Cerita Fiksi Roman Pendek (6)


(6) Tamat Sekolah

Sebulan sudah setelah kelulusan sekolah Kiran. Tiga tahun sudah Kiran dan Ikbal saling kenal. Dekatnya bukan main. Ikbal sudah anggap Kiran sebagai adik sendiri, namun, tidak dengan Kiran. Kiran masih begitu mencintai Ikbal. Rasa cinta yang tumbuh sejak sekolah menengah tidak pernah berubah, malah makin menjadi-jadi.

Namun, bukan berarti tidak ada kemajuan dalam hubungan Kiran selama tiga tahun terakhir. Kiran sudah begitu dalam membuat orang tua Ikbal jatuh hati padanya. begitu juga dengan kedua orang tuannya yang sudah begitu mengenal Ikbal dengan baik.

Kiran sering diajak keluarga Ikbal untuk masak bersama, ngumpul bersama hingga Kiran sudah dianggap menantu oleh orang tua Ikbal. saking dekatnya Kiran dengan keluarga Ikbal, tak jarang ibu Ikbal mencari Kiran jika lama tidak main ke rumahnya.

Kiran sudah berupaya menunjukan kepada Ikbal betapa ia mencintai. Sementara, Ikbal tak pernah sama sekali menunjukan pada Kiran. Namun, bukan berarti tak ada hubungan spesial antara Kiran dan Ikbal. Hanya saja belum ada titik terang yang diberikan oleh Ikbal kepada Kiran secara langsung. Ikbal juga sering bercerita kepada ibunya tentang Kiran. Bagaimana Kiran begitu baik kepadanya, begitu perhatian, Ikbal tidak pernah merasa diperhatikan sebegitu baiknya oleh orang lain selain Kiran. Ikbal merasa begitu nyaman jika sudah ada Kiran berada di sampingnya. Entahlah, apa yang membuat Ikbal belum menyatakan isi hatinya sampai tiga tahun terakhir ini. Padahal, orang tua Ikbal sudah mengira bahwa mereka berdua itu sudah menjadi sepasang kekasih yang begitu cocok dan bahagia. Kenyataannya sampai saat ini Ikbal belum juga menyatakan perasaannya. Dan hubungan mereka juga hanya sebatas sahabat yang begitu lekat.

“Bu, berhubung Kiran mau melanjutkan kuliah dan tempatnya pun sama dengan Ikbal yang akan kerja di Pontianak, jadi kami dari orang tua Ikbal memohon dengan sangat kepada ibu dan bapak untuk mengizinkan Kiran dan Ikbal tinggal satu kontrakan di sana nantinya, seperti yang kita tahu, Bu, bahwa Kiran dan Ikbal sudah sangat dekat dan sudah bersahabat tiga tahunan ini, dan Kiran pun sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Mungkin Ibu pun sudah begitu baik mengenal Ikbal, karena Ikbal juga sering cerita tentang Ibu Kiran yang begitu baik padanya,” ujar Bu Ratna kepada Bu Irma.

Situasi rumah Kiran cukup ramai, ada kedua orang tua Ikbal dan kedua orang tua Kiran yang saling berbincang di ruang tengah, juga ada sepupu Ikbal bersama suaminya. Sementara, Kiran, Ikbal, Novela, Weni dan kedua adik Kiran berbincang di teras dengan topik kuliah.

“Semoga saja orang tua Kiki setuju ya kita satu kontrakan sama Ikbal di sana,” ujar Weni.

“Ibu pasti setuju, Wen, kalau akunya udah setuju,” ucap Kiran dengan yakin.

Ikbal menoleh, Weni terbelalak, Novela segera mengalihkan pandangannya pada Kiran “Emang benar, Ki?” Weni tersentak “Kenapa tidak kamu yang ngomong sama Ibumu, Ki?” Weni makin semangat.

“Iya, Ki, cepat sana bilang sama ibumu,” Ikbal menambahkan dengan tergesa.

“Tenang, bentar lagi juga ibu pasti manggil aku,” jawab Kiran dengan begitu yakinnya sambil tersenyum tipis.

“Ki, Kiki,” panggil Bu Irma.

Keempatnya bersamaan menoleh ke dalam. Namun, tidak dengan adik Kiran yang sibuk dengan HP-nya masing-masing.

Tuh, kan,” Kiran tersenyum kepada tiga sahabatnya juga dibalas senyum yang sumringah oleh ketiganya.

“Cepat, cepat, Ki, jelaskan dengan seksama dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya,” ujar Weni.

Kiran bergegas masuk ke dalam menuju ke ruang tengah. Didapatinya kedua orang tua Ikbal dan kedua orang tuanya serta satu sepupu Ikbal dan suaminya tengah serius-seriusnya. Barisan duduk mereka begitu rapi saling berhadapan satu sama lain, seperti rapat-rapat Kepala Desa dengan perangkat-perangkatnya, ditambah air kopi yang masing-masing ada di hadapannya.

Kiran duduk di samping Ibunya dengan menebar senyum manisnya kepada orang tua Ikbal dan sepupu Ikbal serta suaminya.

“Bukannya kami tidak mau untuk menyatukan Ikbal dan Kiran satu kontrakan Bu, tapi, selama ini kami tidak pernah melarang Kiran memilih jalan yang dipilihnya. Kami yakin sama Kiran bahwa dia yang lebih tahu dari kami, kami yakin dengan Kiran bahwa pilihannya adalah yang terbaik untuknya. Karena dia yang lebih tahu tentang Ikbal. Dia yang menjalani persahabatan dengan Ikbal. Dia yang tahu semua sifat Ikbal. Untuk ini, mungkin pilihan pun akan kami berikan kepada Kiran apakah dia setuju atau tidak? Kami selalu setuju dengan pilihan Kiran, selama ini kami tidak pernah melarang Kiran berteman dan memilih-milih teman. Kami tidak pernah mengusik pilihannya. Mungkin pertanyaan itu bisa langsung Ibu tanyakan pada Kiran,” ujar Bu Irma.

“Iya, Bu, terima kasih, Bu.”

Bu Ratna menoleh Kiran dengan senyuman “Nak Kiki, maukan satu kontrakan sama Ikbal di Pontianak, kan bukan Cuma sama Ikbal, ada Weni dan Novela juga satu kontrakan sama kalian, maukan, Nak?”

Kiran menoleh kepada ibunya dengan tersenyum lalu menoleh kepada Bu Ratna dengan senyum yang masih memekar di wajahnya “Iya, Bu, Kiki mau kok, kami ber empat juga sudah membicarakan masalah ini jauh-jauh hari,” ucap Kiran.

Semuanya tersenyum lebar mendengar jawaban Kiran tak terkecuali Pak Bahar dengan senyum teduhnya semakin membuat suasana begitu tenang.

“Ternyata masalah ini sudah dibicarakan terlebih dahulu oleh Keempat anak ini,” ujar Pak Herman tersedak meminum kopi hingga membuat semuanya ikut tertawa termasuk Kiran.

Suasan begitu bersahabat. Semuanya saling tertawa, entah apa yang mereka bahas. Kiran berbicara pelan untuk pamit keluar pada ibunya. Ibunya hanya mengangguk.

“Bu, Pak, Kiki keluar dulu,” ujar Kiran sopan membungkukkan badannya.

“Iya, Nak,” balas Bu Ratna mengangguk. Sementara tawa bahagia masih merekah di wajahnya.

Kiran bangkit pelan lalu, berjalan sedikit dengan membungkukkan badannya melewati barisan rapat paripurna itu.

“Bagaimana-bagaimana?” Weni langsung bertanya dan mempersiapkan kursi untuk Kiran. Sementara, Ikbal dan Novela juga begitu fokus menunggu jawaban dari Kiran, terlebih lagi Weni yang ingin secepatnya mendengar kabar baik dari Kiran.

Kiran terpejam menarik nafas dalam-dalam hingga membuat ketiga sahabatnya semakin penasaran.

“Kiki,” Weni menepuk bahu Kiran hingga membuat Kiran segera membuka matanya.

Kiran tersenyum manis kepada tiga sahabat di depannya, muka mereka begitu tegang menunggu kabar dari Kiran. Lalu, Kiran tertawa lebar memerhatikan sahabatnya. “Hahahahaaha, kalian nunggu apa sih, sampai segitunya,” Muka Kiran memerah.

 Iiihhhh, Kiki. Bagaimana? Diizinkan tidak?” Weni masih begitu penasaran.

“Iya, Ki, bagaimana?” tambah Novela yang dari tadi juga menunggu.

Ikbal hanya terdiam seperti belum tenang jika belum ada kabar baik dari Kiran. Ia masih dengan lamat memandang Kiran.

 hahahaha,” Kiran belum bisa menghentika tawa “Iya, iya diizinkan.”

Yeeeee,” Serentak ketiga sahabatnya mengangkat tangan, Weni dan Novela langsung memeluk Kiran, namun tidak dengan Ikbal. Teriakan Weni terdengar ke ruang tengah. Hingga membuat orang-orang di ruang tengah berhenti sejenak bicara. Terlihat Bu Ratna menggeleng lalu tersenyum manis.

Muka Ikbal terlihat begitu bahagia dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Ia hanya memandang bahagia ketiga sahabatnya saling berpeluk mesra.

“Ya sudah, Pak, Bu, sudah sore, lain waktu kita ngumpul sama-sama lagi,” ujar Bu Ratna.

“Iya, Bu, kapan-kapan main lagi ke sini, Bu, Pak,” balas Bu Irma.

“Kalau mereka tidak ke sini, kita yang ke sana, Bu,” gurau Pak Bahar membuat semuanya kembali tertawa.

“Itu yang kami harapkan, Pak, pintu rumah kami selalu terbuka lebar,” balas Pak Herman dengan tawa bahagia terukir di wajahnya sambil berdiri untuk berpamitan pulang. Pak Herman menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman kepada Pak Bahar dan Bu Irma.

Bu Ratna juga ikut berdiri menyodorkan tangannya pada Bu Irma dan Pak Bahar begitupun dengan sepupu Ikbal dan suaminya yang hanya mendengar gurauan ke empat orang tua ini. mereka juga bersalaman dengan Pak Bahar dan Bu Irma untuk pamit “Mari, Pak, Bu,” ucap suami sepupu Ikbal juga diikuti istrinya.

“Mari, Bu, Pak, kami pamit. Bal, belum mau pulang? Nak Kiran, ibu pamit ya,” ujar Bu Ratna berjalan menghampiri mobilnya.

 “Iya, Bu, hati-hati,” Bu Irma masih tersenyum.

“Bentar lagi, Ma,” jawab Ikbal.

“Iya, Bu, hati-hati,” balas Kiran.

“Hati-hati, Bu,” teriak Weni dan Novela serentak.

Baca Juga: Cerita Fiksi Roman Pendek (5)

***

“Bal, bangun, Bal, sholat,” Kiran mengetuk-ngetuk pintu kamar Ikbal.

Ikbal terperanjat matanya terbuka dan langsung menegakkan tubuhnya memencet saklar lampu yang berada di dekat pintu “Iya, Ki, udah bangun,” membuka pintu kamarnya dengan mata yang masih berat, ditambah mata sipitnya yang membuat bola matanya hanya terlihat begitu sedikit.

Sementara, Weni dan Novela masih begitu nyaman terlelap. Kiran beranjak masuk ke kamar Weni dan Novela yang terbuka lebar “Wen, Vel, bangun, bangun, sholat subuh,” mengguncang bahu Weni dan Novela bergantian.

Weni tersadar, merengotkan wajahnya “Iya, Ki,” dengan mata yang masih terpejam.

“Ayo, cepat bangun, Wen,” mengguncang bahu Weni lagi.

“Iya, Kiki,” Weni bangkit dari pembaringannya. “Huuuuahhh,” Weni menutup mulut dengan tangan kanannya.

“Cepat cuci muka,” tambah Kiran, yang ditinggalkan Weni keluar.

Novela memiringkan tubuhnya ke sebelah kiri memunggungi Kiran. Namun, ia sudah tersadar sedari Kiran mengguncang bahunya, matanya hanya menatap kosong.

“Vel, bangun.”

Novela tersadar dari lamunannya, langsung ia paksa tubuhnya duduk dengan malas “Ayo, cepat sholat,” lanjut Kiran meninggalkan kamar.

Mesjid berada tidak jauh dari kontrakan mereka hanya berjarak tujuh buah rumah. Jadi, mereka tidak terlalu jauh untuk pergi sholat berjamaah.

Kiran telah siap dengan mukena putih yang menutup seluruh tubuhnya, hanya wajah putih, cantik, berseri dan senyum yang begitu manis tampak di raut mukanya. Begitupun Weni dan Novela yang juga sudah siap untuk pergi ke mesjid “Ikbal mana, Wen?” tanya Kiran di bibir pintu.

“Masih wudhu kali, Ki,” balas Weni sambil mengenakan sendal di teras.

Kiran masih menunggu di muka pintu. Sementara, Weni dan Novela sudah berada di halaman menunggu Kiran. “Bal, cepat, Bal,” ucap Kiran sedikit keras.

“Iya, tunggu bentar,” Ikbal keluar kamar, menutupnya dengan rapat. Ikbal terlihat begitu cocok mengenakan baju hitam panjang, sarung hitam bergaris putih dan kopiah hitam polos menambah manis wajahnya dengan mata sipit dan putih. Ikbal segera berjalan keluar.

Kiran seketika terlena melihat Ikbal, ia tidak bisa menahan senyum manisnya yang merekah begitu saja ketika melihat Ikbal.

“Ayo,” ucap Ikbal berpapasan dengan Kiran yang dari tadi menunggunya di muka pintu.

Seketika Kiran menarik napas dalam saat Ikbal melintas di hadapannya. Kiran tersenyum mencium harum minyak wangi Ikbal yang begitu halus tidak menyengat karena tidak mengandung alkohol. Wangi segar ditambah udara embun pagi yang begitu menenangkan hingga Kiran mematung sesaat menikmati keharuman dan kesegaran udara yang dihirupnya dengan tenang.

“Ayo, Ki,” ucap Ikbal yang sudah mengenakan sendalnya dan sudah berada di halaman rumah.

Kiran tersentak “Iya, iya,” segera menarik gagang pintu dan menguncinya dari luar, lalu mencabut kunci tersebut meletakkannya di pot bungga dekat susunan sendal teras sebelah kiri.

            Ikbal berjalan di depan tiga sahabatnya menuju mesjid di dekat rumah pak RT yang berada tujuh buah rumah dari kontrakan mereka.

            “Kamu masuk kuliah jam berapa hari ini, Ki?” tanya Weni sambil berjalan sejajar dengan Kiran dan Novela. Kiran berada di tengah sementara Novela di sebelah kiri Kiran.

            “Jam tujuh, Wen, soalnya dosennya Bu Dewi, dia selalu masuk jam tujuh, malahan biasa dia yang menunggu mahasisiswa dalam kelas.”

Emangnya mata kuliah apa, Ki?”

“Berbicara Retorik, Wen, Kalian masuk jam berapa?”

Weni dan Novela kebetulan satu kelas yang juga kuliah di kampus yang sama dengan Kiran namun beda program studi (Prodi). Sebenarnya bukan kebetulan mereka satu kelas. Pada awalnya Novela masuk kelas sore namun dia minta ke prodi untuk dipindahkan ke kelas Weni dengan alasan satu motor dan satu rumah dengan Weni. Akhirnya pihak kampus mengizinkan Novela untuk pindah dari kelas sore ke kelas pagi dan satu kelas dengan Weni.

“Jam berapa, Vel? lupa aku,” Weni menoleh Novela.

“Jam 08:40, Ki,” ucap Novela.

“Cepat, cepat udah mau qamat,” ucap Ikbal mempercepat langkahnya karena terlihat seseorang sudah mengambil pengeras suara di dekat mimbar, terlihat oleh Ikbal karena mereka sudah berada di luar mesjid yang terbuka lebar. Langkah cepatnya diikuti oleh ketiga wanita di belakangnya.

Tidak ramai yang sholat subuh ketika itu, hanya ada tiga orang tua yang sudah renta terlihat dari rambut yang sudah tak lagi hitam dan ada satu penjaga mesjid dan satu lagi Pak RT dan ditambah Ikbal.

Sedangkan, di barisan shaf wanita juga terdapat dua nenek yang sudah tak lagi tegap berdiri ditambah Kiran, Weni dan Novela.

Kiran termenung melihat shaf yang hanya diisi oleh dua nenek renta yang tak lagi kuat untuk berdiri, terlihat mata Kiran berkaca-kaca. Ia langsung berdiri di samping kedua nenek renta itu. Kiran membantu salah satu nenek yang hendak berdiri dengan susah payah ketika iqamat selesai dikumandangkan. Tanpa sengaja air mata Kiran tumpah saat sholat karena mengingat nenek yang begitu renta namun masih kuat untuk sholat. Entah apalagi yang ada di pikiran Kiran hingga air matanya begitu deras berjatuhan di sajadah dan tumpah di pipi cantiknya yang putih berseri.

“Ki, Ki, kamu kenapa?” tanya Weni pelan setelah salam terakhir dan Kiran masih begitu deras mencurahkan air matanya.

Baca Juga: Cerita Roman Pendek (1)

***

pict by: https://diamondbynumbers.com/products/abstract-romance-5d-diamond-painting/

Posting Komentar

0 Komentar