
Di Tanah Tinggi Ini
di tanah tinggi ini telah tertanam benih rindu yang tumbuh dan berkelebat
merambat di mata dan ingatanmu
melekat di kayu dan batu
telingamu dipenuhi nyanyian alam dan malam
tubuhmu disekap gelap
di kepalamu
di dadamu
cerita dan peristiwa bersemayam dari masa ke masa
pada suatu waktu
dari tanah tinggi ini
kenangan justru menyiksa tubuh lemahmu
menggenangi sudut matamu
semua itu, semata tentang rindu
yang bertalu di dada dan kepalamu
yang tumbuh dan berakar
semakin hari semakin besar
ketika kau rebah dan lelah
terkapar di peristirahatanmu
menunggu waktu memungut sisa-sisa
yang masih tersisa di tubuhmu
segalanya, akan menjadi telah atau pernah
dan semuanya, adalah harta kekayaan yang kau miliki
hingga mati
Bengkayang, 8 September 2021
Di Puncak Bawang Peak
Menanam Rindu di Bukit Bawang
Sungguh tidak pernah terlintas di kepala bisa menginjakkan kaki di puncak Bukit Bawang yang memiliki tinggi 1471 MDPL. Tidak terlalu tinggi memang, tapi lantaran medan yang dilalui cukup sulit dan menguras banyak tenaga menyebabkan banyak memakan waktu dalam mendaki. Lama pendakian rata-rata memakan waktu delapan sampai sembilan jam, bisa lebih bisa juga kurang, tergantung ketahanan fisik para pendaki. Jika pendaki sudah terlatih, tentu waktu tempuh bisa lebih cepat, begitupula sebaliknya. Kalau seperti saya yang tak pernah mendaki, waktu tempuh bahkan mencapai dua puluh dua jam, wkwkwk. Tapi, itu lantaran kami menginap satu malam di pos satu. Jika tidak menginap, rata-rata perjalanan hanya tujuh sampai delapan jam. Cukup baik bagi pemula.
Terlepas dari itu semua, sungguh perjalanan mendaki Bukit Bawang memiliki kesan tersediri yang tentu akan melekat di ingatan. Jika saja ditanya pengalaman mana yang sulit untuk dilupakan, tentu pengalaman menginjak puncak Bukit Bawang ini jawabannya. Suguhan bentang alam terpampang begitu menawan. Bukit-bukit yang tersusun tak beraturan justru saling meyempurnakan satu sama lain, sungguh memesona mata. Arakan awan tak putus berjalan di tebing yang tentu saja tak lebih tinggi dari puncak bukit. Semua penat akibat perjalanan akan dibayar lunas, bahkan lebih jika telah menginjakkan kaki di puncaknya. Tak hanya di puncak sebetulnya, di kaki dan punggung bukit juga memiliki keindahan tersendiri. Selama pendakian, pepohonan, bebatuan, ricik air seperti ingin menunujukkan keindahannya masing-masing. Dan tentu, di antara mereka tak ada yang ingin saling mengalahkan. Alam telah sempurna memersatukan mereka hidup dan tumbuh sesuai perannya. Saling lengkap dan menggenapkan. Tetaplah utuh dan tumbuh.
***
Keberangkatan (Selasa, 7 September 2021)
Sebelum matahari benar-benar terik, kami telah bangun dan bersiap untuk menempuh perjalanan ke Bumi Sebalo (Kabupaten Bengkayang). Semua keperluan telah siap dikemas sejak malam hari. Carrier yang teronggok di pojok kontrakan tampak tak sabar untuk diberangkatkan sebab telah menampung muatan sejak kemarin malam. Setelah selesai mandi dan berkemas kami berangkat menuju titik kumpul di rumah kontrakan salah seorang teman, di Jalan Imam Bonjol. Di titik kumpul tersebut telah ada lima orang yang menunggu. Sementara, kami bertiga dari Ampera, Kota Baru, turut bergabung pukul delapan. Setelah mengemasi segala keperluan, tak lupa mambaca doa agar diberi kelancaran dan keselamatan di jalan, sebab tak ada yang lebih penting dari itu. Pukul delapan tiga puluh kami memulai perjalanan.
Perjalanan kami dari Kota Pontianak sempat terhenti di Sungai Pinyuh akibat pemeriksaan kelengkapan berkendara oleh kepolisian setempat. Tak jauh dari tempat pemeriksaan, berjejer belasan mobil truk dan motor yang memutuskan untuk berhenti di tepi jalan sebab tak memiliki kelengkapan. Beruntung kami tak sempat diperiksa karena diberitahu orang-orang yang berhenti bahwa di depan sedang ada pemeriksaan. Lambaian tangan beberapa sopir truk dan orang-orang yang memberhentikan kami masih lekat sekali dalam ingatan. Jika saja tidak diberitahu oleh mereka, mungkin perjalanan kami akan jauh lebih rumit sebab beberapa kendaraan kami tak memiliki kelengkapan. Begitulah wajah masyarakat kita, saling bantu tanpa pandang bulu. Terima kasih orang-orang baik.
Jarak tempuh dari
Pontianak ke Kabupaten Bengkayang berkisar 4-5 jam perjalanan. Pukul 13:30 kami
tiba di Pasar Bengkayang, tempat dimana perputaran uang ratusan juta atau
bahkan milyaran terjadi setiap harinya. Di salah satu indoapril pasar Bengkayang, dua teman
dari Sambas sudah menunggu. Lengkap sudah sepuluh orang anggota kami. Setelah
beberapa menit meredakan penat di badan akibat perjalanan, dua orang bergegas
ke pasar untuk membeli bahan makanan dan keperluan lain. Sayur-mayur, minyak
goreng, ikan teri, telur, tempe, dan bahan makanan lainnya telah terbungkus
rapi.
Pukul 2:20 perjalanan dilanjutkan ke salah satu tempat tour guide (pemandu jalan/pemandu wisata) berada. Tak membutuhkan waktu lama, kami tiba di salah satu kafe, di sana tour guide yang kuperkirakan umurnya 17 atau 18 tahun sudah menunggu kedatangan kami. Tak lama mendengarnya saling lempar bicara dengan salah seorang teman yang sudah mengenalnya, kuketahui namanya Frengky. Rambutnya panjang dikuncir ke belakang. Orangnya ramah dan begitu komunikatif. Dari gerak-geriknya, jelas terlihat bahwa dia memiliki kepercayaan diri yang sangat besar.
Setelah cukup lama
berbasa-basi di kafe, kami dibawa ke rumah Frengky di Dusun Madi, Desa Tiga
Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang untuk bersiap memulai pendakian,
mengemasi barang-barang dan meyiapkan semua perlengkapan. Frengky menanyai nama
kami satu persatu dan menuliskannya di selembar kertas. Aku tidak tahu pasti
untuk kepentingan apa dia melakukannya, yang jelas itu adalah petunjuk jika
terjadi hal-hal yang tak diinginkan selama kami berada di hutan. Aku yakin dia
juga menulis hari, tanggal dan jam pendakian kami di selembar kertas itu. Pukul
17:30 kami berangkat dari rumah Frengky menuju lereng gunung.
Langit Bengkayang sedang
mendung. Gumpalan awan hitam di atas puncak gunung yang akan kami tuju semakin
pekat. Di kaki gunung yang rindang, kami sudah disuguhi pemandangan tebing dan
suara ricik air yang mengalir di sela bebatuan. Tak jauh dari sana, tampak satu
bendungan besar yang airnya takkan habis untuk keperluan warga Desa Tiga
Berkat. Sebelum memulai langkah pertama pendakian, kami kembali berkumpul untuk
memanjatkan doa kepada Yang Maha Perkasa, Tuhan semesta alam yang menguasai
seluruh jagat. Meminta keselamatan dan dijauhkan dari bala bahaya. Untuk kami
yang muslim doa dipimpin oleh Muslih dan yang beragama kristiani
memanjatkan doa berdasarkan keyakinannya.
Begitu doa selesai kami langsung memulai pendakian dengan cuaca mendung dan malam mulai mengintai. Suara binatang malam, jangkrik, burung, dan suara-suara yang tak diketahui wujudnya menemani langkah kami. Bau hujan masih menguar menguasai udara. Bebatuan, dedaunan dan pepohonan masih basah. Jalan yang dilalui cukup landai namun jurang di sisi badan jalan begitu curam dan menakutkan, siap menelan siapa saja, apa saja. Berjalan di tengah kegelapan membuat kami meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian yang ekstra, apalagi di tengah tempat asing yang belum pernah sama sekali kami kunjungi. Salah sedikit fatal akibatnya.
Kurang lebih satu
setengah jam berjalan hujan kembali turun. Beberapa di antara kami segera
memasang jas hujan, beberapa yang lain tetap berjalan sebab pos satu (tempat
berhenti) tinggal beberapa meter di atas. Jalanan sedikit licin dan menanjak.
Kami mempercepat langkah untuk segara tiba di tempat pemberhentian. Tiba di pos
satu, flysheet dan tenda segera dipasang. Karena kondisi hujan, semuanya menjadi
serba cepat. Tak lama empat tenda terpasang. Semua barang bawaan diamankan di
bawah flysheet agar tak terkena hujan.
Sesuai rencana awal sebelum pendakian, malam pertama kami akan menginap di pos satu dan akan lanjut mendaki besok paginya. Baju dan celana yang basah segera diganti. Sepatu dan kaos kaki juga basah bekas melewati aliran air lantaran tak dapat dielakkan juga segera dibuka. Nasib baik, hujan cepat reda.
Suara nyanyian alam dan malam semakin jelas terdengar, sahut-menyahut satu sama lain. Bau hujan begitu menyengat. Tiga tenda yang lain sudah senyap dan tertutup, meski aku tahu, beberapa di antara mereka belum terlelap. Di tenda kami berisi empat orang yang belum ada niat sama sekali untuk tidur. Dedi bahkan masih sibuk menyalakan api, mencari reranting kecil dan kering agar mudah terbakar. Tak lama, api berhasil menyala. Kompor portable telah berada di depan kami sebelum api Dedi menyala. Begitu api yang dibuat Dedi menerangi kegelapan di sekitaran kami, segera kami mengambil air untuk dipanaskan. Indomie, kopi, gelas dan piring dibongkar dari dalam carrier.
Sempurna sudah untuk
malam ini. Mie rebus dimasuki katak yang entah dari mana datangnya dan kopi
dimasuki jangkrik. Namun, semua itu tak mengurangi nikmat sedikitpun. Meski sesekali
kami memaki kejadian itu. Memang tak ada kata yang pantas dikeluarkan selain
ASU kepada katak dan jangrik yang dengan lancang masuk ke dalam makanan kami.
Jangkrik asu. Katak asu. Bajingan.
Selesai makan, kopi
telah siap. Api unggun menyala terang. Udara lembab bekas hujan. Nyanyian alam
tak henti sedari tadi. Sebatang rokok segera disulut. Nikmat mana lagi yang
kalian dustakan. Makanan sederhana, rasanya beribu kali lebih nikmat ketika
dinikmati di tengah hutan begini.
Satu hal penting yang
terlewat ketika di perjalanan menuju pos satu. Momen ini mungkin terbilang
jarang ditemukan oleh pendaki, apalagi yang bukan pendaki sepertiku, tentu
momen ini begitu langka. Di tengah perjalanan menuju pos satu, kami terutama
aku dibuat takjub oleh bunga raksasa yang tergeletak di tanah. Bunga Raflesia
Arnoldi atau bunga bangkai menyambut kedatangan kami. Sungguh beruntung bisa
menyaksikan secara langsung bunga langka itu, bunga yang selama ini kuketahui
hanya dari internet dan di buku pelajaran sewaktu sekolah dasar. Namun, kali
ini aku bahkan dapat menyentuh keindahan yang dimilikinya, sungguh suatu
pengalaman yang sulit kudapatkan.
Malam semakin larut. Kopi
dalam gelas telah tandas. Kami berempat telah terkapar di dalam tenda. Senyap. Gelap.
Cericit jangkir dan burung malam meninabobokan tubuh yang lelah. Melelapkan
mata yang berat. Tenteram. Alam raya dengan segala kesunyiannya, binatang dengan
segala keriuhannya, malam dengan segala rahasianya meyatu-padu dalam irama
mistik juga estetik. Selamat malam. Sampai jumpa.
Kita lanjutkan pendakian besok pagi menuju
puncak. Part 2 menyusul.
Baca Juga: Andai Saja Nama Agamanya SANTUY



0 Komentar