Wisata Kalimantan Barat (Jelajah Gunung Bawang Bengkayang)

Jelajah Gunung Bawang (Kalimantan Barat) Part 2

Tak terasa malam begitu singkat. Cerita tadi malam yang sempat tersekat terpaksa diteruskan pagi ini. Sesuatu yang perlu dicatat memang semestinya dicatat. Sebab, ingatan begitu mudah menguap dan lenyap begitu saja. Bukankah kita adalah tampungannya salah dan lupa. Kita terlalu percaya diri hingga mengira semua peristiwa dapat dirunut di luar kepala. Maka, sebelum semuanya lenyap tak bersisa, izinkan catanan ini meneruskan tugasnya agar peristiwa yang terlupa dapat diingat suatu masa. 

Setidaknya ada hal yang dapat diambil dari catatan ini, selain sebagai catatan perjalanan juga sebagai pengingat bahwa kita pernah sama-sama berjuang menaklukkan diri sendiri, meski punya tujuan dan penghayatan berbeda. Setiap perjalanan seringkali memberi banyak pelajaran. Entah refleksi terhadap diri sendiri atau sebagai hiburan semata, atau bisa saja membongkar kebodohan dan kepicikan diri sendiri. Apapun itu, rasanya tak ada salahnya memberikan waktu senggang kepada diri sendiri sebelum disibukkan dengan kewajiban ini dan itu, lalu tua dan mati tanpa diikuti ingatan-ingatan kebahagiaan. Sungguh menyedihkan.  

Sinar matahari menyelinap di antara pepohonan. Embun yang tumpah di dedaunan perlahan lenyap. Bara api bekas semalam masih tersisa. Asap tipis membumbung tinggi. Kicau burung semakin menjadi, lebih riuh dari sebelumnya. Pagi yang tak seperti pagi biasanya. Pagi yang mustahil ditemukan di antara ratusan gedung-gedung tinggi dan kesibukan jalan raya. 

Di luar tenda kudapati Dedi tengah sibuk menyalakan kembali api unggunnya. Kompor portable, gelas dan seperangkat alat masak siap digunakan. 

"Tak ada api tak ada kehidupan. Tak ada api habis cerita," kata Dedi si juru api.

Api memang penghangat suasana di tengah hutan dingin begini. Dan benar, begitu apinya sedikit menyala, beberapa yang lain turut mendekat. Ada yang sekadar menghangatkan badan. Ada pula yang memasak indomie atau kopi karena air tengah mendidih di atas kompor portable, di dekat api unggun. Dari sana cerita-cerita baru dimulai. Pagi yang begitu hidup.

Pagi itu juga, telah kunamai Dedi sebagai Ahura Mazda, simbol yang mencirikan sang terang dan dewa kebaikan karena kelihaiannya menerangi dan menghangatkan malam maupun pagi kami dengan apinya. Dan, kami adalah hamba sahayanya yang merapatkan diri pada kehangatan. Wkwkwk, kaum zoroaster tengah berkumpul di depan tenda sambil merebus mie instan. Badjingan🤣.

Selesai berbasa-basi sambil menandaskan kopi dan makanan ringan pengganjal perut, kami kembali bersiap untuk meneruskan pendakian. Tenda dibongkar lalu dikemas rapi seperti semula untuk dimasukkan ke dalam  carrier. Semua perlengkapan ditaruh pada tempatnya. Carrier kembali penuh. Sampah-sampah telah lenyap dimakan api. Dan, kami telah siap menapak jejak-jejak baru di punggung Gunung Bawang hingga puncaknya. Tak ada doa bersama pagi ini. Entahlah, mungkin telah sama-sama membaca di dalam hati. Atau mungkin telah membaca ketika api mulai menyala🤣 

Perjalanan Pos 1 Menuju Pos 2

Kurang lebih pukul sembilan kami memulai pendakian. Semangat kawan-kawan begitu terlihat pagi ini lantaran telah semalaman istirahat. Apalagi dibayangi oleh puncak Gunung Bawang yang indahnya bukan main, yang tak lama lagi mereka dapat berdiri di sana. Membayangkan itu, tentu menjadi motivasi tersendiri untuk cepat berada di puncak. 

Track dari pos satu menuju pos dua cukup melelahkan. Di sinilah kekuatan kaki dan keseimbangan diuji karena track yang dilalui memiliki tanjakan tanah basah bekas hujan semalam. Akar-akar dan bebatuan di jalan juga menjadi semakin licin. Pijakan harus ditempatkan pada tempat yang pas agar tak terpeleset. Salah sedikit nyawa taruhannya. 

Pagi ini matahari kembali sendu, lagi-lagi langkah kami dibayangi oleh hujan yang setiap saat dapat membuat kami kelabakan. Semakin menanjak udara semakin terasa dingin, akan tetapi saling berlawanan dengan tubuh yang berkeringat. 

Telah dua jam berjalan, pos dua belum juga nampak keberadaannya. Sementara itu, perut sudah beberapa kali minta diisi. Ketika berhenti, kulihat wajah-wajah lelah dan lapar. Beruntung ada gula merah dan air sebagai pengganjal perut sebelum tiba di pos dua. Beberapa yang lain, meski lelah masih dapat bersenda gurau lantaran rokok telah disulut. Menikmati rokok sambil meredakan penat adalah hal wajib dalam perjalanan. Benar kata Dedi, "Tak ada api tak ada kehidupan. Tak ada api habis cerita." Hal itu nyata adanya ketika rokok telah tersulut dan melekat di masing-masing bibir. Cerita dan tawa mengalir begitu saja. Benar-benar api kehidupan.😂

Pukul dua belas kami tiba di pos dua. Kedatangan kami disambut oleh ricik air yang mengalir deras di antara bebatuan besar. Di tempat ini kami dapat memanjakan diri, mandi dengan air dingin yang disediakan oleh alam, begitu menyegarkan. Otot-otot yang tadinya tegang seketika rileks. Tubuh yang letih seperti diisi energi baru. Ini adalah air kehidupan, di sini tempat kami menghilangkan penat, mengisi perbekalan air untuk di puncak, tempat istirahat dan memasak. 


Memasak dan Pendakian Dari Pos 2 Menuju Puncak

Selesai mandi dan mengganti pakaian kami mendekat ke arah Muslih-yang sejak tiba di pos dua langsung memasang playsheet dan begitu sigap memasak untuk kami semua. Melki dan Frengky turut membantu memasak sayur yang dibeli di pasar Bengkayang sehari sebelumnya. Aku dan yang lain juga bantu melihat, sesekali mencicipi, apakah siap dimakan atau belum. 

Begitu semuanya siap, Frengky mengambil sedikit nasi serta sayur dan lauk, menaruhnya di atas sebuah batu. Salah seorang merespon apa yang dilakukan Frengky, menanyakan nasi itu untuk siapa. Frengky sebagai tourguide kami juga merupakan orang setempat yang paham betul kondisi hutan ini hanya menjawab seperlunya. Jawaban itu dapat kami pahami bersama. 

"Abang tak tahu hutan sini, Bang," kata Frengky merespon pertanyaan salah seorang dari kami. 

Sebagai orang yang paham akan keadaan hutan ini, Frengky tak melanjutkan. Dan, aku rasa semua dari kami juga sudah tahu cerita-cerita yang beredar tentang hutan perawan Gunung Bawang ini. 

Gunung Bawang dalam banyak cerita adalah tempat yang dikeramatkan oleh Suku Dayak Bengkayang, Suku Dayak Lara dan Suku Dayak Kanayantn. Terdapat mitos yang berkembang dan diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa dari Gunung Bawanglah Suku Dayak Bengkayang berasal. Dan, di tempat ini Jubata (yang didewakan/diagungkan) turun dan menempati Gunung Bawang.

Nama-nama Jubata yang diyakini menempati Gunung Bawang ialah Jubata Lupo, Jubata Barabatn Ampor, Jubata Siru dan Jubata Maniamas dan lain-lain. Itu sebabnya Gunung Bawang merupakan tempat terhormat bagi Suku Dayak. Bagaimanapun wajib bagi kita untuk selalu menghormati keyakinan orang lain dan tetap berperilaku baik. Jika niat dan perilaku baik tentu berdampak baik pula pada diri kita. Ingat selalu taati pantang larang dari penduduk setempat. 

Makan telah selesai. Mangkuk dan piring dicuci lalu dimasukkan kembali ke dalam carrier. Botol-botol yang kosong diisi penuh sebab setelah pos dua ini tak ada lagi sumber air bersih hingga ke puncak. Di pos dua ini tubuh sudah terasa menggigil, udara berembus menembus kulit, ditambah dingin bekas mandi semakin membuatnya menjadi. Tangan, kaki, badan, bibir bergetar sendirinya. Namun, setelah beberapa meter kembali mendaki, dingin dan panas tubuh mulai berlawanan. 

Tak jauh beda dengan track dari pos satu menuju pos dua, dari pos dua menuju puncak juga sama terjalnya, malah jauh lebih menyedihkan sebab hujan beserta angin berembus kencang. Jas hujan secepatnya dipasang. Langkah demi langkah ditempatkan sangat hati-hati. Setiap langkah kaki yang bergerak maju diikuti desau angin yang mengguncang pepohonan. Kewaspadaan terhadap track licin menanjak kini ditambah dengan kewaspadaan terhadap pepohonan yang sewaktu-waktu patah menimpa apa saja di bawahnya, termasuk kepala kami. 

Di sepanjang jalan, pepohonan dan bebatuan dibaluti lumut yang menghijau. Tekstur tanah semakin ke atas semakin terasa gambut lantaran akar-akar tumbuhan yang merambat tumbuh subur di sini. Tak salah memang dinamai dengan hutan lumut. Udaranya yang dingin dan lembab menjadi tempat tumbuh suburnya lumut. Tumbuhan lain seperti Kantong Semar juga tak kalah banyaknya, menempel di celah kayu dan batu. 

Setelah dua jam lebih bertarung dengan dingin dan hujan, diintai patahan pepohonan, diremukkan track licin menanjak, akhirnya tiba juga kami di puncak Gunung Bawang. Bahagia bukan kepalang rasanya, walaupun cuaca kurang bersahabat. Kabut menyelimuti langit Bengkayang. Tak kelihatan apapun di bawah sana, jarak pandang hanya berkisar 20-30 meter. Di puncak udara semakin dingin, embusan angin semakin kencang, sementara tubuh sudah terasa membeku. Dingin bukan main. 

Playsheet dan tenda secepatnya dipasang. Carrier diamankan. Dedi si juru api dan yang lain tak sanggup menghidupkan api, predikatnya sebagai juru api benar-benar hancur di sini. Aku yang sudah tak sanggup menahan dingin langsung mengganti pakaian dan masuk ke dalam tenda. Jaket dan selimut membalut tubuhku. Tak lama berselang, tiga tenda yang lain sudah tertutup rapat. Tak ada yang sanggup menahan dinginnya di luar selain Muslih dan Melki yang menyiapkan seperangkat alat masak beserta bahan masakan. 

Beruntung hujan dan kabut cepat lewat. Kompor portable segera kami dekatkan di depan tenda. Tak lama air mendidih. Dua gelas kopi menghangatkan tubuh yang sejak beberapa jam menggigil kedinginan. Satu dua orang mulai keluar dari tenda. Kabut telah lewat, hujan sudah reda, namun dinginnya masih terasa. 

Dari puncak Gunung Bawang ini, bentang alam sudah jelas terlihat. Bukit-bukit yang tak beraturan malah semakin menambah keindahan, begitu memanjakan mata. Sungguh, penat di badan akibat perjalanan dibayar lebih oleh pemandangan yang begitu mengagumkan. Yang Maha Perkasa memang senang bercanda, Ia turunkan kabut dan hujan agar kami sejenak merebahkan badan sebelum menikmati kemewahan ciptaanNya. Setiap jengkal mata, ketakjuban berdesakan-desakan memenuhi setiap indera dan jiwa. Maha Suci Engkau Ya Rabb, Tuhan pencipta alam dan seisinya.

Semoga Part 3 secepatnya menyusul.

 Baca Juga: Jelajah Gunung Bawang Part 1

Foto Post 2 Menuju Puncak (Hutan Lumut)




Posting Komentar

0 Komentar