Cerita Fiksi Roman Pendek 7 (R I N D U)

R i n d u

            Muka Kiran memerah, matanya sembab, air mata masih berlinang di sudut-sudut matanya. Kiran hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Weni. Terlihat sedikit senyum diberikannya pada Weni dengan muka yang masih tampak begitu sedih.

            Kiran kembali menumpahkan air matanya saat imam berdoa, ia tadahkan tangan dengan air mata yang beruraian di pipinya. Weni yang berada di samping kanannya menatap serius dengan tangan masih menengadah. Weni tak tahu apa yang sedang ditangiskan Kiran sebegitu jadinya menumpahkan air mata?

            Sesampainya di rumah Weni kembali menanyakan apa yang sebenarnya ditangisi oleh Kiran tadi saat sholat sehingga membuat air matanya begitu deras menghujani sajadah.

“Ki,” Weni tergagap mengeluarkan pertanyaannya. Kiran masih begitu fokus dengan buku yang sedang di tangannya. “Ki, apa sih yang kamu tangisi tadi di mesjid kalau ada masalah cerita sama kita, Ki,” Weni melipatkan kakinya di atas sofa, Novela hanya mendengarkan pertanyaan Weni, sesekali dia melirik Kiran yang menarik napas dalam. 

Ruang tengah kontrakan damai sekali di waktu fajar, udara segar pagi hari memang temannya teh hangat. Weni memegangi segelas teh hangatnya, meniup-niup sambil menunggu jawaban yang akan segera di tumpahkan Kiran di pikirannya. 

Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek 6

            Tidak ada Ikbal di ruang tengah pagi itu, Ikbal lebih memilih melabuhkan tubuh ke kamarnya setelah sholat tadi. Novela tampak mengutak-atik HP-nya. Kiran menghembuskan napas panjang merelakan matanya pindah dari buku menuju wajah Weni “Aku cuma sedih dengan nenek-nenek renta tadi, Wen, aku teringat dengan ibu, aku berpikir apakah aku masih bisa melihat ibuku bersujud dengan umur setua itu, aku semakin menjadi saat aku teringat wajahnya di waktu sholatku, aku selalu mendoakan agar ibu diberi kesehatan sampai akhir hayatnya, aku rindu ibuku, Wen,” wajar saja Kiran rindu dengan ibunya, sudah tiga bulan dia tidak melihat wajah yang selalu membuatnya tenang setiap hari dulu. Tidak hanya ibunya yang dirindukannya, Kiran merindukan ayah, adik-adiknya serta seluruh isi rumah yang tak pernah lagi dilihatnya. Mata Kiran kembali berkaca.

            “Iya, Ki, sebenarnya aku juga sangat rindu dengan ibu, aku ingin sekali melihat senyum mereka lagi, aku rindu suasana rumah yang begitu nyaman” Novela ikut sedih dan mengingat kedua orang tuanya.

            “Sabar, bentar lagi kita libur, kan satu minggu lagi kita sudah ujian semester,” ujar Weni menghangatkan sahabatnya yang sedang dingin semangat di pagi yang belum diinjak mentari itu. Tidak ada raut yang sedih dari guratan wajah Weni. Senyumnya hanya melebar menatap kedua sahabatnya.

            Mentari mulai mengintip dari jauh. Embun-embun di luar bertaburan melebur. Fajar mulai menghangatkan gigil hati Kiran. Kiran tampak mengingat kata-kata Weni yang tinggal seminggu lagi sudah ujian, berarti dua mingguan lagi ia bisa pulang dan membalaskan rindu yang menguras air matanya. Kiran merekahkan senyum manisnya berdiri dari sofa. “Dua minggu lagi, siap,” ujar Kiran tersenyum dan meninggalkan dua sahabatnya.

            Weni ikut melebarkan bibir hingga terlihat giginya “Semangat, Tuan Putri,” dengan nada sedikit lantang mengiringi kepergian Kiran dari sofa.

            “Sabar, Vel, bentar lagi,” turut menyemangati Novela yang juga terlihat kehabisan semangat dikuras oleh rindu.

            “Kamu tidak rindu, Wen, dengan orang tuamu?” tanya Novela lemah.

            Weni makin melebarkan senyumnya pada Novela “Pastinya sangat rindu, Vel, tapi selama aku tahu kabar mereka baik-baik saja, aku pun berusaha untuk tetap membuat mereka tenang dengan mengetahui kabarku juga baik-baik saja di sini,” Weni terlihat begitu kuat di bagian ini, memang orang pecicilan kadang lebih bisa meredam hati jika situasi seperti ini. Inilah salah satu kelebihan orang-orang yang pecicilan. Apakah kalian juga termasuk golongan seperti ini?  Semoga saja iya, karena kalian lebih bisa meredam hati dibanding orang-orang lain. Itu bukan pendapat yang pasti sih, karena itu juga dialami oleh beberapa orang yang sifat dan kepribadiannya juga berbeda. Jika kalian punya pandangan lain tentang ini, itu juga tidak masalah. Setiap pribadi memang punya cara tersendiri untuk meredam rindu yang menggebu di hatinya.

            Novela diam seribu bahasa mendengar jawaban dari Weni, terdengar bijak untuk orang sekelas Weni yang dikenalnya pecicilan (degil, uring-uringan). Novela mengabaikan dan memilih fokus ke layar HP-nya.

Baca Juga: Kau dan Rembulan

            Jam berbentuk bundar menempel erat di ruang tengah itu sudah menunjukan pukul 05:50 sudah cukup terang untuk kota Khatulistiwa. Orang-orang sudah berlalu lalang berangkat kerja di depan Kontrakan mereka. Mobil-mobil tetangga sudah mulai dipanaskan. Weni dan Novela belum beranjak dari ruang tengah yang berukuran 2 x 5 meter tersebut. Novela masih menikmati sofa hijau yang dari tadi memalaskan badannya, membuatnya begitu nyaman tersandar memainkan HP. Sementara, Weni sudah terbaring di sofa panjang sebelah Novela. Ada tiga sofa hijau di ruangan tersebut dua yang hanya cukup untuk satu orang dan satu sofa panjang kira-kira dapat diduduki tiga orang dewasa sehingga Weni nyaman berbaring di sana, serta meja yang berukuran satu meter setengah tanpa hiasan apapun hanya taplak berwarna abu-abu yang membalutnya. Lagian, itu hanya kontrakan tak perlu ada hiasan bunga segala macam pikir mereka. Meja hanya untuk menaruh buku dan air tempat mereka bersantai ria baik pagi, sore maupun malam hari.

            Kiran kembali menghampiri kedua sahabatnya di ruang tengah, dengan wajah segar dan masih terlihat butir-butir air membasahi wajahnya. Wangi semerbak begitu harum di ruangan. Kiran tampak menggigil manyeruput teh yang sudah dingin di atas meja. Handuk masih bergulung di kepalanya. Setelah menyeruput teh Kiran melenggang ke dapur membuat nasi goreng untuk sarapan. Kiran selalu menyiapkan sarapan untuk sahabatnya, walaupun begitu, tak ada rasa keberatan dari Kiran. Hanya sahabatnya yang sering merasa tidak enak dengan Kiran. Beberapa kali juga Weni dan Novela turut membantu membuat sarapan meski kadang hanya untuk menemani Kiran ngobrol di dapur pagi hari. Kebiasaan seperti inilah yang membuat ibu Ikbal begitu jatuh hati pada Kiran. Kiran bukan hanya mampu menyiapkan sarapan, banyak hal lain yang dapat dilakukan oleh Kiran.

            Harum khas pagi hari di kontrakan mulai tersebar ke ruang tengah, begitu menyengat ketika bawang merah dan bawang putih mulai menciut di penggorengan. Weni mulai mengendus berkali-kali. Tanpa bisa dikendalikan, perutnya tiba-tiba bergemuruh mencium harum nasi goreng. Seperti pagi biasanya Weni selalu menikmatinya dengan teh manis.      

Tak lama harum itu semakin mendekat, semakin menyengat, wangi bawang goreng semakin jelas tercium oleh Weni dan Novela. Weni mengendus berkali-kali “Ini, Wen, Vel, makan,” ucap Kiran meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja lalu kembali lagi ke dapur.

            Weni langsung bangkit dari rebahannya dan menyambar satu piring nasi goreng. Novela merelakan sandaran malasnya dilepas untuk menghampiri nasi goreng di atas meja. “Emmm, memang lezat nasi goreng buatan, Tuan Putri,” sambil mengunyah nasi goreng dan menyaringkan suaranya agar Kiran mendengar candaannya. Weni selalu bicara begitu setiap pagi, jadi Novela hanya mengabaikan apalagi Kiran.

            “Bal, sarapan, Bal,” mengetuk pintu kamar Ikbal dan kembali menakar nasi ke dalam piring.

            “Iya, iya,” jawab Ikbal dalam Kamar.

            Dua piring nasi goreng datang lagi ke ruang tengah Kiran mengeletakkannya di atas meja. Sementara, Weni dan Novela sudah begitu lahap menyantap. Tampak Weni begitu menikmatinya dengan teh manis yang sudah dingin seperti kebiasaannya setiap pagi, makan nasi dengan teh manis.

             “Bal, makan, Bal,” panggil Kiran sedikit mengeraskan suara.

            Ikbal membuka kamarnya dan menghampiri ruang tengah. Tak banyak bicara Ikbal lansung duduk di kursi panjang satu kursi dengan Weni. Sementara, Kiran duduk di kursi mirip kursi Novela hanya untuk satu orang. Ikbal lansung menyambar satu piring mengaduk-aduk sebentar lalu memasukkan satu sendok nasi ke mulutnya. Mata Ikbal terpejam, dagunya bergoyang-goyang menikmati “Eeeemmm,” mengangguk-angguk lalu menyedot satu gelas teh manis.

            Kiran dengan seksama memerhatikan Ikbal mengunyah suapan pertamanya. Kiran tersenyum manis saat melihat Ikbal memejamkan mata dan mengangguk-angguk, itu menandakan nasi goreng yang ia buat pas dengan selera Ikbal. Kiran selalu bahagia jika Ikbal suka dengan masakannya, selama ia masak Ikbal tidak pernah bilang masakannya tidak enak, malah Ikbal lebih memilih makan di rumah daripada di luar. Ikbal sendiri yang kadang ingin makan masakan Kiran jika Kiran sedang tidak masak. Ia sendiri yang beli sayur dan lain-lain untuk Kiran memasak. Ikbal sangat menyukai masakan Kiran, itu juga yang membuat Kiran semangat memasak. Kiran selalu suka memerhatikan Ikbal menikmati masakannya dengan memejamkan mata sipitnya. Itu cukup membuat Kiran tersenyum bahagia.

            Eeeerrrrrggg,” Weni kekenyangan “Alhamdulillah,” sambungnya lalu meletakkan gelas yang sudah kosong di tangannya ke atas meja. Weni kembali menyandarkan tubuhnya di sofa tampak ia memainkan lidah di giginya untuk mencari nasi-nasi yang menyangkut di celah giginya. Novela juga sudah melapangkan piringnya. Ikbal langsung menaruh piring kosongnya ke atas meja lalu menyambar teh manisnya. Weni dengan sigap bangkit dan menggumpulkan piring yang sudah kosong di atas meja. Tiga piring sudah ditumpuknya, tinggal menunggu piring dari Kiran. Weni tenang memehatikan Kiran menyelesaikan makannya.  Ikbal sudah meninggalkan ruang tengah kembali ke kamar. Novela kembali dengan posisi semula menyandarkan tubuhnya sambil mengutak-atik HP.

            Weni siap-siap menumpuk piring Kiran “Cepat, Tuan Putri,” ujarnya bercandai Kiran yang sedang menikmati makanannya.

            Kiran hanya menoleh sekejap lalu melanjutkan mengunyah nasi di dalam mulut. Lalu tampak Kiran mengisyaratkan Weni untuk membawa piring yang sudah ditumpuknya. Kiran menolehkan kepalanya ke sebelah kiri dengan kepala yang masih digulung handuk. Weni sudah tahu dengan maksud Kiran untuk membawa piring yang ditumpuknya ke dapur namun Weni tidak menghiraukan, Weni ingin mencuci sekalian piring Kiran.

            Kiran sudah meyelesaikan makannya. Weni langsung menarik piring dari tangan Kiran “Sini, Tuan Putri, biar aku yang cuci,” Weni berjalan ke dapur membawa piring kotor. Sementara itu, Kiran juga menyusul dari belakang dengan membawa empat gelas kosong. “Ini, Wen,” ucap Kiran meletakkan empat gelas di samping Weni mencuci piring lalu pergi ke kamar untuk menyiapkan dirinya, jam sudah menunjukan pukul 06:30. Kiran harus bersiap berangkat kuliah. Memang kontrakan mereka dari kampus tidak terlalu jauh, namun Kiran tahu hari ini Bu Dewi yang masuk kelasnya. Dosen yang satu ini tidak pernah korupsi waktu seperti dosen-dosen lain. Malah kadang dia yang menunggu mahasiswa di dalam kelas. Sebelum mahasiswa datang dia sudah siap di mejanya depan kelas.

Kiran sudah siap berangkat kuliah dengan batik biru, jilbab abu-abu, rok hitam panjang dan sepatu hitam yang begitu serasi dengan pakain Kiran juga menambah cantik Kiran semakin menjadi. Wajah putihnya begitu manis dengan baju biru dan jilbab abu-abu pagi itu ditambah tas hitam kecil yang dislempangnya menambah kecantikannya.

“Wen, Vel, aku berangkat dulu ya,” ucap Kiran sambil menyalakan motor di halaman rumahnya.

“Iya Ki, hati-hati,” teriak Weni.

“Hati-hati, Ki,” balas Novela.

***

Selesai sudah ujian semester di kampus Kiran hari ini. Tidak ingin menunggu waktu yang lama Kiran langsung berkemas untuk segera pulang kampung. Membalaskan rindu yang sedemikian membuatnya menumpahkan air mata. Kiran begitu ceria, mukanya berbunga hari ini. Ia akan pulang hari ini jam 2 menggunakan bis. Semua barang-barang keperluan di kampung sudah disiapkannya sedari malam tadi. Siang ini ia hanya mengemasi sedikit pakain yang diperlukan saja. Tak banyak yang dibawa Kiran untuk pulang kampung. Hanya pakaian dan beberapa buku untuk dibacanya ketika waktu kosong yang ia bawa. Baca juga: Part 5

Seperti hari biasanya, hari itu pun sama berangkat jam dua siang arah Pontianak-Sambas. Kebetulan pangkalan bis tersebut tak jauh dari tempat tinggal Kiran. Hanya 5 menit untuk menuju pangkalan bis itu. Hari ini Kiran hanya pergi sebentar ke kampus. Ia sudah di rumah ketika jam menunjukan pukul 09:00, masih ada beberapa jam untuk Kiran mengemasi barangnya. Tak ada siapapun di rumah, Weni dan Novela masih ada kegiatan di kampus. Sementara, Ikbal sudah masuk kerja dari jam delapan tadi.

Kiran semakin tak sabar untuk pulang hari ini, apalagi chat dari Rani dan Yuni yang selalu menanyakan kapan ia akan pulang. Mereka sudah tak sabar ingin ngumpul bersama Kiran. Kebetulan sahabatnya itu sedang ada di kampung, mereka juga sedang libur semingguan ini. Rani yang biasanya bekerja sebagai penjaga toko pakaian sebulan ini libur karena bos yang punya toko pakaian tersebut sedang umroh. Sedangkan, Yuni juga sedang libur kuliah dua minggu ini. Yuni kuliah di Politeknik Negeri Sambas (POLTESA).

Rani dan Yuni adalah dua sahabat Kiran sejak kecil, mereka selalu bersama dari kecil hingga sekolah dasar. Perpisahan ketiganya terjadi ketika masuk sekolah menengah, Yuni yang disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah Madrasah dekat pusat pemerintahan atau di kabupaten, sedangkan Rani  harus menuruti kemauan ayahnya masuk di SMP Negeri 1 yang juga di kota. Mereka bertiga sering memutuskan untuk berjumpa jika libur sudah tiba. Kadang Rani dan Yuni tiba-tiba datang ke rumah Kiran jika sudah di kampung.

Mereka harus terpisah karena Rani dan Yuni tinggal di tempat keluarganya masing-masing di kota. Kadang enam bulan sekali mereka baru bisa berjumpa dengan Kiran.

Hati Kiran semakin menggebu untuk pulang kampung karena Rani mengabarkan untuk ngumpul malam ini di salah satu kafe di kampungnya.

“Ki, malam ini kami ngumpul di kafe dekat dermaga, kamu kapan pulang?” chat dari Rani yang membuat hati Kiran semakin semangat untuk pulang. Terlepas dari chat Rani, Kiran juga sudah lama merindukan orang tua, adik dan seisi rumahnya.

“Iya Ran, hari ini aku pulang, Yuni udah pulang belum?” balas Kiran.

“Iya Ki, cepat ya pulang, hehe,” ditambah emoticon senyum “Yuni juga ada nih, dia juga baru datang kemarin sore.”

“Iya Ran, jam 2 hari ini aku pulang.”

“Iya Ki, cepat ya, udah nggak sabar mau ngumpul, hehe.”

“Iya, Rani sayang.”

“Sip.”

Semua lauk sudah siap di atas meja, tidak ada yang berubah dengan hari biasanya. Walaupun hari ini Kiran akan pulang kampung namun ia tak lupa untuk menyiapkan masakan untuk ketiga sahabatnya. Lagian, sekitar jam dua nanti baru pulang pikirnya. Sementara, barang yang akan dibawa Kiran sudah siap semuanya di dalam satu tas hitam besar. Buku, pakaian, dan barang lainnya menyatu dalam satu tas tersebut.

Weni dan Novela baru datang dari kampus terperanjat melihat tas besar yang sudah tergeletak di atas kursi ruang tengah. “Assalaamu ‘alaikum,” ucap Weni langsung masuk ke rumah yang tidak tertutup.

Wa ‘alaikumus salaam,” sedang memindahkan nasi ke dalam baskom berwarna hijau muda di atas meja makan.

“Kamu jadi pulang hari ini, Ki?” tanya Weni sambil menghampiri Kiran ke meja makan di dapur. Weni duduk nyaman di sana masih menggunakan pakain batik dan tas yang belum dilepaskannya. Sedangkan, Novela langsung masuk kamar untuk mengganti pakaian kuliahnya dan menaruh tas.

“Jadi, Wen,” masih asyik memindahkan nasi.

“Udah beri tahu Ikbal?”

“Belum, Wen, kalian kapan mau pulang?” 

“Kenapa tidak diberi tahu, Ki? dua hari lagi, Ki, nilai kami belum keluar semua.”

“Iya setelah ini aku chat Ikbal, Wen.”

“Kamu pulang sendiri, Ki?”

“Iya, Wen, kan motor aku dinaikan di atas bis.”

“Oo, iyalah,” balas Weni sambil mengambil satu tahu goreng di dalam piring lalu pergi masuk kamar.

“Ayo lah makan, Wen, Vel ayo makan.”

“Iya, Ki, ganti baju dulu.”

Novela langsung menghampiri meja makan “Masih sempat masak, Ki?” sambil mengambil piring.

“Masih lah, Vel, kan jam dua nanti bisnya baru jalan.”

Kiran mengambil HP-nya di dekat rak piring. Ia sempatkan untuk memberitahu Ikbal bahwa hari ini dia akan pulang kampung. “Bal, hari ini aku pulang kampung jam 2,” chat Kiran pada Ikbal lalu kembali meletakkan HP-nya di atas meja makan.

Satu jam setengah sudah Kiran duduk diam di ruang tengah. Sementara, Weni dan Novela sudah tidur siang di kamar. Kiran melihat jam di layar HP-nya sudah pukul 13:35. Kiran beranjak dan membawa tasnya ke motor yang sudah berada di halaman rumah. Kiran kembali masuk rumah memasuki kamar Weni dan Novela.

Kiran mengguncang bahu Weni “Wen, aku pulang dulu, ya.”

Weni bangkit dari tempat tidurnya “Oo iya, Ki, hati-hati, Ki.”

Kiran memeluk Weni “Beri tahu Vela ya, kasihan mau dibangunkan.”

“Iya, Ki.”

Kiran keluar dari kamar Weni dan Novela menuju motornya yang juga diikuti oleh Weni “Pulang dulu ya, Wen, nanti kita ngumpul di kampung,” ucap Kiran yang sudah berada di atas motornya.

Weni kembali membentangkan tangannya memeluk Kiran “Hati-hati ya, Ki.”

“Iya, Wen,” masih dalam pelukan.

Weni begitu erat memeluk Kiran. “Tak ada lagi yang menyiapkan nasi goreng pagi hari, tidak ada lauk di atas meja ketika dari kampus” ujar Weni.

Kiran tersenyum “makanya belajar masak.”

 “Siap, Tuan Putri.”

Kiran hanya tersenyum “Udah, Wen, udah mau jam dua nih, takut ketinggalan bis nanti, berangkat dulu, ya,” menghidupkan motornya dan perlahan meninggalkan

“Iya Ki, hati-hati,” teriak Weni pada Kiran yang perlahan meninggalkannya.

baca juga: Novel Romantis Sejarah

***

Posting Komentar

0 Komentar