hilang dan dilupakan oleh masyarakat. Saya tak pernah lagi melihat masyarakat di desa saya melakukan tradisi bersih kampung dengan cara “antar ajong dan bepapas rumah-rumah” dan tradisi-tradisi lain seperti saat mendirikan tiang rumah yang baru dibangun (naikan bumbongan) atau tradisi-tradisi “bepapas” lainnya yang dulu dinilai memiliki begitu banyak manfaat untuk keselamatan dan kemaslahatan. Tradisi-tradisi seperti itu bahkan telah hilang sama sekali di tempat kelahiran saya.

Baca Juga: Penungguan Tiada Ujung

Tradisi Antar Ajong sendiri sampai saat ini hanya dilakukan oleh beberapa kampung saja di daerah Kecamatan Tangaran dan Paloh, seperti Desa Arung Parak, Arung Medang dan Tanah Hitam yang aktif setiap tahun. Masyarakat setempat masih menjunjung tinggi tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun silam itu. Meski tak bisa dipungkiri akan ada beberapa warga yang tidak lagi memercayai tradisi Antar Ajong. Walau demikian, tradisi Antar Ajong masih terus dilakukan. Masalah yakin atau tidak, percaya atau tidak, atau bahkan menilai tradisi tersebut bertentangan dengan keyakinan tentu hak individu masyarakat.

Antar Ajong sudah dilakukan masyarakat setempat sejak ratusan tahun lalu bahkan sejak zaman kerajaan Majapahit, sebelum kesultanan Sambas berdiri, kata Awang Bujang selaku pawang senior di Kecamatan Paloh. Waktu itu, secara periodik masyarakat mengantar upeti kepada kerajaan Majapahit berupa rempah dan hasil bumi lainnya menggunakan perahu lancang kuning yang disebut dengan (Ajong). Namun, setelah kesultanan Sambas berdiri, pengiriman upeti tidak dilakukan lagi oleh masyarakat. Mengingat amanah dari leluhur bahwa tradisi Ajong jangan sampai hilang, maka seiring waktu, makna dari Antar Ajong mengalami pergeseran. Antar Ajong menjadi sebuah ritual yang dilakukan untuk menghindarkan masyarakat dari segala hal negatif seperti wabah penyakit, hama tanaman dan bencana alam. Ritual ini, juga menandai bahwa sudah dimulainya masa bercocok tanam, terutama padi.

Dari kebiasaan mengantar upeti hingga dijadikan ritual penangkal wabah penyakit dan hama tanaman yang dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Antar Ajong mengalami peralihan fungsi yang begitu nyata seiring waktu. Bukan tidak mungkin, setelah ratusan tahun lamanya, pergeseran tersebut dapat terjadi lagi. Bukan tidak mungkin pula bahwa suatu saat ritual Antar Ajong ini dialih-fungsikan sekadar hiburan, guna menarik pengunjung agar meningkatkan ekonomi setempat dan bukan lagi menjadi ritual yang sakral. Bukan tidak mungkin semua hal itu bisa terjadi. Kalaupun terjadi demikian tentu masih mendingan, tradisi Antar Ajong masih tetap ada walau dengan tujuan yang berbeda, daripada hilang dan dilupakan.

Ada hal menarik bisa kita saksikan, terutama di dunia maya: ketika tradisi Antar Ajong hendak atau telah dilakukan. Di zaman media sosial ini perdebatan demi perdebatan sering kita saksikan di sana. Tampaknya, tak ada hari tanpa perdebatan. Masalah apa saja sepertinya menarik untuk diperdebatkan. Dari masalah yang paling serius hingga masalah yang tak penting dikupas dengan kalimat-kalimat lepas. Dan, seperti yang kita tahu, di sana, apa saja yang dibahas tak akan pernah tuntas, termasuk tradisi Antar Ajong ini.

Ketika diumumkan akan dilakukan tradisi Antar Ajong, dunia maya (terutama facebook) akan dipenuhi oleh komentar-komentar yang berlawanan. Di satu sisi ada yang berpandangan bahwa tradisi tersebut sebagai warisan budaya yang patut dijaga, dan dipertahankan. Sementara di sisi lain, pandangan tentang tradisi tersebut bertentangan dengan kepercayaan yang dianut masyarakat setempat juga tak kalah gaharnya. Hal semacam ini selalu menjadi perdebatan yang tak menemui titik ujung. Seperti pepatah yang sering kita dengar “dimakan mati emak, tak dimakan mati bapak” seperti itulah kiranya perdebatan akan tradisi ini.

Seperti yang dikemukakan pada paragraf kedua, bahwa tradisi akan selalu dibenturkan atau berbenturan dengan kepercayaan. Pada akhirnya, kita hanya akan menunggu nasib tradisi Antar Ajong ini. Hilang seperti yang lain atau melebur dan mengalih-fungsikan diri sebagai hiburan tanpa ritual-ritual sakral, dan hanya sekadar penarik wisatawan guna pendapatan?

 Baca Juga: Kekerasan Seksual Non Fisik

(Edri)

Pontianak, 22 Desember 2020

Posting Komentar

0 Komentar