
Muka Kiran memerah, matanya sembab,
air mata masih berlinang di sudut-sudut matanya. Kiran hanya diam tanpa
menjawab pertanyaan Weni. Terlihat sedikit senyum diberikannya pada Weni dengan
muka yang masih tampak begitu sedih.
Kiran kembali menumpahkan air
matanya saat imam berdoa, ia tadahkan tangan dengan air mata yang beruraian di
pipinya. Weni yang berada di samping kanannya menatap serius dengan tangan
masih menengadah. Weni tak tahu apa yang sedang ditangiskan Kiran sebegitu
jadinya menumpahkan air mata?
Sesampainya di rumah Weni kembali menanyakan apa yang sebenarnya ditangisi oleh Kiran tadi saat sholat sehingga membuat air matanya begitu deras menghujani sajadah.
“Ki,” Weni tergagap mengeluarkan pertanyaannya. Kiran masih begitu fokus dengan buku yang sedang di tangannya. “Ki, apa sih yang kamu tangisi tadi di mesjid kalau ada masalah cerita sama kita, Ki,” Weni melipatkan kakinya di atas sofa, Novela hanya mendengarkan pertanyaan Weni, sesekali dia melirik Kiran yang menarik napas dalam.
Ruang tengah kontrakan damai sekali di waktu fajar, udara segar pagi hari memang temannya teh hangat. Weni memegangi segelas teh hangatnya, meniup-niup sambil menunggu jawaban yang akan segera di tumpahkan Kiran di pikirannya.
Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek 6
Tidak ada Ikbal di ruang tengah pagi
itu, Ikbal lebih memilih melabuhkan tubuh ke kamarnya setelah sholat
tadi. Novela tampak mengutak-atik HP-nya. Kiran menghembuskan napas panjang
merelakan matanya pindah dari buku menuju wajah Weni “Aku cuma sedih dengan
nenek-nenek renta tadi, Wen, aku teringat dengan ibu, aku berpikir apakah aku
masih bisa melihat ibuku bersujud dengan umur setua itu, aku semakin menjadi
saat aku teringat wajahnya di waktu sholatku, aku selalu mendoakan agar ibu
diberi kesehatan sampai akhir hayatnya, aku rindu ibuku, Wen,” wajar saja Kiran
rindu dengan ibunya, sudah tiga bulan dia tidak melihat wajah yang selalu
membuatnya tenang setiap hari dulu. Tidak hanya ibunya yang dirindukannya,
Kiran merindukan ayah, adik-adiknya serta seluruh isi rumah yang tak pernah
lagi dilihatnya. Mata Kiran kembali berkaca.
“Iya, Ki, sebenarnya aku juga sangat
rindu dengan ibu, aku ingin sekali melihat senyum mereka lagi, aku rindu
suasana rumah yang begitu nyaman” Novela ikut sedih dan mengingat kedua orang
tuanya.
“Sabar, bentar lagi kita libur, kan
satu minggu lagi kita sudah ujian semester,” ujar Weni menghangatkan sahabatnya
yang sedang dingin semangat di pagi yang belum diinjak mentari itu. Tidak ada
raut yang sedih dari guratan wajah Weni. Senyumnya hanya melebar menatap kedua
sahabatnya.
Mentari mulai mengintip dari jauh.
Embun-embun di luar bertaburan melebur. Fajar mulai menghangatkan gigil hati
Kiran. Kiran tampak mengingat kata-kata Weni yang tinggal seminggu lagi sudah
ujian, berarti dua mingguan lagi ia bisa pulang dan membalaskan rindu yang
menguras air matanya. Kiran merekahkan senyum manisnya berdiri dari sofa. “Dua
minggu lagi, siap,” ujar Kiran tersenyum dan meninggalkan dua sahabatnya.
Weni ikut melebarkan bibir hingga
terlihat giginya “Semangat, Tuan Putri,” dengan nada sedikit lantang mengiringi
kepergian Kiran dari sofa.
“Sabar, Vel, bentar lagi,” turut
menyemangati Novela yang juga terlihat kehabisan semangat dikuras oleh rindu.
“Kamu tidak rindu, Wen, dengan orang
tuamu?” tanya Novela lemah.
Weni makin melebarkan senyumnya pada
Novela “Pastinya sangat rindu, Vel, tapi selama aku tahu kabar mereka baik-baik
saja, aku pun berusaha untuk tetap membuat mereka tenang dengan mengetahui
kabarku juga baik-baik saja di sini,” Weni terlihat begitu kuat di bagian ini,
memang orang pecicilan kadang lebih bisa meredam hati jika situasi
seperti ini. Inilah salah satu kelebihan orang-orang yang pecicilan.
Apakah kalian juga termasuk golongan seperti ini? Semoga saja iya, karena kalian lebih bisa
meredam hati dibanding orang-orang lain. Itu bukan pendapat yang pasti sih,
karena itu juga dialami oleh beberapa orang yang sifat dan kepribadiannya juga
berbeda. Jika kalian punya pandangan lain tentang ini, itu juga tidak masalah.
Setiap pribadi memang punya cara tersendiri untuk meredam rindu yang menggebu
di hatinya.
Novela diam seribu bahasa mendengar
jawaban dari Weni, terdengar bijak untuk orang sekelas Weni yang dikenalnya pecicilan
(degil, uring-uringan). Novela mengabaikan dan memilih fokus ke layar HP-nya.
Jam berbentuk bundar menempel erat
di ruang tengah itu sudah menunjukan pukul 05:50 sudah cukup terang untuk kota
Khatulistiwa. Orang-orang sudah berlalu lalang berangkat kerja di depan
Kontrakan mereka. Mobil-mobil tetangga sudah mulai dipanaskan. Weni dan Novela
belum beranjak dari ruang tengah yang berukuran 2 x 5 meter tersebut. Novela
masih menikmati sofa hijau yang dari tadi memalaskan badannya, membuatnya
begitu nyaman tersandar memainkan HP. Sementara, Weni sudah terbaring di sofa
panjang sebelah Novela. Ada tiga sofa hijau di ruangan tersebut dua yang hanya
cukup untuk satu orang dan satu sofa panjang kira-kira dapat diduduki tiga
orang dewasa sehingga Weni nyaman berbaring di sana, serta meja yang berukuran
satu meter setengah tanpa hiasan apapun hanya taplak berwarna abu-abu yang
membalutnya. Lagian, itu hanya kontrakan tak perlu ada hiasan bunga segala
macam pikir mereka. Meja hanya untuk menaruh buku dan air tempat mereka
bersantai ria baik pagi, sore maupun malam hari.
Kiran kembali menghampiri kedua
sahabatnya di ruang tengah, dengan wajah segar dan masih terlihat butir-butir
air membasahi wajahnya. Wangi semerbak begitu harum di ruangan. Kiran tampak
menggigil manyeruput teh yang sudah dingin di atas meja. Handuk masih bergulung
di kepalanya. Setelah menyeruput teh Kiran melenggang ke dapur membuat nasi
goreng untuk sarapan. Kiran selalu menyiapkan sarapan untuk sahabatnya,
walaupun begitu, tak ada rasa keberatan dari Kiran. Hanya sahabatnya yang
sering merasa tidak enak dengan Kiran. Beberapa kali juga Weni dan Novela turut
membantu membuat sarapan meski kadang hanya untuk menemani Kiran ngobrol di
dapur pagi hari. Kebiasaan seperti inilah yang membuat ibu Ikbal begitu jatuh
hati pada Kiran. Kiran bukan hanya mampu menyiapkan sarapan, banyak hal lain
yang dapat dilakukan oleh Kiran.
Harum khas pagi hari di kontrakan
mulai tersebar ke ruang tengah, begitu menyengat ketika bawang merah dan bawang
putih mulai menciut di penggorengan. Weni mulai mengendus berkali-kali. Tanpa
bisa dikendalikan, perutnya tiba-tiba bergemuruh mencium harum nasi goreng.
Seperti pagi biasanya Weni selalu menikmatinya dengan teh manis.
Tak lama harum itu semakin mendekat, semakin
menyengat, wangi bawang goreng semakin jelas tercium oleh Weni dan Novela. Weni
mengendus berkali-kali “Ini, Wen, Vel, makan,” ucap Kiran meletakkan dua piring
nasi goreng di atas meja lalu kembali lagi ke dapur.
Weni langsung bangkit dari
rebahannya dan menyambar satu piring nasi goreng. Novela merelakan sandaran
malasnya dilepas untuk menghampiri nasi goreng di atas meja. “Emmm,
memang lezat nasi goreng buatan, Tuan Putri,” sambil mengunyah nasi goreng dan
menyaringkan suaranya agar Kiran mendengar candaannya. Weni selalu bicara
begitu setiap pagi, jadi Novela hanya mengabaikan apalagi Kiran.
“Bal, sarapan, Bal,” mengetuk pintu
kamar Ikbal dan kembali menakar nasi ke dalam piring.
“Iya, iya,” jawab Ikbal dalam Kamar.
Dua piring nasi goreng datang lagi
ke ruang tengah Kiran mengeletakkannya di atas meja. Sementara, Weni dan Novela
sudah begitu lahap menyantap. Tampak Weni begitu menikmatinya dengan teh manis
yang sudah dingin seperti kebiasaannya setiap pagi, makan nasi dengan teh
manis.
“Bal, makan, Bal,” panggil Kiran sedikit
mengeraskan suara.
Ikbal membuka kamarnya dan
menghampiri ruang tengah. Tak banyak bicara Ikbal lansung duduk di kursi
panjang satu kursi dengan Weni. Sementara, Kiran duduk di kursi mirip kursi
Novela hanya untuk satu orang. Ikbal lansung menyambar satu piring
mengaduk-aduk sebentar lalu memasukkan satu sendok nasi ke mulutnya. Mata Ikbal
terpejam, dagunya bergoyang-goyang menikmati “Eeeemmm,”
mengangguk-angguk lalu menyedot satu gelas teh manis.
Kiran dengan seksama memerhatikan
Ikbal mengunyah suapan pertamanya. Kiran tersenyum manis saat melihat Ikbal
memejamkan mata dan mengangguk-angguk, itu menandakan nasi goreng yang ia buat
pas dengan selera Ikbal. Kiran selalu bahagia jika Ikbal suka dengan
masakannya, selama ia masak Ikbal tidak pernah bilang masakannya tidak enak,
malah Ikbal lebih memilih makan di rumah daripada di luar. Ikbal sendiri yang
kadang ingin makan masakan Kiran jika Kiran sedang tidak masak. Ia sendiri yang
beli sayur dan lain-lain untuk Kiran memasak. Ikbal sangat menyukai masakan
Kiran, itu juga yang membuat Kiran semangat memasak. Kiran selalu suka
memerhatikan Ikbal menikmati masakannya dengan memejamkan mata sipitnya. Itu
cukup membuat Kiran tersenyum bahagia.
“Eeeerrrrrggg,” Weni
kekenyangan “Alhamdulillah,” sambungnya lalu meletakkan gelas yang sudah
kosong di tangannya ke atas meja. Weni kembali menyandarkan tubuhnya di sofa
tampak ia memainkan lidah di giginya untuk mencari nasi-nasi yang menyangkut di
celah giginya. Novela juga sudah melapangkan piringnya. Ikbal langsung menaruh
piring kosongnya ke atas meja lalu menyambar teh manisnya. Weni dengan sigap
bangkit dan menggumpulkan piring yang sudah kosong di atas meja. Tiga piring
sudah ditumpuknya, tinggal menunggu piring dari Kiran. Weni tenang memehatikan
Kiran menyelesaikan makannya. Ikbal
sudah meninggalkan ruang tengah kembali ke kamar. Novela kembali dengan posisi
semula menyandarkan tubuhnya sambil mengutak-atik HP.
Weni siap-siap menumpuk piring Kiran
“Cepat, Tuan Putri,” ujarnya bercandai Kiran yang sedang menikmati makanannya.
Kiran hanya menoleh sekejap lalu
melanjutkan mengunyah nasi di dalam mulut. Lalu tampak Kiran mengisyaratkan
Weni untuk membawa piring yang sudah ditumpuknya. Kiran menolehkan kepalanya ke
sebelah kiri dengan kepala yang masih digulung handuk. Weni sudah tahu dengan
maksud Kiran untuk membawa piring yang ditumpuknya ke dapur namun Weni tidak
menghiraukan, Weni ingin mencuci sekalian piring Kiran.
Kiran sudah meyelesaikan makannya.
Weni langsung menarik piring dari tangan Kiran “Sini, Tuan Putri, biar aku yang
cuci,” Weni berjalan ke dapur membawa piring kotor. Sementara itu, Kiran juga
menyusul dari belakang dengan membawa empat gelas kosong. “Ini, Wen,” ucap
Kiran meletakkan empat gelas di samping Weni mencuci piring lalu pergi ke kamar
untuk menyiapkan dirinya, jam sudah menunjukan pukul 06:30. Kiran harus bersiap
berangkat kuliah. Memang kontrakan mereka dari kampus tidak terlalu jauh, namun
Kiran tahu hari ini Bu Dewi yang masuk kelasnya. Dosen yang satu ini tidak
pernah korupsi waktu seperti dosen-dosen lain. Malah kadang dia yang menunggu
mahasiswa di dalam kelas. Sebelum mahasiswa datang dia sudah siap di
mejanya depan kelas.
Kiran sudah siap berangkat kuliah dengan batik biru,
jilbab abu-abu, rok hitam panjang dan sepatu hitam yang begitu serasi dengan
pakain Kiran juga menambah cantik Kiran semakin menjadi. Wajah putihnya begitu
manis dengan baju biru dan jilbab abu-abu pagi itu ditambah tas hitam kecil
yang dislempangnya menambah kecantikannya.
“Wen, Vel, aku berangkat dulu ya,” ucap Kiran sambil
menyalakan motor di halaman rumahnya.
“Iya Ki, hati-hati,” teriak Weni.
“Hati-hati, Ki,” balas Novela.
***
Selesai sudah ujian semester di kampus Kiran hari ini. Tidak ingin menunggu waktu yang lama Kiran langsung berkemas untuk segera pulang kampung. Membalaskan rindu yang sedemikian membuatnya menumpahkan air mata. Kiran begitu ceria, mukanya berbunga hari ini. Ia akan pulang hari ini jam 2 menggunakan bis. Semua barang-barang keperluan di kampung sudah disiapkannya sedari malam tadi. Siang ini ia hanya mengemasi sedikit pakain yang diperlukan saja. Tak banyak yang dibawa Kiran untuk pulang kampung. Hanya pakaian dan beberapa buku untuk dibacanya ketika waktu kosong yang ia bawa. Baca juga: Part 5
Seperti hari biasanya, hari itu pun sama berangkat jam
dua siang arah Pontianak-Sambas. Kebetulan pangkalan bis tersebut tak jauh dari
tempat tinggal Kiran. Hanya 5 menit untuk menuju pangkalan bis itu. Hari ini
Kiran hanya pergi sebentar ke kampus. Ia sudah di rumah ketika jam menunjukan
pukul 09:00, masih ada beberapa jam untuk Kiran mengemasi barangnya. Tak ada
siapapun di rumah, Weni dan Novela masih ada kegiatan di kampus. Sementara,
Ikbal sudah masuk kerja dari jam delapan tadi.
Kiran semakin tak sabar untuk pulang hari ini, apalagi
chat dari Rani dan Yuni yang selalu menanyakan kapan ia akan pulang. Mereka
sudah tak sabar ingin ngumpul bersama Kiran. Kebetulan sahabatnya itu sedang
ada di kampung, mereka juga sedang libur semingguan ini. Rani yang biasanya
bekerja sebagai penjaga toko pakaian sebulan ini libur karena bos yang punya
toko pakaian tersebut sedang umroh. Sedangkan, Yuni juga sedang libur kuliah
dua minggu ini. Yuni kuliah di Politeknik Negeri Sambas (POLTESA).
Rani dan Yuni adalah dua sahabat Kiran sejak kecil,
mereka selalu bersama dari kecil hingga sekolah dasar. Perpisahan ketiganya
terjadi ketika masuk sekolah menengah, Yuni yang disekolahkan oleh orang tuanya
di sekolah Madrasah dekat pusat pemerintahan atau di kabupaten, sedangkan
Rani harus menuruti kemauan ayahnya
masuk di SMP Negeri 1 yang juga di kota. Mereka bertiga sering memutuskan untuk
berjumpa jika libur sudah tiba. Kadang Rani dan Yuni tiba-tiba datang ke rumah
Kiran jika sudah di kampung.
Mereka harus terpisah karena Rani dan Yuni tinggal di
tempat keluarganya masing-masing di kota. Kadang enam bulan sekali mereka baru
bisa berjumpa dengan Kiran.
Hati Kiran semakin menggebu untuk pulang kampung
karena Rani mengabarkan untuk ngumpul malam ini di salah satu kafe di
kampungnya.
“Ki, malam ini kami ngumpul di kafe dekat dermaga,
kamu kapan pulang?” chat dari Rani yang membuat hati Kiran semakin
semangat untuk pulang. Terlepas dari chat Rani, Kiran juga sudah lama
merindukan orang tua, adik dan seisi rumahnya.
“Iya Ran, hari ini aku pulang, Yuni udah pulang
belum?” balas Kiran.
“Iya Ki, cepat ya pulang, hehe,” ditambah emoticon
senyum “Yuni juga ada nih, dia juga baru datang kemarin sore.”
“Iya Ran, jam 2 hari ini aku pulang.”
“Iya Ki, cepat ya, udah nggak sabar mau ngumpul,
hehe.”
“Iya, Rani sayang.”
“Sip.”
Semua lauk sudah siap di atas meja, tidak ada yang
berubah dengan hari biasanya. Walaupun hari ini Kiran akan pulang kampung namun
ia tak lupa untuk menyiapkan masakan untuk ketiga sahabatnya. Lagian, sekitar
jam dua nanti baru pulang pikirnya. Sementara, barang yang akan dibawa Kiran
sudah siap semuanya di dalam satu tas hitam besar. Buku, pakaian, dan barang
lainnya menyatu dalam satu tas tersebut.
Weni dan Novela baru datang dari kampus terperanjat
melihat tas besar yang sudah tergeletak di atas kursi ruang tengah. “Assalaamu
‘alaikum,” ucap Weni langsung masuk ke rumah yang tidak tertutup.
“Wa ‘alaikumus salaam,” sedang memindahkan nasi
ke dalam baskom berwarna hijau muda di atas meja makan.
“Kamu jadi pulang hari ini, Ki?” tanya Weni sambil
menghampiri Kiran ke meja makan di dapur. Weni duduk nyaman di sana masih
menggunakan pakain batik dan tas yang belum dilepaskannya. Sedangkan, Novela
langsung masuk kamar untuk mengganti pakaian kuliahnya dan menaruh tas.
“Jadi, Wen,” masih asyik memindahkan nasi.
“Udah beri tahu Ikbal?”
“Belum, Wen, kalian kapan mau pulang?”
“Kenapa tidak diberi tahu, Ki? dua hari lagi, Ki,
nilai kami belum keluar semua.”
“Iya setelah ini aku chat Ikbal, Wen.”
“Kamu pulang sendiri, Ki?”
“Iya, Wen, kan motor aku dinaikan di atas bis.”
“Oo, iyalah,” balas Weni sambil mengambil satu tahu
goreng di dalam piring lalu pergi masuk kamar.
“Ayo lah makan, Wen, Vel ayo makan.”
“Iya, Ki, ganti baju dulu.”
Novela langsung menghampiri meja makan “Masih sempat
masak, Ki?” sambil mengambil piring.
“Masih lah, Vel, kan jam dua nanti bisnya baru jalan.”
Kiran mengambil HP-nya di dekat rak piring. Ia
sempatkan untuk memberitahu Ikbal bahwa hari ini dia akan pulang kampung. “Bal,
hari ini aku pulang kampung jam 2,” chat Kiran pada Ikbal lalu kembali
meletakkan HP-nya di atas meja makan.
Satu jam setengah sudah Kiran duduk diam di ruang
tengah. Sementara, Weni dan Novela sudah tidur siang di kamar. Kiran melihat
jam di layar HP-nya sudah pukul 13:35. Kiran beranjak dan membawa tasnya ke
motor yang sudah berada di halaman rumah. Kiran kembali masuk rumah memasuki
kamar Weni dan Novela.
Kiran mengguncang bahu Weni “Wen, aku pulang dulu,
ya.”
Weni bangkit dari tempat tidurnya “Oo iya, Ki,
hati-hati, Ki.”
Kiran memeluk Weni “Beri tahu Vela ya, kasihan mau
dibangunkan.”
“Iya, Ki.”
Kiran keluar dari kamar Weni dan Novela menuju
motornya yang juga diikuti oleh Weni “Pulang dulu ya, Wen, nanti kita ngumpul
di kampung,” ucap Kiran yang sudah berada di atas motornya.
Weni kembali membentangkan tangannya memeluk Kiran
“Hati-hati ya, Ki.”
“Iya, Wen,” masih dalam pelukan.
Weni begitu erat memeluk Kiran. “Tak ada lagi yang
menyiapkan nasi goreng pagi hari, tidak ada lauk di atas meja ketika dari
kampus” ujar Weni.
Kiran tersenyum “makanya belajar masak.”
“Siap, Tuan
Putri.”
Kiran hanya tersenyum “Udah, Wen, udah mau jam dua
nih, takut ketinggalan bis nanti, berangkat dulu, ya,” menghidupkan motornya
dan perlahan meninggalkan
“Iya Ki, hati-hati,” teriak Weni pada Kiran yang
perlahan meninggalkannya.
baca juga: Novel Romantis Sejarah
***
0 Komentar